Mertua Kejam

2.3K 132 4
                                    

Netra Nisa mendelik menatap suaminya. Suaminya tidak adil pada dirinya. Nisa ke dapur mencuci piring dengan kasar. Suara gaduh perabotan terdengar di telinga Jali.

Jali buru-buru pergi meninggalkan rumah, Ia pergi ke rumah Emak.

"Mak...." Jali memanggil wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya ke dunia.  Ia mencari keberadaan Ibunya di rumah.

"Ada apa Jali kau teriak-teriak ?" tanya Ida menautkan kedua alisnya .

"Emak yang ngasih tau gaji Jali ke Nisa?" tanya Jali penasaran ia balik bertanya karena hanya Emak dan Bapak saja yang tau nominal besar jumlah gaji anaknya. Jali tidak rela uangnya di habiskan oleh istrinya.

"Mana mungkin Emak yang kasih tau, sama istrimu Jali, kita aja nggak akur," Kata Emak seraya menaik- turunkan bibirnya.

'Apa diam- diam Nisa melihat slip gaji?' Hati Jali terus bertanya- tanya. Tapi ia sendiri tidak yakin karena seingat Jali ia sudah menyembunyikan slip gajinya tanpa sepengetahuan istrinya.

"Sudahlah kalian ini ribut terus, sekarang ribut masalah apa lagi? Sampai panas kuping Emakmu ini mendengarnya,"  Pusing kepala Ida mendengar pertengkaran Anaknya.

"Gara-gara Fauzan sedang masa pertumbuhan Mak, harus makan-makanan yang bernutrisi, dia kan nggak Asi," Papar Jali tapi ia tidak menceritakan dengan jelas masalahnya.

"Bayi seumuran Fauzan nggak usah di kasih macam-macam, lagipula anak segitu belum bisa makan ayam, daging, kasih aja bubur sama sayur udah. Dulu kau masih kecil aja makan nggak pake ayam sama daging tumbuh sehat. Lagipula istrimu itu malas, bagaimana ASI-nya nggak keluar, sudahlah kasih saja Fauzan Air tajin. Lama-lama gajimu habis cuma beli susu anak aja," Tukas Ida, menantunya sama sekali tidak bisa hemat.

'Benar juga kata Emak,' batin Jali seraya tersenyum.

"Makanya kau dulu nikah sama anak kepala desa, dia sekarang sudah kerja gajinya juga besar, malah kau pilih si Nisa yang cuma tamatan SMA sudah tidak bisa menghasilkan uang kerjanya cuma ribut setiap pagi," Lanjut Ida, meskipun Nisa sudah memberikannya dua cucu laki-laki, Ida tetap tidak menyukai menantunya kalau bukan si Jali sudah minta di nikahkan dengan Nisa.

"Sudahlah Mak, jangan bahas yang lalu," Jali meninggalkan Ida, Ia duduk santai di teras.

"Nih Emak bawakan cemilan, besok kau suruh Si Nisa bantuin Emak masak, Kakakmu mau datang dari kota," Ida duduk di samping Jali.

"Ka Hendar mau kesini Mak?" tanya Jali menautkan kedua alisnya.

"Iya siapa lagi Kakakmu, harusnya kau seperti Hendar, dia itu ikuti saran Emak nikah sama orang kaya, sekarang dia bahagia, udah buka usaha sendiri di modali istrinya," Ida selalu membanggakan anak pertamanya Hendar.

Hendar Kakak pertama Jali yang tinggal di kota, ia sukses membangun usaha Material semua itu berkat dukungan istrinya.

Jali hanya diam,  ia memilih pulang ke rumah. Emak selalu membanggakan Kakaknya.

Dari kecil sampai ia besar,  Dimata Emak, Hendar selalu menjadi anak kebanggaan.

"Hei Jali, malah pulang," teriak Ida saat melihat anaknya keluar rumah.

***
Siang ini Fani datang memberikan undangan pernikahan teman Nisa.

"Nis, ini ada undangan pernikahan temanmu Devi," Ka Fani memberikan selembar kertas Cream.

"Acaranya besok Ka?" tanya Nisa, jarak antar rumahnya dengan rumah Devi lumayan jauh. Meminta suaminya mengantarkannnya pun mustahil.

"Iya, kamu datang aja, kalau Jali nggak mau antar biar Kaka jemput," ujar Fani seolah mengerti perasaan adiknya.

Setiap ada undangan pernikahan temannya Bang Jali pun Nisa tak pernah di ajak. Alasannya bawa anak-anak ke undangan bikin repot.

Nisa hanya bisa terima, meskipun merasa tidak di hargai sebagai istri Jali.

"Ya udah Ka, aku datang," ucap Nisa. Masih ada uang sisa dari Bapak Mertuanya yang belum terpakai.

Seingatnya masih cukup untuk mengisi amplop kondangan.

***

Jali tiba di rumah, ia melihat Kakak iparnya sedang mengobrol dengan istrinya di teras rumah. Ia masuk ke dalam rumah seraya tersenyum.

"Ya udah Nis, aku pulang dulu," ucap Fani. 

" Hati-hati Ka!" Nisa menatap Kakaknya sambil menggendong Fauzan. Ia kembali masuk ke dalam rumah.

"Nis besok bantuin Emak masak," Kata Jali, ia menoleh ke arah istrinya.

Sejujurnya Nisa malas tapi apalah daya ia tidak bisa menolak yang ada jadi bahan gunjingan mertuanya.

***

Paginya Nisa bangun lebih awal, ia membawa Fauzan dan Raffi ke rumah mertuanya.

"Nis, ini semua di masak ya, biar Fauzan yang jaga Bapak, kau masak saja di dapur." ucap Ida.

Nisa dengan cekatan menyiapkan bahan-bahan masakan dan bumbu, kemudian ia mengolahnya.  Dua jam  Nisa berkutat di dapur, Ayam serundeng, capcay, sambal dan telur balado sudah siap di meja makan.

Fauzan sangat nyaman di temani Bapak, andai saja Bang jali bisa momong Fauzan.

"Kau ini memang pintar masak ya Nis, sayang aja nggak bisa nyusuin anakmu lagi," Ida mengungkit kekurangan mantunya.

Nisa hanya diam, ia enggan menjawab. Terserahlah Mertuanya mau bilang apa.

"Mak Raffi lapar," ucap Raffi, ya tadi pagi karena terburu-buru di bangunkan Bang Jali kami semua belum sempat mengisi perut. Hanya Fauzan yang sudah kuberikan susu.

"Raffi makannya di rumah aja ya," Pintaku setelah selesai mencuci peralatan masak.

"Raffi mau ayam,"

Deg.

Hatiku terasa tertampar selama ini Raffi jarang makan ayam karena kami tidak punya uang cukup untuk membelinya.  Sekalinya masak ayam kemarin pun habis di makan Bang Jali, Raffi hanya makan sepotong ayam saja.

Diam-diam kuambilkan Raffi nasi dan sepotong ayam goreng. Aku menyuruhnya makan di pojokan dapur agar tidak ketahuan Ibu.

"Raffi makannya disini aja, cepat habisin. Ibu mau liat Ade dulu,"

Kulihat Fauzan sangat senang di ayun oleh Bapak.

"Anakmu lincah," Kata Bapak.

Samar aku mendengar suara Raffi menangis.

"Masih kecil udah nggak sopan, yang lain belum makan. Makanan itu buat Tante Sinta sama anaknya, kau dengar Raffi, awas saja kalau masih berani," Ibu mengambil paksa Piring Raffi.

Kurasakan pilu, jadi Ibu menyuruhku masak. untuk menyambut kedatangan istri Ka Hendar. Kenapa Bang Jali tidak bilang apa-apa?

Perlakuan Ibu dengan mantunya yang lain pun sungguh berbeda. Luar biasa.

"Maaf, Bu Nisa yang suruh Raffi makan," Kupeluk Raffi.

"Masih kecil aja nggak sopan, ajari anakmu yang benar," Ibu masih memarahi Raffi.

"Sudahlah lagipula Raffi juga cucumu, Nisa juga sudah minta maaf," Bapak membela kami. 

Sementara Bang Jali hanya menyaksikan pertengkaranku dengan Ibunya. Ia hanya diam saat anaknya di marahi.

"Ayo Raffi kita pulang saja," Ajakku hanya karena sepotong ayam anakku di marahi. 

'Maafin, Ibu Nak gara-gara Ibu kamu di marahi,' batinku.

Kutinggalkan Bang Jali di rumah Ibunya.

"Nisa..." teriak suara yang tak asing bagiku. Aku menoleh ternyata...










Balas Dendam Istri Yang Kau Remehkan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang