52:kiss lovely

128 7 0
                                    

Ya baiklah, Arin tahu Evans mungkin sedang senang menyanjungnya saat ini. Ia kemudian beranjak dan naik ke kasur.

"Aku berharap tangan mu tidak lancang bergerak dan merabaku Mr Evans"

Terdengar suara helaan nafas.
"Ya aku tau, jika saatnya tiba, akan aku buat kamu menderita karena menahan ku Arin"
Terdengar suara yang mengerikan dari pria itu.

Arin tertawa keras, ya ia tidak harus khawatir sekarang. Tapi perutnya tadi terasa geli mendengar ucapan serius pria itu.

"Kamu tertawa dan berani tidur di samping ku karena tau aku akan menepati janji kan?"
Kalau tidak mana mungkin Arin mau melakukannya.

"Yap, mungkin kita bakal ngobrol semalaman"
Ia tidak tahu dan akan mencari tahu.

Perasaannya pada Evans sudah terbukti adanya. Arin hanya tidak menunjukkan hal tersebut karena belum mengetahui apakah perlakuan Evans padanya karena cinta atau memang karena obsesi yang Arin sangka sebagai cinta.

Ciuman dan pelukan tidak bisa mengartikan apapun karena itu belum cukup, pada kenyataannya sikap dan bola mata tidak akan pernah menutupi isi hati. Dan Arin harus mencari tahu perasaan Evans lewat matanya.

"Aku tidak masalah"
Evans bergerak menyamping dan menatap Arin dengan mata yang masih segar. Ia menopang kepalanya agar bisa melihat Arin lebih jelas.

Rambutnya, kulit putihnya dan bibirnya. Hal yang tidak akan pernah luput dari pandangan Evans. Sesuatu yang akan memberikan efek sakau lebih dahsyat daripada rokok. Dan perasaan gelisah yang berkepanjangan.

Matanya mulai menari melihat yang lainnya.
"Kamu rajin olahraga ya?"
Tebak Evans, ia tidak bisa memalingkan wajahnya.

"Demi kesehatan, aku pernah kelebihan berat badan"
Itu jawaban paling jujur. Caya yang selalu memaksa Arin untuk menurunkan berat badan, hal itu terbukti bisa membatu dirinya. Karena asmanya tidak mudah kambuh dan Arin menjadi lebih sehat juga bugar, terlebih lagi dengan bentuk tubuhnya yang memiliki aset dua kali lipat.

Caya saja tersingkirkan dan tidak ada apa-apanya di banding Arin.

"Good"
Ia bisa gila jika hanya harus diam sedangkan di sampingnya ada wanita cantik yang mempesona.
Mana mungkin singa membiarkan daging rusa segar di sampingnya dengan begitu saja. Air liurnya hampir menetes dan menginginkan lebih dari hanya sekedar tatap-menatap. Evans mengerakkan rahang, ia ingin menggigit leher wanita itu dan memberikan bekas yang sangat merah. Ia pikir ini lebih sulit saat ia berfikir bisa menahan hasratnya pada Arin, sangat sulit sampai ia susah bernafas.
"Damn"
Gumamnya.
"Aku akan memantau pekerjaan, beristirahatlah duluan"
Alibi agar ia tidak terlihat sedang bernafsu saat ini.

Evans berdiri sesegera mungkin membuat Arin keheranan.

"Dan tolong jangan menghampiriku oke, aku butuh konsentrasi untuk sekarang"
Tambahnya sambil berjalan pergi.
"Selamat malam"
Evans menepuk tangan beberapa kali mengubah cahaya lampu ke mode tidur.

Arin masih kebingungan, padahal pria itu mengatakan jika ingin mengobrol semalam.

"Memantau pekerjaan sialan, jika dia benar-benar menghampiri ku aku sepertinya akan lepas kontrol"
Gumam Evans sambil membuka isi kulkas.
Ia menenggak terburu-buru agar dadanya tenang.
Nyatanya tidak, hasratnya masih menguasai. Ia menatap botol tersebut yang masih memiliki sisa kemudian berjalan ke wastafel dan menuangkan ke kepalanya.

Kini kepalanya terasa dingin dan gejolak perasanya mulai reda. Evans membutuhkan lebih banyak air hingga mengeluarkan empat botol lainnya dan kembali mengguyur kepalanya.

"Cette femme, je ne te ferai aucune pitié. Zut"
(Aku tidak akan memberikan ampun padanya, sialan)

•••

Akhirnya pagi, Evans menunggu waktu itu dengan geram. Ia tidur tapi bangun dengan kesal.

Sedangkan Arin masih penasaran, bingung seribu pertanyaan.
Evans seperti orang kesal dan Arin tidak tau jika pria itu sedang berhasrat semalam.

Evans duduk di meja makan masih belum membersihkan diri sedangkan Arin sudah cantik dan wangi. Ia harus berangkat ke kantor untuk beberapa hal, Celine salah satu dari hal tersebut.

Arin yang memasak, sup jamur dan ayam kecap pedas Korea.
Ia sering bereksperimen dan masakan itu adalah makanan paling meyakinkan setelah mendapatkan pengakuan enak dari dua orang yaitu Caya dan Olivia.

Tapi Evans tidak menatap Arin seperti kemarin. Pria itu seakan menghindar dari tatapan mata.

Efek yang akan Evans dapatkan jika menatap Arin adalah perasaan mendalam ingin mencicipi bibir menantang yang berpoles lipstik Dior. Dan Evans tau Arin tidak mungkin menyukainya.
Itulah mengapa pria itu seperti sangat menikmati makanan dalam kalbu padahal ia sedang menahan nafsunya.
Pagi ini juga ia sepertinya sakau, menambah parah keadaan saja.

"Aku berangkat ya"
Kata Arin berusaha menatap Evans yang pandangannya di sembunyikan.

"Siapa yang akan mengantar?"
Evans masih menunduk saat bertanya.

"Aku berangkat bersama Olivia"

"Oke hati-hati"
Ia kemudian kembali mengunyah makanan dengan porsi yang banyak.

Arin mengerutkan dahi, ia benar-benar berharap bisa membaca pikiran pria itu.
Evans terlihat murung dan itu sangat menganggu.

"Oke aku berangkat"
Arin menyodorkan tangannya.

Evans menatap tangan itu bingung kemudian menatap ke arah Arin yang menunggu.

"Aku mau Salim"
Sungguh istri yang berbakti bukan, setidaknya ia berharap Evans tak bersikap acuh padanya.

Evans langsung meraih tangan Arin, karena wanita itu pasti menunggu.
Arin menghela nafas dan mencium tangan Evans.
Mungkin menjadi sebuah adat yang baru untuk Evans, adat yang asing. Tapi dengan begitu, tanpa banyak orang sadari berjabat tangan bisa semakin mengikat jiwa lebih dekat. Adat yang sangat bagus.

Arin mencondongkan tubuhnya, akan sangat mudah hanya untuk mendekat ke Evans karena meja untuk mereka makan saat ini tidak berjarak jauh.
Arin memegang kepala Evans dan mengecup kepala Evans dengan beraninya membuat pria itu langsung membulatkan matanya dan menatap Arin.

Raut murungnya hilang sekejap. Dan pria itu merasa seluruh tubuhnya bergetar dan getaran paling hebat berada pada dadanya. Mata hijaunya berbinar dengan sungguh indah.

"Ayo makan siang bersama, tolong jemput aku oke?"
Kata Arin pada Evans yang masih diam dengan mata terbelalak karena terkejut.

Pria itu mengangguk seperti bocah bodoh.
Arin tersenyum dan berjalan keluar sambil menenteng tasnya.

Sedetik setelah pintu tertutup pria itu meletakkan sendok di tangannya dan mengusap wajah dengan satu tangan yang lain.
"stupide"
Hatinya telah di bom dan ia dalam keadaan senang bercampur terkejut. Arin menggemaskan sekali sehingga Evans sedikit menyesal tidak menariknya dan memeluknya dengan sangat erat. Tapi jika begitu ia tidak akan terlihat berkelas, tapi Evans Ingin memeluk Arin.

Evans jadi bodoh hanya karena ciuman di awal pagi.

Sedangkan Arin, ia sebenarnya masih di depan pintu. Wajahnya memerah seperti di bumbui blush on seluruh wajah. Ia berdebar tak karuan dengan tangan yang basah, ia malu melakukan itu. Ia jadi penasaran apa yang Evans pikirkan tentang dirinya. Arin jadi salah tingkah sampai-sampai menutup wajahnya.

Ia berusaha berjalan meskipun rasa geli di hatinya mampu melemahkan kaki. Ia tidak bisa menggambarkan perasaan tadi, tapi merasakan Evans berlaku manis tak bisa menahan sikap Arin yang penyayang dan membalas sikap sayang. Kecupan di kepala adalah tindakan spontan dan Arin dalam keadaan dilema dan tak karuan saat telah melakukannya.

Padahal Arin tidak berniat melakukan itu. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya telah terjadi.

.

.

.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang