Kau jual, aku beli

1.5K 108 1
                                    

"Bajunya pas di badan Raffi dan Fauzan Nis?" tanya Rossa penasaran. Setelah menerima kabar Farhan sudah memberikan titipannya.

"Alhamdulillah, Bu, pas semua, alpukat nya juga bagus-bagus, Fauzan suka banget," ujar Nisa antusias. Suasana hatinya sudah sedikit membaik setelah kejadian di warung yang membuat kepalanya pusing.

Intan, anak itu membelanya tanpa takut melawan Rania. Dia kasihan dan prihatin padaku.

"Itu Farhan loh yang milih," Suara Ibu terkekeh.

Sedekat itu ibu dan Farhan, kapan mereka pergi bersama?

Ibu dan Bapak memang pendukung garis besar Farhan, namun tak memaksa anaknya untuk mengikuti kemauannya.

"Halo, Nis...." Aku tersadar setelah terdiam sesaat.

"Iya, Bu. Nisa masih dengar, memangnya Ibu sama Farhan pergi beli baju bareng?" Aku bertanya karena di landa rasa penasaran.

"Rahasia," Jawab Ibu membuatku sedikit kesal.

"Sudahlah Nisa, mau kerja dulu," Semakin aku bicara sama Ibu semakin aku penasaran tak terjawab, lebih baik aku memasak.

Bahan-bahan sudah tersedia di dapur, aku mengambil sosis, rencananya hari ini masak sayur sop sosis dan ikan lele goreng.  Tak lupa sambal terasi agar lebih nikmat.

Pelan-pelan aku membersihkan ikan lele, kemudian mencucinya dengan air bersih. Terlihat segar dan fresh. Tanganku mengambil bumbu instan ikan goreng, melumurinya sampai bumbu meresap.

Setelah minyak panas, aku memasukkannya satu per satu. Sebelumnya sudah kutaburi tepung terigu agar ikan tidak meledak.

Di ruang tengah, Fauzan dan Raffi bermain bersama. Mereka sangat kompak. Intan sudah kembali ke warung karena banyaknya pesanan yang masuk.

Sesekali aku melihat ke ruang tengah, mengecek Raffi dan Fauzan sambil menunggu sayur sop matang. Tangan mungil Fauzan mulai mengucek matanya, ia menguap.

Bersamaan sayur sop yang matang, Fauzan merengek. Aku menggendongnya, meletakkannya di atas kasur. Sementara Raffi ikut merebahkan tubuhnya di samping Fauzan.

"Ibu buatkan susu dulu ya," ucapku sambil berlalu ke luar kamar.

"Iya," sahut Fauzan menggemaskan.

Kamar anak-anak sengaja tak pakai ranjang, hanya menggunakan kasur bulu khawatir mereka terjatuh.

Sepuluh menit kemudian susu di botol Fauzan sudah habis, aku beranjak ke luar kamar. Merapikan peralatan dapur yang belum sempat kubersihkan.

Perlahan kucuci bersih wadah yang kotor agar tidak mengganggu anakku yang sedang tidur.

Dari balik daun jendela, rintik hujan mulai membasahi bumi. Mumpung anak-anak masih tidur, aku makan duluan. Menikmati waktu makan tanpa di ganggu.

Teringat dulu, saat aku masih menjadi istri Bang Jali, kadang aku sampai lupa makan karena sibuk mengurus dua anak sendirian. Sebenarnya apa alasan Bang Jali menunda pernikahannya, apa karena Raja yang mendekam di penjara jadi keluarga mereka menunda pernikahan Bang Jali?

Untuk apa juga aku memikirkan mereka, bukan urusanku. Mereka pantas mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya.

***

Sudah satu jam, Fauzan dan Raffi  masih tidur. Mataku membulat saat melihat status sebuah kontrakan yang di jual di media sosial. Bukannya ini kontrakan Mertuaku?

Dari segi gambar, bentuk dan bangunannya persis mirip. Kulihat komentar salah satu akun yang bertanya tentang harga. Kontrakan itu di jual seharga delapan ratus juta.

Tiba-tiba aku berpikir untuk membelinya, rasanya seru melihat ekspresi wajah mereka saat tau aku yang membeli kontrakan.

Apalagi mengingat kesombongan Ibu, seolah dialah warga yang paling kaya di kampung.  Tentu pasti membuat Ibu terkejut.

Biar Ibu lihat, menantunya yang di remehkan in, bisa membeli kontrakan seharga delapan ratus juta.

Senyum kemenangan terbit di bibirku. Salah satu bagian dari rencanaku. Membuat mertuaku menyesal telah meremehkan diriku. Aku sudah memiliki ruko dan usaha yang sukses, mobil dan rumah yang masih proses dan aku akan  membeli kontrakan mertuaku sendiri.

Bukankah mereka selalu tak percaya saat aku membeli ruko ini. Sekarang akan kubuktikan. Bang Jali pun pasti menyesal berkali-kali lipat.

Kuminta salah satu pegawaiku berkomentar di akun tersebut, melakukan transaksi jual beli.

"Ibu keren bakal jadi Ibu kos," Puji Irma sambil menyiapkan seblak.

Dua pelanggan sedang menunggu pesanan mereka.

Intan kuminta berjaga di atas khawatir Raffi dan Fauzan terbangun dan mencariku.

"Nanti kita kos disana aja biar gratis," Canda  Cahaya.

"Kalian tidak perlu kos di sana, nanti tinggal di ruko ini setelah Ibu pindah," sahutku.

Wajah Sofia mendadak berubah menjadi sendu. "Ibu di sini aja, nanti sepi nggak ada Fauzan sama Raffi,"

"Bukannya enak ya, kalau nggak ada Ibu, nggak ada yang mantau kalian lagi," Kataku, sembari menunggu jawaban.

"Kata siapa Bu, kita mah senang Ibu ada di sini, kalau Ibu, Raffi dan Fauzan nggak ada bener-bener sepi deh tempat ini," Irma berseru. Aura wajahnya kelihatan berat berpisah dengan kami. Ya maklum dia pegawai lama sudah mengenal seluk beluk kami.

"Nanti Ibu bakalan main juga, udah jangan pada melow deh, udah di balas belum komentarnya?" Tanyaku penasaran.

Intan mengecek kolom komentar, "Udah Bu, katanya siapa mau survei kapan, biar deal,"

Rupanya mereka gerak cepat, aku akan meminta Intan yang menjadi perantara jual beli.

***

Menjelang siang, Intan berangkat menemui Jali dan keluarganya. Aku mengikuti mereka dari belakang, memantau dari kejauhan.

Intan dan Jali sedang mengobrol, ternyata kontrakan yang di jual, luas. Terdiri dari sepuluh pintu.

Aku mengamati keadaan sekitar, beruntung Raffi dan Fauzan anteng karena melihat video di ponsel.

Aku baru tau, kontrakan yang ini. Letaknya memang di sebrang kampung kami. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, Intan datang.

"Bu, mereka setuju di jual hari ini, aku tadi minta nomor rekening, ini Bu,"

"Terus surat-suratnya udah kamu minta belum?"

"Katanya sih, kalau udah transfer baru mereka kasih sertifikat rumahnya,"

Aku mengangguk dan langsung mengirim uang sejumlah yang mereka minta.

"Sekarang kamu turun dan kasih lihat ini, pinta suratnya,"

"Baik Bu,"

Intan turun dari mobil, dia menghampiri Jali. Ida membelalakkan matanya saat melihat nominal uang yang masuk ke rekening Jali.

"Li...banyak banget duitnya," gumam Ida kesenangan.  Karena butuh mereka menjual di bawah harga.

"Ini surat-suratnya, sekarang kontrakan ini resmi punya Bu Intan," kata Jali dengan wajah sumringah.

"Terimakasih, saya langsung pamit pulang," Intan tersenyum meninggalkan keduanya.

Ida sangat senang, meski kontrakannya sudah berkurang.

"Li, kita kaya lagi," celetuk Ida antusias merengkuh tubuh Jali.

Jali pun senang, dia akan meminta bagian pada Ibunya.

"Iya, Jali udah bantuin bikin iklan nih, jangan lupa upah buat Jali,"

"Tenang aja," Ida tersenyum lebar. Sedangkan Nisa puas telah membeli kontrakan mereka.

"Beh resmi jadi Ibu kost Ibu," Canda Intan sambil menoleh.

"Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan lancar pembelian kontrakan, makasih Intan, saya puas!"













Balas Dendam Istri Yang Kau Remehkan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang