Cinta Seorang Ayah

2.5K 180 0
                                    

Selama membaca. Bantu penulis tumbuh dan berkembang yah teman-teman dengan cara vote cerita ini.


Hening.

Tak ada yang menjawab pertanyaan dari Ibu. Ka Fani dan diriku memilih diam untuk sementara.

Rumah kami masih sama seperti dulu, warnanya masih hijau tak banyak perubahan. Aku menaruh Fauzan di ranjang , foto-foto zaman sekolah masih terpajangan , masa-masa kecil yang menyenangkan.

Fauzan terbangun dari tidurnya, ia meminta susu. Aku melangkah menuju dapur, menuangkan air termos ke dalam botol susu.

"Makanlah dulu, baru istirahat," suara yang aku rindukan kini di depan mataku.

Di meja makan sudah ada Ka Fani sedang menyuapi Haura. Aku menoleh sekilas membawa Fauzan ikut bergabung di meja makan bersama Raffi.

Hidangan sederhana tapi nikmat, gulai pucuk daun ubi di hidangkan bersama tempe dan telur ceplok.

"Makan yang banyak," Bapak memandang kami semua, sebagian rambutnya sudah di hiasi warna putih.

Raffi makan begitu lahap, ia menghabiskan makanannya sampai habis. Ibu tersenyum senang kemudian mengambil alih menggendong Fauzan, memberikanku waktu makan. Sudah lama aku tak merasakan makan senikmat ini, makan dengan tenang tanpa buru-buru karena Fauzan terbangun.

"Jadi Jali sudah menjatuhkan talak, dari dulu Bapak tidak setuju," Raut wajah Bapak tampak masam, sementara Ibu terkejut mendengar ceritaku.

Aku mengangguk, hanya kesedihan yang aku rasakan saat ini, air mataku sudah habis mengering meratapi nasib rumah tangga kami.

Di sofa ruang tamu, aku bercerita pada Bapak dan Ibu setelah anak-anak tidur. Kulihat Bapak mengontrol emosinya. Mengepalkan kedua tangan.

"Tinggal disini saja, biar Ibu rawat cucu-cucu Ibu,"

Aku menghela nafas berat, usia Ibuku sudah memasuki angka lima puluh dua tahun, aku tidak ingin merepotkan Ibu.

"Biarlah Nisa menentukan pilihannya sendiri Bu," sahut Bapak seolah mengerti perasaanku.

Malam kian larut, pikiranku tidak tenang memikirkan masa depan Raffi dan Fauzan. Kupandangi kedua buah hatiku, ada perasaan bersalah karena aku telah memisahkan mereka dari ayahnya, suatu hari nanti mereka akan tau sendiri penyebab perpisahan kedua orang tuanya.

Sampai aku tiba di kampung halaman Bang Jali tidak menanyakan kabar kami setidaknya Raffi dan Fauzan. Kuletakan kembali ponsel di atas meja, rasa kantuk merajai tubuhku.

Paginya aku melihat Ibu dan Bapak sudah siap pergi keluar rumah, dahiku mengernyit.  Kulirik jam dinding, masih pukul setengah enam pagi tapi Ibu dan Bapak sudah meninggalkan kami di rumah.

"Kami pergi dulu ya, Ibu sudah siapkan sarapan pagi" ujar Ibu seraya menenteng tas.

Ibu masih sama seperti dulu, bangun sebelum subuh dan menyiapkan sarapan untuk kami lalu pergi mengurusi sapi-sapi kami.

Mertuaku tidak pernah tau karena keluargaku tidak pernah cerita.

****

Setelah kepergian anak dan istrinya Jali tinggal di rumah orang tuanya, seluruh gajinya Ibunya yang pegang.

"Jangan kau urus surat-surat perceraian, biar si Nisa saja, toh dia juga yang minta cerai," Kata Ida ia tidak mau mengeluarkan uang hanya untuk mengurus proses perceraian anaknya.

"Tenang aja Bu, siapa juga yang mau urus surat perceraian mending uangnya buat kawin lagi," Canda Jali.

"Memangnya kau sudah ada wanita lain?" tanya Ida raut wajahnya berubah menjadi serius.

"Ada, " Jali menanggapi Ibunya dengan serius.

"Pokoknya kalau kau mau nikah lagi, Ibu setuju asal jangan bawakan Ibu mantu seperti si Nisa lagi, cari yang sepadan dan berkerja seperti kamu, supaya kalian bisa maju," Tambah Ida lagi sambil mencomot bolu pisang di meja ruang tamu.

"Ibu apa-apaan si, belum tentu Bu wanita lain itu bisa seperti Nisa yang menerima Jali apa adanya, daripada kawin lagi mending uangnya untuk biaya sekolah anakmu Jali, kalau kamu tidak peduli dengan anakmu nanti kau akan menyesal di masa tua," ujar Bapak membuka pikiran anak laki-lakinya.

Sebagai anak kedua  watak Jali sangat berbeda dengan Kakaknya.

Jali mencerna ucapan Bapaknya, namun egonya lebih mendominasi.

"Jali juga butuh pendamping hidup yang nurut sama Jali, lagian Bapak ini malah bela Nisa terus bukan anak sendiri," Protes Jali.

"Begitulah Bapakmu, sudah jelas-jelas mantu kesayangannya itu cuma bikin malu malah di bela terus," Ibu malah memprovokasi keadaan.

"Bu nggak baik terlalu ikut campur urusan rumah tangga anak," ujar Bapak.

"Sudahlah Pak, aku ini ingin yang terbaik buat anak-anakku," Ibu tak mau kalah.

Kalau sudah begini Jali hanya diam, ia memilih masuk ke dalam kamar menyetel musik favoritnya.

***

"Nenek pulang," Raffi dengan semangat menyambut kedatangan Ibu dan Bapak Nisa,  Rossa memeluk cucunya dengan penuh  kasih sayang.

"Nenek Bawa apa?" tanya Raffi, ia melirik kantong plastik hitam yang di bawa neneknya.

"Nenek Bawa ayam goreng,"

"Yey," Raffi berteriak kesenangan. Haura ikut gembira menyambut kedatangan Neneknya.

Di kampung halaman Nisa, Raffi sangat senang sekali, setiap hari Rossa membelikan makanan untuk ketiga cucunya.

"Setelah bercerai apa rencanamu Nisa?" tanya Bapak seraya menyeruput secangkir kopi hangat di teras rumah.

Fani menemani anak-anaknya bermain. Sementara Ibu sedang membuatkan cemilan.

Nisa hanya diam, hatinya  masih bimbang.

"Usaha ternak sapi kita sudah ada kemajuan, sekarang banyak orang-orang yang berlangganan membeli sapi di peternakan kita karena kualitas dagingnya bagus, sapinya juga tumbuh sehat dan gemuk, kemarin Bapak dan Ibu sudah menjual beberapa sapi untuk modal kalian di kota, Bapak tidak mau anak-anak Bapak terus di rendahkan orang lain, sedangkan sawah dan tanah kita yang paling luas di kampung ini masih terawat dengan baik,"

Nisa terharu, ia tidak sanggup berkata apa-apa lagi, kedua orangtuanya masih sangat perhatian.

"Ini Bapak berikan modal untuk kamu dan Fani membuka usaha, kalau kurang bilang saja, kalau kamu butuh apa-apa Bapak dan Ibu selalu ada untuk kalian, selama Bapak masih bisa membantu kalian Bapak akan membantu semampu Bapak, Bapak dan Ibu tidak mau merepotkan anak-anak, kalau bisa kami yang membantu kalian, Bapak sama Ibu juga mau kalian maju," Suara Bapak terdengar gemetar menahan tangis.

Aku menggenggam tangan Bapak, " Makasih Pak, " ucapku tak dapat aku menahan air mata.

Di saat suamiku sendiri mengabaikanku dan anak-anaknya,  aku masih di kelilingi keluarga yang baik, kedua orang tua yang sangat perhatian, Kakak yang selalu membantuku, anak-anak yang selalu memberikan senyuman, membuat hati ini kuat menjalani kehidupan baru tanpa suami.

Ibu dan Ka Fani datang menghampiri kami bersama anak-anak membawakan cemilan, kami menikmati pisang goreng tanduk, sambil bercanda ria melihat anak-anak bermain di teras.

Hari ini sangat menyenangkan, aku merasa hidup kembali setelah kesedihan menerpa nasib rumah tanggaku. Esok hari akan ada hari yang lebih baik, akan kubalas satu per satu perbuatan mereka.


















Balas Dendam Istri Yang Kau Remehkan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang