Separuh hati yang hilang

2.5K 168 0
                                    

Assalamualaikum, sudah update lagi ya...makasih yang masih setia menunggu cerita ini.  Terimakasih sudah membantu penulis untuk tumbuh.

Stay terus, cerita ini masih free koin yah.

"Ibu...."

Mertuaku pingsan, aku menggoyangkan tubuh Ibu mertuaku perlahan- lahan berharap cepat sadar. Tak lama kulihat netra Ibu bergerak, ia mencoba duduk.

"Dimana ini," ucap Ida setengah sadar.

"Besan tadi pingsan jadi kami bawa ke dalam warung," Ibuku menjelaskan. Sementara warung kami tutup.

Bukannya menjawab, mertuaku langsung keluar dari warung. Entahlah mungkin ia malu.

Tak lama aku mendengar suara motor Bang Jali, ia menjemput Ibu.

Ibuku mengelus dada "Ada-ada aja perilaku Ibu mertuamu,"

Ya, bisa aku lihat wajah mertuaku merah, ia menundukkan kepala saat keluar dari ruko, menanggung malu.

"Nenek pulang?" tanya Raffi polos.

"Ia, Raffi istirahat ya, udah malam," Aku mengusap kepala Raffi dengan lembut.

Ia menurut, kaki kecilnya melangkah ke dalam ruko. Sulungku memang sudah banyak mengerti.

Keesokan harinya, aku sudah bangun menyiapkan sarapan, hari ini sidang pertamaku.

Aku terus menyebut asma Allah, menguatkan hati, mungkin ini sudah takdirku menjadi janda dengan anak dua.

Ibu dan Bapak dan Ka Fani menemaniku ke Pangadilan Agama, mereka semua memberikan dukungan.

"Kamu harus kuat, ada kami," Ka Fani mengelus punggungku ketika kami sudah tiba di depan gedung pengadilan Agama.

Dari jauh aku melihat Bang Jali dan mertuaku datang, Ibu berpenampilan sangat rapi.

Setelah hakim bertanya, hakim meminta kami bermediasi barangkali masih ada niat rujuk kembali. Aku sendiri sudah tidak ada niatan untuk rujuk kembali. Begitu pun dengan Bang Jali, ia bersikap acuh tak acuh beratnya kabar Raffi dan Fauzan saja tidak. Miris.

Di ruang mediasi kami hanya saling diam, tidak bertegur sapa, dan saling acuh. Bukankah jelas bahwa Bang Jali sudah tidak ingin mempertahankan rumah tangga kami?

***

Hakim memutuskan untuk menggelar sidang kedua, kami telah melewati proses sidang pertama. Aku keluar dari gedung menemui Ibu yang menunggu di luar.

"Jangan harap kau dapat harta dari anakku," Hardik Ida seraya tersenyum sinis saat melihat Nisa dan keluarganya.

Hatinya di penuhi ketamakan harta.

"Bu jali itu punya anak, wajar kalau aku meminta hak nafkah untuk anakku, seorang  Bapak wajib menafkahi anaknya  meskipun kami sudah resmi bercerai kecuali Raffi dan Fauzan sudah mampu menghidupi kehidupan mereka sendiri," ujarku berapi-api, aku hanya meminta hak untuk anakku walaupun nantinya Bang jali tidak memberikan hak nafkah sesuai keputusan hakim aku tidak akan mengemis pada mereka.  Aku masih mampu membiayai anak-anakku.

"Halah bilang saja kau tidak mampu membiayai anak-anakmu," Ketus Ida.

"Jaga ucapan Ibu, kami memang miskin harta tapi tidak miskin hati," Bapak geram, tidak terima dengan ucapan besannya. Terlalu merendahkan kami.

"Sudah nggak usah di ladenin hukum tabur tuai itu pasti berlalu," Ka Fani sengaja mengencangkan suaranya.

"Asal Ibu ingat ya, aku masih mampu membiayai anak-anakku tanpa Bang Jali," ucapku penuh penekanan.

Balas Dendam Istri Yang Kau Remehkan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang