Mantan suami

2.7K 144 2
                                    

"Hei Nisa keluar kau," teriak seorang laki-laki yang suaranya tak asing bagiku.

Aku segera turun dari kamar, mengambil jilbab dan memakai cardigan.

Kulihat Bang Jali marah-marah di depan warung di temani wanita yang kemarin bersamanya.

"Ada apa teriak-teriak di depan warung?" tanyaku.

"Apa-apaan kau ini ancam Ibuku, beraninya sama orang tua," ujar Jali sambil berkacak pinggang.

Rupanya Bang Jali baru tau masalah di warung tempo hari.

"Abang tanya saja sama Ibumu apa yang dia lakukan di warungku, Nisa nggak ancam Ibu tapi Ibumu yang tidak mengakui kesalahannya," Aku bersungut-sungut menatap tajam dua insan tak tahu malu ini.

Pagi-pagi sudah membuat kegaduhan di depan warung. Banyak tetangga sekitar rumah yang berkerumun melihat pertengkaran kami.

"Mentang-mentang sudah jadi bos beraninya ancam orang tua," Timpal Riana.

"Mbak, jangan asal bersuara ya, kalau tidak tau masalahnya," Balasku sengit.

"Halah kau itu pandai beralasan," Tukas Jali tak mau kalah.

"Kalau kau tak percaya Jali ayo kita temui Ibumu," Sudah hilang rasa hormatku pada mantan suamiku ini. Selalu merasa benar dan tidak mau di salahkan.

Jali menolak ajakan Nisa, ia maju mendekati mantan istrinya "Memangnya kau selalu benar, Hah?" tanya Jali seraya mendorong badan Nisa namun dihalangi oleh Rendi yang baru datang ke warung.

Warga bersorak, histeris saat Jali mulai kasar.

"Jangan macam-macam dia ini calon istri saya," ujar Rendi membuat jantung Nisa hampir copot.

Nisa memandang Rendi tanpa berkedip, dengan adanya Rendi Ia terlindungi dari kekerasan Jali.

Jali menatap Rendi dengan sorot mata tajam ia pergi dari depan warung.

"Mbak Nisa nggak apa-apa kan?" tanya Rendi.

"Iya makasih ya," ucap Nisa.

Nisa masuk ke dalam warung di temani Rendi.

"Ada apa Bu ramai-ramai?" tanya Irma kebingungan. Ia baru tiba di depan warung.

Nisa pun menceritakan kejadian yang terjadi di depan warung.

"Ya ampun keterlaluan, Bu. Beruntung ada Pak Rendi yang bantuin, maaf yah Bu saya baru datang," Papar Irma.

"Iya nggak apa-apa," sahut Nisa sambil menyesap segelas air putih.

Irma masuk ke dalam ruangan masak, ia menata bahan-bahan masakan dengan rapi.

"Yang tadi itu saya minta maaf kalau lancang," Rendi melirik Nisa.

"Iya terimakasih, saya malah berterimakasih sudah di tolongin," sahut Nisa seraya membenarkan posisi duduknya.

Wajah itu tersenyum meski tak langsung menatapku.

Lalu ia bertanya tentang keputusanku menerima tawaran Bu Latifa, dengan yakin aku memutuskan menerima amanat yang di berikan.

"Alhamdulillah kalau Mbak Nisa setuju, Ibu pasti senang mendengar kabar baik ini,"

Sudah saatnya aku membalas kebaikan Bu Latifa, wanita yang telah membantu kehidupanku.

Tak lama ia izin pamit ke kantor karena masih ada urusan yang harus di selesaikan.

Aku kembali masuk ke dalam rumah, menengok Fauzan yang sudah bangun dari tidur. Kakaknya sendiri sudah mandi. Sedangkan Fira menggendong Fauzan sambil menyiapkan air hangat. Bungsuku kalau mandi selalu menggunakan air hangat.

Aku membuat teh hangat. Mencoba menstabilkan suasana hati, kemudian merenung dan menguatkan mental.

Bismillah semoga aku bisa mengemban amanat dari Bu Latifa dengan baik.

****

"Bagaimana kau sudah membuat perhitungan dengan si Nisa?" tanya Ida seraya tersenyum sinis.

"Udah Ibu tenang aja, Jali yang urus semuanya," sahut Jali dengan yakin

"Baguslah, Ibu senang mendengarnya,"

Riana pun ikut senang, ia duduk di samping Jali.

****

Satu file terkirim, aku segera mengecek pesan dari Rendi. Aku membukanya dengan perlahan-lahan, ternyata cukup banyak yang harus aku pelajari.

Aku menghela nafas panjang, memahami satu per satu kalimat yang terangkai. Fokus pada bagian tugas karena besok sudah harus terjun ke lapangan.

Tak lama Rendi mengirim pesan kembali.

[Ada yang ingin di tanyakan?]  Pesannya.

Sejauh ini cukup di pahami dan di mengerti.
Tak ada yang ingin aku tanyakan, kututup tampilan dokumen lalu membalas pesan Rendi.

[Sejauh ini aman] balasku sambil memperhatikan Raffi yang menikmati cemilan sore.

[Syukurlah, besok sudah siap ya]

[InsyAllah] Aku menjawab dengan yakin.

"Bu, kesana ," Tiba-tiba Raffi menghampiriku yang sedang memainkan ponsel.

"Kemana?" tanyaku, Raffi memandang ke arah luar jendela, memperhatikan seorang anak kecil yang sedang berjalan bersama Ayahnya.

Ada rasa perih di dada, anak kecil seperti Raffi seharusnya masih mendapatkan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Sayangnya semua itu jauh dari bayangan, nasib pernikahan kami harus berakhir.

Bangkit dari tempat duduk, aku mengajak Fauzan dan Raffi keluar rumah, seingatku ada toko es krim yang tak jauh dari lokasi rumah. Baru-baru ini baru buka, aku berjalan menggandeng tangan Raffi. Menyusuri jalan Raya.

Suasana hilir mudik mobil dan motor berlalu lalang, menghiasi pemandangan sore hari ini. Fauzan sangat senang, ia juga berjalan di tuntun Fira. Sesekali tangannya melepas pegangan, tak mau di pegang. Ah, bungsuku seperti orang dewasa saja.

Tak lama kami sampai di kedai Es krim.

"Asik makan es krim," Seru Raffi, ia sangat antusias.

"Raffi mau yang mana?" tanyaku seraya tersenyum.

"Mam, mam," celoteh Fauzan sambil mengangkat kepalanya, menunjuk-nunjuk gambar es krim. Menggemaskan sekali

"Ade mau yang ini?" tanyaku sambil hendak mengangkat tubuh mungilnya namun ia menolak terus menunjuk gambar es krim.

Raffi memesan es krim rasa coklat sama dengan Fauzan, sementara Fira memilih rasa strawberry dan coklat dan aku lebih menyukai rasa buah-buahan.

Kami duduk di tengah menunggu pesanan es krim, Lagi Fauzan menolak di gendong ia juga tak mau duduk, berjalan kesana-kemari, ia memang aktif. Meskipun tubuhnya kecil tapi sangat lincah.

Aku tersenyum, lalu mengambil ponsel di saku, mengambil foto Fauzan dari arah kejauhan kemudian berfoto dengan Raffi. Senyumnya mengembang tampak bahagia.

Setelah lima menit pesanan kami datang, aku memanggil Fauzan. Ia langsung berlari tak sabar ingin memakan es krimnya. Fauzan duduk, menyendokkan es krim ke dalam mulutnya sendiri, tapi akhirnya jadi belepotan.

Aku tertawa melihat tingkah Fauzan, benar-benar berbeda dengan Kakaknya sewaktu masih kecil, Raffi lebih pendiam.

"Emang bisa makan sendiri?" tanyaku memperhatikan cara Fauzan menikmati es krimnya.

Namun sungguh di luar dugaan Fauzan malah menyodorkan sendok Es krim " Mam," ucapnya dengan percaya diri ingin menyuapi.

Fira tersenyum, ia hendak menyuapi Fauzan tapi Fauzan enggan memberikan sendoknya, jadilah ia makan sendiri. Tak banyak es krim yang masuk ke dalam mulutnya, hanya beberapa suap, itu pun sedikit sekali. Tapi semangatnya luar biasa walaupun berkali-kali susah meraih es krim ke dalam sendok.

Ponselku berdering, tertera nomor baru.

"Iya dengan siapa?" tanyaku ramah.

Ya ampun ternyata...





Balas Dendam Istri Yang Kau Remehkan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang