Jam menunjukkan pukul 17:30, sekitar 20 menit lagi waktu Maghrib akan segera tiba, sementara Fazha masih berada di sebuah halte bus menunggu hujan reda. Jarak antara kampus ke rumahnya memang cukup jauh.
“Iih Abi mana sih kok belom jemput,” gerutu Fazha dengan matanya yang berkaca-kaca. Suasana semakin petang di tambah lagi dengan gumpalan mendung yang mengapung di langit. Hujan turun deras sekali di sertai petir dan kilat.
“Mana HP gw lowbat ya elahh!!” ucapnya. Tak terasa air mata telah membasahi pipinya. Ia menangis bagai anak kecil yang tersesat. Terlebih lagi, ia phobia dengan suara gemuruh petir.
“Umma…!! Fazha takut!!” Fazha menangis dengan berteriak kecil. Langit semakin gelap dan jalanan di sekitar situ sangat sepi, tak ada seorang pun yang melintas. Rasa takut semakin menyelimuti dirinya.
•
•
•“Umma,” lirih Fazha yang perlahan membuka matanya. Ia melihat seorang wanita berkhimar abu-abu dan berpikir pasti itu Ummanya.
“Alhamdulillah … kamu udah siuman, Nak,” jawab wanita itu dengan suara lembutnya.
“Lho? Bu-bukan Umma, ya? Ter-terus siapa?” tanya Fazha setelah melihat wajah wanita itu dengan jelas.
“Saya Fatimah, Umminya Azhka. Tadi Azhka bilang dia liat kamu pingsan di pinggir jalan dekat halte bus, akhirnya dia bawa kamu kemari. Katanya kamu salah satu mahasiswanya Azhka, ya?” jawab wanita itu yang kembali bertanya.
“A-azhka?” Fazha tampak sedang mengingat-ingat sesuatu. Nama tersebut terdengar familiar di telinganya.
“Gu-gus Azhka, ya?” tanya Fazha.
“Iya, Nak,” jawab wanita itu dengan tersenyum simpul.
“Hah?!!! Omaygattt!!!” batin Fazha. Ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi padanya.
“Kalo Gus Azhka di panggil dengan sebutan ‘Gus’ itu berarti … hah?!!” ucap Fazha dalam hati.
“Ah ka-kalo gitu … maaf, Nyai. Fazha udah ngerepotin,” ucap Fazha yang langsung menyalami Nyai Fatimah.
“Enggak kok, Nak,” jawab Nyai Fatimah tak lupa dengan senyuman tulusnya.
“Kalo boleh tau, nama lengkap kamu siapa?” tanya Nyai Fatimah.
“Al-Fazha Humaira,” jawab Fazha.
“Ooh Fazha, ya. Kalo gitu … Nyai tinggal dulu sebentar, ya. Kamu istirahat aja di sini,” ujar Nyai Fatimah.
“I-iya, Nyai.”
Kini Fazha tinggal seorang diri dalam sebuah kamar yang bernuansa islami itu. Ia berjalan mendekati jendela, lalu melihat ke arah keluar.
“Lho? Ini di pesantren ternyata??! Pasti punya Nyai Fatimah dong,” batin Fazha
Ia lalu melihat ke arah jam dinding, ternyata sudah pukul 8 malam.
“Umma…” lirih Fazha yang kembali teringat Ummanya. Cairan bening keluar dari pelupuk matanya.
“Abi sama Umma pasti lagi nyariin gw nih. Pengen pulang, Ya Allah… Gw janji deh nggak akan jadi anak nakal lagi asalkan bisa pulang, Ya Allah,” ucap Fazha dalam hati. Ia menangis tersedu-sedu sembari terus memandang ke arah luar melalui jendela.
“Eh, kalo ngomong sama Allah nggak boleh pake ‘Gw’ deng, nggak sopan,” batin Fazha dengan polosnya.
“Eh lagian gw udah janji sama Risa buat jadi cewek calm and baik. Kalo gitu mulai sekarang gw harus berubah!! Kalo ngomong harus pake bahasa sopan. Kalo pake ‘Aku-Kamu’ buat ngobrol sama orang lain pantes nggak sih?? Ah pantes-pantesin aja deh,” ujar Fazha. Ia terus bergumam dengan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gus Halalku
Jugendliteratur[Follow sebelum membaca] "Fazha nggak cinta sama Gus Azhka!" elak Fazha. "Jangan bohong. Risa yang bilang ke saya!" jawab Gus Azhka. Fazha terdiam sejenak. Mulutnya serasa terkunci, ia tak tahu harus menjawab apa. "Tapi rasanya nggak adil jika han...