Menjauhlah dariku

1.7K 106 0
                                    


Rintik hujan membasahi Priuk, semalam hujan turun dengan deras.

"Zuzu," Fauzan bangun sambil berjalan menuju arah pintu kamar.

Nisa tertawa geli melihat tingkah anaknya. Nyawanya belum terkumpul, ia sudah sibuk ingin keluar kamar.

Tangan Nisa membuka handle pintu, menuntun Fauzan keluar. Dia membuatkan susu bersamaan dengan Fira yang sudah menemani Raffi. Anak laki-laki itu merajuk karena tidak mau mandi.

"Raffi mandi dulu setelah itu baru main, Nak," ucapku lembut.

Raffi menolak, ia menggelengkan kepalanya. Dia rebahan di sofa ruang tamu.

"Mandi, nanti jalan-jalan sama Mbah," Seperti biasa Ibu sudah membuatkan sarapan. Padahal sudah kularang karena tak ingin merepotkan wanita yang tangannya sudah keriput.

Raffi mengangguk. Sementara aku melihat Fira kesusahan mengejar Fauzan yang sedang berlari.

"Hayo mandi dulu," Fira menangkap Tubuh Fauzan.

Sepuluh menit berikutnya mereka sudah rapi. Fauzan makan di suapi Fira dan Raffi duduk di meja makan.

"Raffi mau makan telur ceplok," Dia menunjuk, piring yang sudah penuh dengan telur. Sedetik kemudian di sudah makan dengan  lahap.

"Nis, apa kamu udah siap kalau Farhan datang melamar?" tanya Ibu, raut wajahnya berubah menjadi serius. Kami duduk di ruang tamu, sambil menonton berita pagi setelah sarapan.

Aku membalas dengan senyum samar, Laki-laki itu serius.

"Dia anaknya baik, bertanggung jawab, InsyaAllah bisa menjadi Imam dan Bapak yang baik untuk anak-anak kamu, mereka masih butuh kasih sayang seorang Bapak," Ibu menambahkan.

Aku sendiri masih bingung dengan perasaanku, trauma itu masih ada. Gagal dalam berumah tangga membuatku berhati-hati merajut kembali kehidupan biduk rumah tangga.

"Nis," Panggil Bapak memecahkan pikiranku yang sedang dilema.

Dalam sorot mata Ibu dan Bapak, mereka sangat menyukai Farhan. Aku tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku, namun di sisi lain, aku belum siap.

"Nisa...belum siap,"

Ibu menghela nafas. Wanita itu menyadari ada keraguan di dalam benak putrinya.

"Ibu mengerti tidak mudah untuk kamu membuka hati kembali setelah rumah tanggamu gagal tapi apa kamu tidak ingin memberikan kesempatan untuk Farhan?

Ibu yakin dia bisa menyayangi Raffi dan Fauzan dan bisa memimpin rumah tangga dengan baik.

Dulu Ibu liat Farhan selalu memprioritaskan istrinya. Terakhir yang Ibu dengar istrinya selingkuh," Ibu berusaha meyakinkan putrinya.

"Bapak dan Ibu juga ingin kamu bahagia punya pasangan hidup yang bisa menemani kamu," Timpal Bapak.

Pilihan yang sulit, Nisa meminta waktu untuk memikirkannya kembali.

[Assalamualaikum, save ya. Farhan] 

Nisa heran, Apa Ibu dan Bapak yang memberikan nomor Nisa?

[Walaikumsalam, iya]

[Bu, ada Bapak di bawah]  Pesan lainnya dari Intan.

Mau apalagi Bang Jali kesini?

"Farhan udah kirim pesan?" Ibu bertanya sambil menemani Raffi bermain.

"Ibu yang kasih nomor Nisa ya!"

"Iya, anggap aja sebagai masa penjajakan, selebihnya Ibu tidak akan memaksa, supaya kamu bisa mengenal Farhan, dulu dan sekarang  mungkin berbeda," Ibu tersenyum.

Aku hanya diam, menuruti keinginan Ibu. Mencintai dan dicintai sama-sama memiliki resiko.

Minggu ini, aku memilih beristirahat di rumah menemani anak-anak. Mereka sangat senang.

"Nono...." Fauzan merengek meminta keluar rumah.

[Masih ada Bapak?] tanyaku.

[Masih]

Aku memutuskan tidak menemui Bang Jali, segala hal tentangnya bukan urusanku lagi. Aku merasa iba atas nasib rumah tangga Ibu dan Bapaknya, tapi kalau mengingat apa yang telah mereka lakukan semuanya sirna.

Aku mengalihkan Fauzan yang sedang tantrum, membawa buah melon yang sempat kubeli saat pulang kerja.

"Makan melon yuk," Ajakku pada Raffi dan Fauzan.

Seketika dia diam, menurut. Akhirnya ia tidak merengek lagi. Aku, Fira, Ibu dan Bapak sudah berusaha menenangkannya tapi tetep meminta keluar. Melon menjadi andalan solusi terbaik.

Senyum di wajah Fauzan mengembang, ia mengambil potongan melon.

"Mam," Tangannya memegang buah melon, ia mencoba memasukkannya ke dalam mulut.

Andai Bang Jali tidak ada di bawah sudah kuajak Raffi dan Fauzan jalan-jalan.

***
"Tolong bilang sama Nisa saya tunggu sampai dia keluar," Jali tidak menyerah. Meskipun ia sudah menunggu satu jam lebih, terik matahari tak sebanding dengan nasib rumah tangga Ibu dan Bapaknya.

Sekarang Bapaknya entah kemana karena Ibu tidak berhasil membawa pulang Raja.

Ibunya menolak makan dan minum sejak di tinggalkan oleh Bapak, Jali Frustasi.

Jali tak punya pilihan lain, Rania wanita yang dekat dengannya pun tidak bisa di harapkan.

Sesal, itulah yang di rasakan Jali saat ini. Harapannya agar Rania mengerti malah membuat suasana makin runyam.

Pikiran Jali kalut, melihat kondisi Ibunya yang putus asa membuat dirinya sedih.

"Udah bilang Tan ke Ibu?" tanya Irma menatap mantan suami bosnya yang masih singgah di depan warung.

"Udah tapi Ibu masih di atas," sahut Intan, mereka pun jengah karena Jali terus ingin bertemu dengan bosnya.

Irma menarik kursi, mencatat pemasukan dan pengeluaran hari ini.

"Apa aku ke atas aja bilang sama Ibu," Irma ragu, tapi di sisi lain ia pun risih.

"Terserah sih, Ka,"  Kali ini Sofia angkat bicara. Dia tidak mau terlalu ikut campur dengan urusan Bosnya.

Irma menghembuskan nafas kasar. Rumit memang kisah Bosnya.

Pukul 11. 45.

Jali masih duduk di pinggir warung, ia tak peduli dengan tatapan para pengunjung yang merasa heran. Sampai detik ini belum ada tanda-tanda Nisa keluar dari ruko.

Perutnya sudah terasa lapar tapi ia tidak menyerah.

"Masih di sini?" Jali menoleh.

"Ib...u," Jali tak menyangka mertuanya yang turun.

"Jangan pernah temui Nisa lagi Jali, kamu hanya membuat anak saya menderita selama hidup bersama kamu, bahkan keluarga kamu sampai hati menculik Raffi,"

Jali menelan Saliva, kata-kata mertuanya menusuk hati. Jali sadar selama ini ia sudah salah, egonya ingin memiliki anak perempuan menutup hatinya terlebih Ibunya mendukung penuh apa yang ia lakukan.

Hanya Bapak yang selalu menasehatinya tapi ia abai. Sekarang setelah Bapak menghilang Jali menyesal. Ia telah menyia-nyiakan orang yang menyayangi dan mencintai dirinya.

"Maaf Bu, saya salah, tapi izinkan saya bertemu Nisa," Jali memohon.

Rossa sama sekali tidak simpati. Jali hanya membuat kehidupan anaknya menderita. Apa yang di rasakan Jali sekarang belum sebanding dengan apa yang di rasakan Nisa dulu.

"Pergi, sampai kapanpun saya tidak akan mengizinkan kamu bertemu dengan Nisa" Rossa tak peduli.

"Sofia, panggil satpam suruh orang ini keluar dari halaman ruko kita dan jangan pernah izinkan dia masuk ke dalam sini,"

"Iya, Bu," Sofia memanggil satpam yang bertugas menjaga di depan warung. Semenjak kejadian penculikan Raffi, Nisa mempekerjakan satpam.

"Lepas," Jali berontak, ia tidak mau pergi sebelum bertemu Nisa.

"Nisa...." lirih Jali.












Balas Dendam Istri Yang Kau Remehkan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang