Saat Haknyeon terbangun, dia hampir berteriak marah karena melihat Hyoyeon di rumah. Kalau tidak melihat Ibunya di meja makan dan Haknyeon mencoba untuk memproses semuanya sebelum memberikan reaksi.
Memang benar, bangun tidur yang dibutuhkan adalah air mineral. Bukannya meminum kenangan yang tidak akan menghasilkan apa pun kecuali penyesalan. Setelah meminum segelas air, Haknyeon menatap Hyoyeon, lalu kemudian menatap Ibunya yang masih berusaha untuk menghindari tatapannya. Padahal Haknyeon tidak memikirkan hal lainnya, kecuali mempertanyakan Ibunya yang sudah ada di rumah. Namun, sepertinya Ibunya memiliki pemikiran berbeda dari Haknyeon dan itu membuatnya tanpa sadar menghela napas panjang.
"Kata dokter, Eomma boleh pulang hari ini," jelas Hyoyeon yang merasakan atmosfer yang berat di ruang tamu ini, "duduklah, Haknyeon. Aku akan memasak makan malam."
"Di mana Haerin?" tanya Haknyeon yang menyadari tidak melihat Adik perempuannya.
"Kurasa masih berada di kamarnya," jawab Hyoyeon yang mulai membuka kulkas, kemudian meletakkan beberapa bahan makanan di kitchen island, "aku akan memanggil Haerin untuk bergabung dengan kita di sini."
"Tidak, biar aku yang memanggilnya, Hyoyeon."
Hyoyeon tahu ada sesuatu yang terjadi antara Ibunya dan Haknyeon, tetapi tidak mengatakan apa pun. Membiarkan Hanyeon yang berjalan menjauh dari dapur, kemudian menatap Ibunya yang terlihat takut. Hyoyeon hanya bisa menghela napas, karena pada akhirnya dia tidak tahu harus membela siapa. Di satu sisi, kemarahan Haknyeon—meski lelaki itu bilang tidak marah, tetapi Hyoyeon lebih dari tahu sikap kembarannya seperti apa—memanglah beralasan. Di sisi lainnya, Hyoyeon tidak bisa menyalahkan sepenuhnya keputusan Ibunya yang menyembunyikan dari Haknyeon.
Karena jika Haknyeon tahu sejak awal, kembarannya itu pasti berakhir berhenti untuk menempuh pendidikan spesialisnya dan kembali ke Jeju secepatnya. Meski Haknyeon terlihat tenang dan selalu tersenyum, tetapi sikapnya akan benar-benar impulsif jika berhubungan dengan orang-orang yang disayanginya. Semua orang di rumah ini tahu sifat Haknyeon yang satu itu, jadi pada akhirnya mereka tidak bisa benar-benar berpihak.
Karena semuanya punya alasan tersendiri.
Setidaknya saat Haknyeon dan Haerin kembali duduk di meja makan, adik mereka yang mencairkan suasana untuk membuat dua orang tersebut kembali berbicara. Jika orang lain yang melihat interaksi ketiga di meja makan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, Hyoyeon yakin jika tidak akan ada yang percaya kalau sebelumnya ada perang diam antara Haknyeon dan Ibunya.
Setelah mereka makan malam, Haerin menawarkan diri untuk mencuci peralatan makan—meski kebanyakan masuk ke dishwasher—sementara Hyoyeon yang menemani Ibunya untuk berjalan ke kamar. Meninggalkan Haknyeon yang tidak memiliki aktifitas apa pun dan berakhir berjalan ke pelataran rumahnya.
Melihat langit dan teringat obrolan Haknyeon tadi malam dengan kembarannya, Hyoyeon. Tentang keputusannya untuk berhenti bekerja dan kembali ke Jeju untuk bisa lebih dekat dengan Ibunya. Hyoyeon memang tidak melarang Haknyeon, tetapi hanya mengingatkannya untuk memastikan semua kewajibannya di Seoul sudah selesai sebelum memutuskan untuk kembali.
"Haknyeon Oppa...," panggilan Haerin membuat Haknyeon menoleh dan tersenyum, "aku duduk di sini ya! Oh iya, ini jeruk untukmu karena sejak tiba di rumah sampai sekarang aku belum melihat Oppa makan jeruk."
"Terima kasih, Haerin."
Haerin hanya merespon dengan gumaman karena dia tengah memakan jeruk. Haknyeon hanya tersenyum saat melihat Haerin dengan lirikannya, lalu menatap jeruk di tangannya. Akhirnya Haknyeon membuka jeruknya dan mulai memakannya.
Rasa manis dan segar langsung dirasakan oleh Haknyeon dan membuatnya tersenyum. Membuat Haknyeon sedikit merasa lebih baik dari sebelumnya, kemudian menyadari bahwa pada akhirnya rumah memang segalanya untuk dirinya. Seoul mungkin menawarkan banyak hal-hal yang tidak pernah Haknyeon dapatkan jika memilih untuk tetap di Jeju, tetapi itu juga datang dengan harganya.
Haknyeon menyadari jika berada di Jeju, pada akhirnya dia merasa lebih tenang. Juga menyadari bahwa kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak uang atau hal besar yang dilakukannya, tetapi bisa datang hari hal-hal yang sederhana seperti dirinya yang tengah memakan jeruk saat ini.
"Haknyeon Oppa...," panggilan Haerin membuatnya menoleh ke arah Adiknya, bergumam kalau dia tengah mendengarkan, "aku berpikir untuk menyerah berkuliah ke Jerman."
"Apa?" tanya Haknyeon tanpa sadar dan tidak jadi menyuap potongan terakhir jeruk ke mulutnya. "Maksudku ... kenapa? Jangan berpikir tentang biaya, Haerin. Aku dan Hyoyeon bisa membiayaimu meski kamu tidak mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di sana."
"Tidak ... bukan itu masalahnya."
"Lalu kenapa?"
"Eomma...," ucapan Haerin yang menggantung membuat Haknyeon terdiam, mengerti arah pembicaraan ini ke mana, "aku takut jika terjadi sesuatu kepada Eomma. Aku takut kalau aku tidak bisa pulang tepat waktu dan berakhir dengan penyesalan."
Haknyeon hanya bisa diam, tetapi Haerin merasa bersalah karena sudah mengatakan hal tersebut. Karena Haerin secara tidak langsung mengatakan bahwa tidak mau seperti Haknyeon yang datang kepada Ayahnya di waktu yang terlambat. Saat sampai, Ayahnya sudah tiada dan Haknyeon tidak sempat mengatakan sesuatu kepadanya sebelum kepergiannya untuk selamanya.
"Oppa ... maaf aku mengatakan hal itu."
"Kenapa harus meminta maaf?" tanya Haknyeon tersenyum, kemudian mengusap kepala Haerin. Meski Haerin tahu senyuman Kakaknya itu semakin lama semakin tidak jelas apakah memang menunjukkan kebahagiaan atau hanya untuk menutupi kesedihanya semenjak kejadian hari itu. "Kamu hanya mengatakan pemikiranmu, Haerin. Aku tidak berhak marah untuk pendapatmu itu."
"Tapi ... aku...."
Haknyeon menunggu Haerin menyelesaikan perkataanya yang menggantung, tetapi sampai beberapa saat berlalu, tidak ada yang dikatakan oleh Adiknya. Membuat Haknyeon menghela napas panjang, kemudian berkaya, "Berkabung dalam penyesalan itu tidak akan mengubah apa-apa, Haerin." Kemudian Haknyeon kembali tersenyum sembari mengusap kepala Haerin, "Tapi jika kamu bisa melakukan sesuatu untuk mencengah penyesalan itu timbul, tidak apa-apa mencobanya. Hanya aku harap, kamu sudah memikirkan semua konsekuensi dari pilihanmu."
"Aku tidak akan menyesali pilihanku, Oppa!" protes Haerin yang membuat Haknyeon tertawa. "Serta berhenti mengacak-acak rambutku! Aku bukan anak kecil, tahu!"
"Hahaha ... tapi di mataku kamu tetap Adikku yang paling menggemaskan."
"Benarkah? Bukan teman Oppa yang waktu itu datang yang paling menggemaskan di matamu?" tanya Haerin yang membuat Haknyeon tersenyum, lalu memandang ke arah lain. "Lihat, aku benar bukan. Haknyeon Oppa tidak akan pernah bisa mengalah untuk orang itu, tapi tidak untukku."
Haknyeon hanya berdeham, tetapi Haerin bersedekap untuk meminta jawaban Kakaknya itu. Namun, pada akhirnya Haknyeon hanya bisa tertawa melihat sikap Haerin yang menggemaskan dan mencubit kedua pipi Adiknya itu. Lalu Haknyeon segera bangun untuk berlari menghindari teriakan serta kejaran Haerin.
Meski nyatanya pikiran Haknyeon berantakan karena ternyata Haerin bisa melihatnya benar-benar terjatuh yang tidak tertolong kepada San. Membuat Haknyeon merasa menyedihkan karena menjatuhi perasaannya kepada seseorang yang hanya melihat masa lalunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]
FanfictionApakah benar akhir bahagia itu eksis? Saat dunia San yang mulai berjatuhan karena melepaskan semua topeng sandiwaranya. DISCLAIMER: • Ateez, SF9 & The Boyz Fanfiction [Minsan, Hwisan & Haksan] • Multiple chapters • Untuk NaNoWriMo 2022 • Start: 01/1...