Jatuh Sakit

1.7K 122 1
                                    

Siang teman-teman semuanya. Selamat membaca ya.

Makasih sudah setia menunggu cerita ini. Bantu penulis untuk tumbuh ya, karena dukungan teman-teman sangat berharga. 

Jangan lupa vote dan komen, terimakasih
*****

Pada akhirnya aku hanya mampu bicara tanpa menjelaskan.

Raffi berusaha mencerna perkataanku, ia menatapku dengan penuh tanda tanya.

'Maafkan Ibu, Nak,'

****

Malam ini tak biasanya Fauzan merengek lalu tertidur, kupegang keningnya.

Ya Allah. Suhu tubuhnya terasa hangat, ia demam. Gegas aku mengambil termometer.  Menaruhnya di ketiak.

'38,5'

Kuberi Fauzan penurun panas sambil kutempelkan baby fever. Agar panasnya segera turun.

Hati rasanya tak tenang, tidur pun tak pulas. Aku terjaga.

Sekitar lima belas menit, panasnya mulai turun. Aku menghela nafas, mengecup pipi Fauzan. Badannya masih hangat.

Paginya aku kesiangan. Buru-buru aku membuat sarapan dan pergi ke kantor.

"Fir, tadi malam Fauzan demam, nanti kamu  tolong pantau dia ya, badannya masih hangat, kalau panas lagi tolong bawa ke dokter ya, nanti kabari saya biar saya nyusul dari kantor," Pesanku pada pengasuh anakku, Fira.

"Baik, Bu," sahutnya.

Sejujurnya berat meninggalkan Fauzan yang sedang tidak enak badan, tapi aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan begitu saja.

"Ibu berangkat dulu ya," Kukecup Pipi Raffi dan Fauzan secara bergantian.

Mereka berdiri di depan pintu rumah, melihatku keluar membawa mobil ke kantor.

Kadang aku berpikir apa Bang Jali tidak merindukan kedua anaknya?

Sepuluh menit kemudian aku tiba di kantor, memarkir mobil di halaman.

"Pagi, Bu Nisa," Sapa Rendi, Laki-laki dewasa yang ramah tamah. Di luar kantor ia memanggilku secara formal.

"Pagi juga Ren," Aku membalas sambil melangkah menuju lift.

Kami naik lift yang sama. Rendi berdiri di depanku. Sementara aku berdiri di balik punggungnya.

Memasuki ruang kerja, aku membuka jendela menghirup udara segar. Dari bayangan kaca, aku melihat Rendi berdiri di batas ambang pintu.

Laki-laki itu memperhatikan gerak-gerikku, entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Ada apa Ren?" tanyaku, membalikkan badan memandang lurus ke arahnya.

Laki-laki itu mengulum senyum.

"Ini aku bawakan sarapan," sahut Rendi, menaruh sekotak nasi di atas meja kerjaku.

Dahiku mengernyit, tumben Rendi perhatian. Kulangkahkan kaki menuju meja kerja, mengambil nasi pemberian Rendi.

"Makasih jadi ngerepotin," ujarku basa-basi.

Matanya perlahan menatap wajahku.

"Ada yang mau aku bicarakan sama kamu, Nis,"

Sejurus kemudian aku menatap lurus wajahnya, ternyata ia memang memperhatikanku sejak tadi. Hanya aku tidak peka.

"Keliatannya serius, mau ngomong apa?" tanya dan candaku mencairkan suasana yang mulai tak nyaman.

"Aku...."

Balas Dendam Istri Yang Kau Remehkan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang