Pesan Misterius

1.5K 113 0
                                    


Ibu dan Bapak sudah tiba di tempatku bersama laki-laki yang hendak melamarku, Farhan.

"Harusnya Nisa bilang kalau Raffi hilang, jadi Ibu sama Bapak bisa langsung kesini bantu Nisa," Kata Ibu sembari menaruh tas di kursi lalu merebahkan bokongnya di sofa.

Aku memeluk Ibu, suasana haru menghiasi ruangan.

"Maaf, Bu. Nisa nggak mau  bikin Ibu sama Bapak khawatir," Air mataku luluh.

Ibu memelukku erat, mengusap pundak.

Aku beranjak ke dapur, mengambil minuman dan cemilan, lalu menyuguhkan di meja.

"Saya turut berdukacita atas musibah yang sedang kamu alami Nis,"Farhan membuka suara.

Kemeja pendek, celana levis dan model rambut TNI yang rapi. Penampilan Farhan berbeda dengan Farhan yang dulu aku kenal. Tampak lebih kekinian.

Aku tersenyum samar, "Terimakasih atas perhatiannya, Han. Maaf Ibu sama Bapakku jadi merepotkan," Lanjutku karena kedua orang tuaku menyewa mobil Farhan karena tidak ada supir rental yang siap akhirnya Farhan yang mengambil alih.

"Nggak apa-apa aku malah senang, bisa antar kedua orang tua kamu," Senyum mengembang di Wajah Farhan.

Kubuka toples cemilan di meja, menawarkan pada Farhan. Tangannya mengambil satu biskuit.

"Fauzan di mana Nis?" tanya Ibu.

"Masih tidur di temani sama Fira, suster yang merawat Fauzan,"

Ya. Jam setengah  empat pagi, Fauzan masih tidur ia belum bangun.

Aku mengajak Ibu beristirahat di kamar, sementara Bapak menemani Farhan di ruang tamu, menunggu waktu adzan Subuh.

Ibu banyak bertanya tentang kejadian Raffi, bagaimana ia bisa hilang?

Aku menjelaskannya pelan-pelan dan meminta Ibu tidak menyalahkan Fira, bagaimanapun Fira tidak bersalah sepenuhnya.

Kutelisik raut wajah Ibu, ia sedikit kecewa dengan kelalaian Fira tapi bisa memaklumi karena kondisi Fira yang panik membawa Fauzan ke rumah sakit.

***

Adzan subuh berkumandang, Farhan dan Bapak menunaikan shalat subuh berjamaah di mesjid. Kulihat mereka sangat akrab, saling bertukar cerita. Meskipun demikian Farhan masih bersikap sopan pada orang yang lebih tua darinya.

Kuambil air wudhu, menunaikan shalat subuh bersama Ibu. Kudengar suara Ibu yang mendoakan keselamatan untuk Raffi. Bukan hanya aku yang terpukul ternyata Ibu juga demikian.

Sebagai seorang Nenek, Ibu sangat menyayangi Raffi dan Fauzan. Melimpahkan kasih dan sayangnya pada mereka. Sering membelikan cucunya mainan dan makanan. Tak hanya itu, Ibu juga rela menghabiskan waktunya bersama mereka, menemani bermain, pergi jalan-jalan.

Usai shalat, Farhan izin pamit pulang kembali ke kampung. Ia menolak uang yang diberikan Ibu dan Bapak. Alasannya karena ia senang membantu keluarga kami.

Kupaksa Farhan menerima uang ongkos, karena tak ingin menjadi hutang budi. Ia tetap menolak, niatnya tulus membantu tanpa imbalan.

"Aku senang membantu kedua orang tuamu Nisa, aku menunggumu sampai kamu siap membuka hatimu kembali tapi aku tidak memaksa, dan tidak akan menjadikan hutang budi sekalipun kita tidak bisa bersama, maaf kalau aku lancang berbicara seperti ini. Aku harap kamu tidak salah paham," ucap Farhan sambil berpamitan pada Ibu dan Bapak.

Sontak aku terkejut mendengar pernyataan Farhan. Aku hanya diam tak mampu menjawab ucapannya.

***

Tiga hari sudah kulalui hari-hariku tanpa Raffi, berteman sepi. Semangatku lenyap begitu saja, tak bertenaga mengerjakan urusan kantor, urusan bisnis warung.

Balas Dendam Istri Yang Kau Remehkan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang