Lelaki Misterius

2.2K 148 0
                                    

Siang, sudah update ya... yuk bantu penulis tumbuh dengan cara vote ya...



Astaghfirullah.

Bukankah ini Raja adiknya Bang Jali, aku mengamati video yang sedang viral, apakah kemewahan membutakan hatinya hingga ia nekat menjadi curanmor. Aksinya terekam di CCTV salah satu minimarket.

Raja bekerja di sebuah perusahaan menjadi Operator, sebulan ia bisa mengantongi tujuh juta rupiah. Namun semua itu tak cukup dengan gaya hidupnya yang tinggi.

Ia selalu mentraktir   teman-temannya di Cafe, membelikan mereka makanan dan minuman. Tak jarang mereka main judi. Aku tau kebiasaan Adik ipar ku karena sering melihat ia pergi bersama teman-temannya, sering memuji Raja yang royal.

Kasian sekali, di usianya yang masih muda ia mendekam di penjara. Bagaimana nasib keluarga Bang Jali saat ini?

Teringat bagaimana perlakuan mereka, rasa Ibaku berubah menjadi acuh. Mereka juga tidak pernah peduli padaku.

****
Semakin hari usaha seblakku semakin laris, setiap harinya bisa mencapai lima puluh pesanan seblak, belum lagi yang via aplikasi karena melihat pontensi usahaku semakin berkembang kini aku sudah mempekerjakan dua orang karyawan.

Mereka sangat gesit melayani pesanan pembeli. Salah satu dari mereka seorang yatim, ayahnya sudah meninggal sejak ia sekolah menengah pertama.

Sofia, gadis belia berusia sembilan belas tahun, pekerja keras dan mandiri.

"Teh, ada yang pesen tapi maunya di layani teteh," ujar Sofia.

Aku mengernyitkan kedua alisku, ada-ada saja permintaan pelanggan satuku ini.

Aku yang sedang memasak seblak, mengalihkan tugas pada Sofia segera menghampirinya.

"Mau pesan apa Mas?" ujarku seramah mungkin.

"Pesan dua puluh bungkus semuanya komplit, saya tunggu disana ya," Pria berkacamata hitam itu kemudian duduk di pojok.

"Pengagum rahasia kali, Teh," Imbuh Irma dia tersenyum memandangku.

"Ah teteh mah bukan gadis lagi, seharusnya mah sukanya sama kalian yang masih muda dan cantik," sahutku, bersikap santai meskipun aku penasaran siapa laki-laki berkacamata hitam itu? Apakah pernah bertemu sebelumnya?

Mengingat aku hanyalah seorang Janda beranak dua, masih trauma dengan pernikahan. Hanya saja aku tidak ingin tampak kentara dengan dua pegawaiku khawatir mereka akan takut menjalani kehidupan baru.

Sofia dan Irma melayani pesanan lainnya, sedangkan aku fokus mengerjakan pesanan khusus.

Setalah pesanan selesai aku mengantarkan nya ke meja. Laki-laki itu, terkesan dingin ia membayar pesanannya kemudian pergi.

Aneh.

***

"Bu," Raffi memanggilku, aku menghampiri sulungku. Sebentar lagi usianya menginjak empat tahun.

Rencananya aku ingin menyekolahkan Raffi di Paud agar ia terbiasa bersosialisasi dengan teman sebayanya.

"Ada apa, Raff,"

"Apa benar Bu, Raffi sudah dibuang Bapak?" tanya Raffi membuat hati ini teriris. Darimana Raffi bisa menyimpulkan kata-kata seperti itu. Aku tergugu, seharusnya ia masih mendapatkan kasih sayang dari seorang Ayah. Sayangnya baik ada Bang Jali ataupun tidak ada, dunia Bang Jali lebih memukau daripada kami anak dan istrinya.

"Raffi kok bilang begitu," Aku mencoba memancing sulungku agar terbuka.

Raut wajahnya tampak sedih, ia duduk di sampingku. Sedangkan Ibu dan Bapak berada di ruang atas bersama Fauzan.

"Kata teman-teman Raffi, cuma Raffi yang nggak pernah jalan-jalan sama Bapak, teman-teman Raffi semuanya jalan-jalan sama Bapaknya, di antar main, di temani pergi,"

Haru menyelimuti kabut netraku, aku menahan tangis di depan Raffi. Seharusnya Rafi bisa merasakan apa yang temannya rasakan.

Teringat tiga tahun lalu.

"Bang anak kita laki-laki," ucapku setelah melahirkan putra pertama, Bayi yang sudah kami tunggu kedatangannya.

"Laki-laki?"

Bang Jali tampak tidak percaya angannya mendapatkan anak perempuan tidak terwujud. Ada guratan kecewa tergambar di wajah suamiku.

"Iya, ganteng kaya Abang," Aku berusaha tersenyum.

"Abang kira anak perempuan taunya laki-laki," Bang Jali menatap Raffi sekilas, ia belum berani menggendong anaknya.

"Bang baik Laki-laki dan perempuan sama aja, bedanya hanya jenis kelamin, toh tetap saja anak Abang, malah Abang jadi punya teman main," Aku mencoba membuka pikiran Bang Jali.

Awalnya Bang Jali menerima, ia menyayangi Raffi sepenuh hati membantuku menjaga dan mengasuh Raffi.

"Anakmu laki-laki?" tanya Ibu mertuaku saat  pertama berkunjung setelah aku melahirkan.

"Iya, Bu," Bang Jali tersenyum hingga menampilkan deretan gigi putih miliknya.

"Kalau laki-laki mah di keluarga kita sudah banyak, yang  belum cucu perempuan, Ibu kira perempuan, pasti bakalan heboh di keluarga, kita jadi orang pertama yang punya anak perempuan," Kata-kata Ibu menusuk hati. Aku berusaha tersenyum meski perih.

"Sama aja Bu," Bang Jali membela.

"Sama apanya Jali, jelas beda antara perempuan dan laki-laki, beda jenis, ada-ada aja, laki-laki mana bisa jadi perempuan, perempuan pun mana bisa jadi laki-laki, kecuali mereka punya kelainan," Ibu tertawa merendahkan.

Lama-lama Bang Jali terpengaruh oleh ucapan Ibu, ia berubah bahkan sampai lahiran anak kedua, ia sangat kecewa karena anak yang aku lahiran kembali laki-laki bukan perempuan seperti yang Bang Jali inginkan.

Bang Jali mulai berubah, ia tidak pernah membantuku mengasuh Fauzan dan Raffi, ia sibuk dengan dunianya sendiri, bermain game, pergi tanpa kami. Kami bagaikan orang yang tidak berarti dalam hidupnya.

Aku hanya pasrah, menyalahkan diri yang tidak bisa memenuhi keinginan suamiku. Sampai akhirnya Bang Jali perhitungan dengan gajinya. Merasa aku tidak bisa mewujudkan keinginan suamiku.

Ibu mulai mendoktrin Bang Jali karena aku belum bisa menjadi pemenang di keluarganya entahlah pemenang apa yang harus di menangkan?

Bukankah setiap yang lahir di muka bumi sudah menjadi bagian takdir dari sang maha Kuasa. Baik laki-laki dan perempuan mereka semua tercipta di muka bumi atas kehendakNya. Manusia hanya bisa merencanakan tapi sebaik-baik rencana hanya sang Maha Pencipta yang menentukan.

Raffi dan Fauzan buah ke egoisan Bang Jali,  ia mudah terpengaruh dengan Ibu. Ia abai dengan ucapanku. Berkali-kali aku berusaha membuka pikiran dan hati Bang Jali.

"Bang di luar sana masih banyak orang yang belum bisa punya keturunan, baik ia melahirkan seorang bayi laki-laki dan perempuan, seharusnya kita bersyukur Raffi dan Fauzan hadir dalam kehidupan kita," ungkapku.

"Tapi tetap saja di keluargaku belum ada yang melahirkan anak perempuan, aku ingin anak perempuan Nisa, aku ingin memiliki seorang putri," Bang Jali tetap teguh pendirian aku tidak menyalahkan keinginan Bang Jali tapi setidaknya jangan abaikan Raffi dan Fauzan.

"Nisa mengerti tapi semua yang lahir di muka bumi ini, sudah garis takdir dari sang Maha kuasa Bang, Abang juga seorang laki-laki bahkan tidak punya saudara kandung perempuan tapi Bapak tetap menyayangi Abang," Aku terus berusaha meluluhkan hati Bang Jali.

"Jangan kau samakan lah Nis itu dulu beda dengan sekarang, Bapak memang ingin anak laki-laki beda denganku yang ingin anak perempuan, kau tak paham juga! Hah," Bang Jali emosi ia melangkah pergi keluar rumah, menyesap sebatang rokok.

Semenjak itu aku mengasuh Raffi dan Fauzan tanpa bantuan Bang Jali. Biarpun mereka kurang mendapatkan kasih sayang dari Ayahnya setidaknya mereka masih punya seorang Ibu yang selalu menyayangi mereka lebih dari apapun.








Balas Dendam Istri Yang Kau Remehkan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang