POV Jali

1.7K 103 2
                                    


Makasih banget buat yang masih setia menunggu cerita ini. Dukung terus

Maaciw

****

"Bang,  Abang jadi nggak sih, Nikahin aku?" tanya Rania, sudah dua bulan lebih ia menunggu jawaban dari Jali.

Sosok laki-laki yang romantis dan penyayang. Demi Rania Jali rela melakukan apa saja. Salah satunya bekerja di toko, meskipun awalnya Jali menolak karena ia tak suka bekerja di toko kecil yang gajinya tak seberapa. Namun Rania terus membujuknya, supaya Jali sudah punya pekerjaan setelah bertemu dengan kedua orang tuanya.

Daripada jadi pengangguran, sudah pasti tidak masuk kriteria kedua orang tuanya.

"Sabar Rania, Abang masih ngumpulin uang, kamu tau sendiri kan sekarang Abang belum bisa karena Raja hilang,"

Jali terpaksa mengaku Raja hilang, agar orang-orang tidak curiga. Termasuk Bapak yang tidak tau keberadaan Raja saat ini.

Rania berdecak kesal, lagipula Raja sudah besar masa bisa hilang?

"Sudah dua bulan kita dekat  Bang, tidak enak kalau terlalu lama," Desak Rania

"Pesta sederhana saja, kalau uang sebesar itu Abang nggak punya, atau kamu bantu Abang, nanti kalau Abang ada uangnya, Abang ganti," Usul Jali, semoga saja hati Rania luluh.

Lagipula dia Janda, tak perlulah mahar seratus juta.

"Bener diganti?" tanya Rania lagi.

"Iya, pasti Abang ganti," ujar Jali sembari menggenggam tangan Rania, memberi keyakinan.

Menikahi Rania,  sudah pasti hidupnya lebih enak. Setali tiga uang, Jali tak perlu merasakan kesusahan.

Ya udah demi Abang, tapi janji ya Bang, uangnya di ganti," Rania bergelayut manja di lenganku

Rania dengan mudahnya dapat di pengaruhi. Jali tersenyum sinis.

Ia pulang dengan senang memberi kabar pada Ibunya.

"Pintar juga kau Jali, si Rania bisa di manfaatkan tau begitu tak perlu susah payah kita menculik Raffi, sekarang Raja malah di penjara untung saja Bapakmu percaya," Puji Ida.

"Ya dong, Bu. Tapi kasian Raja Bu, kita harus membebaskan dia," Jali merasa bersalah, bagaimanapun ia menyayangi adiknya.

"Apa Raja di penjara!" Geram Bapak, sedari tadi ia menguping pembicaraan istri dan anaknya.

Otaknya mendidih mengetahui kebohongan istrinya. Mereka bilang tak tahu keberadaan Raja karena pergi di jemput temannya. Nyatanya putra bungsunya kembali mendekam di dalam penjara.

Demi uang, mereka memanfaatkan Raja. Uangnya pun untuk menikahi Rania, Janda muda di desa ini.

"Bapak...." Ibu kaget, wajahnya mendadak pucat saat suaminya tau rahasia mereka.

Jali Diam seribu bahasa, Bapaknya pasti marah besar. Sorot matanya seperti ingin menelan kami hidup-hidup.

"Katakan Raja di penjara!" Teriak Bapak menarik tangan Ibu.

"Sakit Pak lepas," Lirih Ibu berusaha melepaskan cengkraman tangan Bapak.

Baru kali ini aku melihat Bapak sangat marah. Dari mata Ibu, kulihat minta tolong, tapi aku sendiri tak berani melawan Bapak.

Aku tidak menyukai Bapak karena terus membela Nisa, mantunya bukan anaknya sendiri. Meskipun demikian aku masih menghormati Bapak dan menghargainya sebagai seorang Ayah.

Aku hanya diam,  keributan ini membuatku frustasi. Andai saja kemarin aku tidak menuruti keinginan Ibu pastilah tidak sampai Raja di penjara.

Bapak memaki Ibu, mereka berdebat dan saling adu bicara. Aku tak tahan lagi melihat keduanya bertengkar, suara mereka memekakan telingaku.

"Sudah, Pak! Kasian Ibu," Akhirnya aku mendekati Bapak.

"Kasian, lebih kasian mana Raja yang kembali di penjara, Hah!" Sungut Bapak, emosi.

Skak. Perkataan Bapak sederhana tapi menusuk hati.

"Di mana hati nurani kalian semua, sebagai seorang Ibu apa pantas menyuruh anaknya menjadi seorang penculik dan kau Jali bukan menasehati Ibumu malah ikut-ikutan terlibat, seharusnya bukan hanya Raja yang di penjara kalian juga,"

Mendengar Penjara, aku bergidik ngeri. Membayangkan kehidupan di sana. Raja bilang, kalau kita bermasalah akan di masukkan kedalam sel tikus.

Beda halnya kalau kita menjadi rajin dan sopan, hukuman akan di kurangi selama berkelakuan baik.

"Ibu macam apa kamu ini, Ida," Maki Bapak sambil menunjuk wajahnya. " Saya malu punya istri seperti kamu, lebih baik kita berpisah,"

"Pak...." Ibu mengejar Bapak, aku jadi sedih. Aku tidak mau Bapak dan Ibu berpisah.

Kami berlari mengejar Bapak yang masuk ke dalam kamar, mengemasi pakaiannya. Bapak mengeluarkan satu per satu bajunya.   Kami menahan tangan Bapak.

"Ibu minta maaf, Pak. Ibu akan bebaskan Raja, tolong Pak jangan tinggalin Ibu," Ibu menangis.

"Jali juga minta maaf Pak, iya Jali salah tapi Jali tidak mau Bapak sama Ibu sampai pisah," Ungkapku, rasanya nafasku sesak.

Aku menarik nafas dalam, membujuk Bapak agar tidak mengambil keputusan di saat emosi.

"Bebaskan Raja, kalian harus bertanggung jawab," Tukas Bapak, tangannya mulai berhenti mengambil baju di dalam lemari.

Aku dan Ibu mengangguk. Kami berdua keluar dari kamar meninggalkan Bapak.

"Gimana ini Bu?" tanyaku memutar otak, mencari cara agar bisa membebaskan Raja. 

"Kalau kontrakan kita jual lagi, pendapatan kita akan berkurang Jali,"

Di saat seperti ini, Ibu masih memikirkan uang. Seandainya Raja tau pastilah ia kecewa. Aku jadi bingung, uangku pun tak cukup.

Harus kemana aku mencari uang untuk membebaskan Raja, apa aku bujuk Nisa supaya dia mau mencabut laporan?

Aku tak yakin, Nisa sekarang sudah berbeda dia berani melawan dan tak mau nurut seperti dulu apalagi sekarang sudah sukses. 

Penyesalan meninggalkan Nisa hinggap didalam diriku, andai saja dia bisa memberikanku bayi perempuan pastilah kami sekarang sudah hidup bahagia tak perlu berpisah.

Sayangnya wanita itu tak bisa memberikan apa yang aku inginkan. Dia memberikanku dua orang anak laki-laki.

Aku menimbang-nimbang, kopi di depan mata sudah habis. Asap rokok mengepul di udara. Pikiranku kalut.

Bapak masih marah, ia sama sekali tidak bersuara. Diam menjadi pilihan. Tersiksa hatiku melihatnya, aku lebih suka Bapak memarahiku daripada diam begini. Sungguh ini menyiksa.

Ibu sedari tadi hanya duduk, melihat layar ponsel. Entah apa yang sedang Ibu tonton hingga memilih menyibukkan diri sendiri.

Dua hari sudah Raja di penjara, kami belum sempat menjenguknya. Alasannya karena kami bilang Raja hilang. Warga sini pun tak ada yang tau, kami menutup rapat masalah keluarga.

Aku berjalan keluar melangkahkan kaki, menuju ruko Nisa. Barangkali masih bisa di bicarakan baik-baik. Motor kebanggaanku melaju melintasi jalan raya.

Angin berhembus menerpa tubuh, sejuk.

Sampai di depan ruko, aku melihat para pegawai Nia sedang bercengkrama. Hebat sekarang dia punya empat karyawan. Aku akui Nisa memang pandai mengelola keuangan tak heran ia bisa memajukan bisnis seblaknya. Bahkan ia bisa membeli mobil.

"Permisi," Sapaku pada seorang wanita berjilbab merah, semuanya memakai seragam khusus.

"Ya mau pesan menu yang mana Pak?" tanya Wanita itu, mereka kira aku kesini ingin membeli.

"Maaf, saya mau bertemu dengan Bu Nisa ada?" tanyaku.

Mereka saling lirik berbisik.

"Ibu sedang keluar," Jawabnya.

Sia-sia kedatanganku kali ini, Nisa sedang tidak ada di rumah. Aku mengucapkan terimakasih lalu memutar badan kembali pulang.

Balas Dendam Istri Yang Kau Remehkan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang