Tersesat

2.3K 169 0
                                    

Yuk bantu penulis tumbuh dan berkembang dengan cara vote cerita ini.

Selamat membaca yah teman-teman.

Paginya saat aku bangun dari tidur, aku tidak melihat Ibu dan Bapak di kamar. Panik, aku membangunkan Fani, kami mencari Ibu bersama.  Kemana kedua orang tuaku?

"Ka, Ibu sama Bapak nggak ada di kamar," Aku menarik selimut Ka Fani, ia masih lelap.

Ka Fani mengucek-ucek netranya, ia kaget.

"Kamu udah cari di seluruh hotel?" tanya balik Ka Fani.

"Aku udah cari dari ruang atas sampai ruang bawah tapi belum ketemu," ujarku khawatir karena kedua orang tuaku sudah lanjut usia.

Ya Allah lindungilah kedua orang tuaku.

Dengan tergesa-gesa Ka Fani beranjak dari tempat tidur, Aku mengendong Fauzan yang menangis karena mendengar suaraku.

Kami mencari ke sekitar hotel, bertanya pada petugas. Menurut salah satu petugas mereka tadi melihat Ibu dan Bapak turun tapi tidak tau kemana lagi.

Hatiku semakin gelisah, memikirkan keadaan Ibu dan Bapak.

"Coba di telfon," usul Ka Fani.

Saking paniknya aku sampai lupa menelfon Ibu.

"Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi cobalah beberapa saat lagi," Jawab operator.

"Duh, nggak terhubung Ka," ungkapku, sambil berjalan kesana-kemari.

"Tenang...Nis, ayo kita cari keluar,"

Dalam keadaan genting, Ka Fani tidak ikut panik, ia terlihat lebih santai agar aku bisa mengontrol diri. Semenjak berpisah dengan Bang Jali aku sangat takut kehilangan orang-orang yang aku cintai. Sedetikpun tak luput perhatian dan kasih sayang mereka sepanjang masa.

Kami  berjalan menyusuri hotel, netraku menyisir setiap ruangan, dari sekian banyaknya pengunjung di hotel belum kutemukan Ibu dan Bapak.

"Pasti Ibu sama Bapak masih di sekitar hotel," Ka Fani meyakinkanku.

Sebelum mencari orang tuaku, kami sempat ke kamar mereka, barang-barang masih lengkap, ponsel Ibu dan Bapak pun tidak terbawa, tersimpan rapi di atas meja.

Aku melirik jam tanganku, masih jam setengah sembilan, biasanya jam segini Ibu dan Bapak sudah sarapan.

"Ka coba kita liat ke ruang makan aja ya," ujarku barangkali mereka sudah sarapan pagi.

Ka Fani mengikuti langkahku, tangan Rafi kugamit agar tidak terlepas dari jangkauan.

Kami memasuki ruang makan, melihat ke  arah kanan dan ke kiri, menandai satu per satu meja makan, tak ada Ibu dan Bapak disana.

Lelah, aku putuskan kembali ke kamar.

"Nenek...." teriak Raffi, aku reflek menoleh ke arah belakang. Ibu dan Bapak sudah di hadapan kami.

Aku menghambur ke dalam pelukan Ibu.

"Kalian sudah sarapan?" tanya Ibu santai, tidak tahukah aku sangat takut kehilangan mereka?

"Belum, kita abis cari Ibu sama Bapak, Nisa khawatir,"

"Tadi Ibu sama Bapak mau cari makan, tapi nggak enak mau bangunin kalian, pas di lift kita ikut-ikutan aja, eh kok malah ke atas terus ibu sama bapak bingung, pas ada yang ke bawah ikut ke bawah juga, lama-lama kita coba deh semua angka yang di tunjuk orang -orang, jadinya ke bawah ke atas, sampailah di sini," Tawa Ibu.

Ya ampun, aku baru ingat Ibu sama Bapak tidak mengerti naik lift, maklum ini pertama kalinya mereka ke kota. Rupanya mereka tersesat di lift.

Kami semua tersenyum, tertawa mendengar cerita Ibu. Aku bernafas lega, akhirnya Ibu dan Bapak sudah ketemu.

"Maaf ya Bu, Pak, Nisa lupa ajarin naik lift," ucapku merasa bersalah, kukira aku selalu bersama mereka jadi tidak khawatir Ibu dan Bapak pergi sendirian.

***
Disisi lain, Jali sedang  mengantar Ida ke warung membeli sayur-mayur. Disana sudah banyak orang-orang yang mengantri memilih sayur-sayuran segar.

"Kau tunggu disini ya Jali," Ida turun dari motor, ia langsung memilih sayur-sayuran.

"Eh Bu Ida, udah lama nggak belanja," Sapa Bu Marni.

Ya. Semenjak Jali dan Nisa bertengkar, Ida tida pernah menampakkan batang hidungnya ke warung Bu Marni, apalagi ia malu setelah menantunya menjadi buruh cuci -gosok.

"Ya, saya sibuk mengerjakan bisnis," Sahut Ida.

"Wah, sekarang Bu Ida bisnis kaya mantunya," Timpal Bu Hindun.

"Bu Hindun, saya udah nggak punya mantu, Jali udah sendiri," sahut Ida ketus.

"Duh sayang banget padahal Bu Ida, Nisa orangnya rajin buktinya bisa bikin usaha seblak, yang beli juga ramai saya aja langganan di sana, sekarang udah mandiri,"  ujar Bu Hindun seraya tersenyum manis.

"Halah usaha seblak aja, untungnya nggak seberapa Bu Hindun, kalau bisnis kontrakan kaya saya baru jelas, Bu Hindun tau kan, saya punya sepuluh kontrakan di kampung sini, belum lagi yang di kampung sebrang," Sengit Ida tak mau kalah, ia tidak suka dibanding -bandingkan dengan mantan mantunya.

Mata Ibu-ibu yang lain tertuju pada Ida, mereka saling berbisik.

"Belanjanya ini aja, Bu," Bu Marni menengahi pembicaraan.

Ida hanya membeli terong, tempe, ikan teri dan cabe.  tak lupa ia juga mengambil dua bungkus kerupuk.

"Ayamnya nggak beli Bu," ujar Bu Hindun.

"Saya mah bosen tiap hari juga  beli ayam kafece sama Jali," Tukas Ida sembari memberikan uang kemudian  mengangkat kedua tangannya yang penuh dengan gelang emas dan cincin, tepatnya pamer.

Desi yang baru tiba di warung mengelus dada, Bu Ida sombong sekali.

"Nih saya juga bayar Bu Marni," Bu Hindun mengangkat tangannya, rupanya dibalik daster panjang, emas Bu Hindun lebih banyak daripada Bu Ida.

Ida tersenyum kecut, ia lalu meninggalkan warung. Bu Marni hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua tetangganya.

"Baru punya perhiasan segitu aja sombong, saya aja yang punya banyak, diam-diam aja," ucap Bu Hindun.

"Biasalah Bu Hindun, kaya nggak tau mertuanya si Nisa aja tukang pamer," sahut Seseibu.

"Eh tapi saya mah saya baru liat, kalau perhiasan Bu Hindun banyak," Imbuh Desi.

Bu Hindun tersenyum, sebetulnya ia tidak ingin pamer tapi kesal melihat tingkah Ida yang seolah-olah paling kaya di desa ini.

"Saya tadinya mah tidak ada niat pamer tapi lihat kelakuan Bu Ida itu gemes kaya dia aja yang paling sohor di desa ini, padahal masih banyak orang-orang kaya di desa kita,"

"Betul tuh Bu Hindun saya mah setuju, tapi kalau saya lihat-lihat kok emasnya Bu Ida beda ya," sahut Desi.

Desi sudah sering melakukan jual beli emas, dia pernah di tawari emas imitasi, namun Desi tidak tertarik. Emas yang ia lihat mirip sekali dengan punya Bu Ida. Hanya saja Desi tidak berani bertanya lebih, ia memilih diam saat melihat ajang pamer Emas Bu Ida dan Bu Hindun.

"Beda gimana Des?" Hindun penasaran, ia mendekati Desi.

"Hus, nggak baik ngomongin orang, sudah -sudah lanjut di rumah saja," Sanggah Bu Marni karena semakin siang pelanggan semakin ramai.

Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Balas Dendam Istri Yang Kau Remehkan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang