24. Cinta Yang Rumit

5K 224 0
                                    

“Saya nggak ngelawak, Gus, tapi–” ucap Erik yang terpotong.

“Sekali lagi kamu bicara, saya lakban mulut kamu!” bentak Gus Azhka.

“Iya-iya,” jawab Erik dengan ekspresi pasrah.

“Hadehh, mereka berdua nggak pernah berubah. Di situasi kaya gini sempet-sempetnya debat,” batin Risa.

“Eumm … Ning Fazha gimana, Gus?” tanya Erik.

“Kondisinya masih lemah. Kata dokter, dia harus di rawat dulu,” jawab Gus Azhka.

“Ya Allah, semoga cepet pulih,” gumam Erik.

“Gitu banget nasibnya Fazha, Ya Allah. Padahal dulu waktu jaman kuliah, Fazha sering ngehalu kalo hidupnya bakal bahagia sama pasangannya nanti, dulu dia heboh sendiri kalo masalah ngehalu. Kasian banget liatnya,” ucap Risa dalam hati.



Keesokan harinya….

“Gus Azhka kayanya capek banget. Semalem nggak tidur, ya?” tanya Fazha saat melihat wajah Gus Azhka yang lesu dan kantung matanya yang sedikit menghitam.

“Saya baik-baik aja,” jawab Gus Azhka di sertai senyumannya.

“Kapan rumah tangga kita bakal baik-baik aja, Gus?” lirih Fazha.

“Setelah ini, Humaira. Percayalah, Allah nggak akan menciptakan badai tanpa pelagi setelahnya,” jawab Gus Azhka.

“Perutnya masih sakit?” tanya Gus Azhka dengan lembut.

“Sedikit,” lirih Fazha.

“Nanti sembuh, ya,” ujar Gus Azhka dengan tersenyum simpul.

“Fazha pengen pulang,” ucap Fazha.

“Sabar, ya, kita tunggu apa kata dokter,” jawab Gus Azhka.

“Sebenernya aku pengen nanyain tentang Naura. Tapi takut Gus Azhka marah. Ngomong-ngomong … Naura gimana, ya, semalem?” ucap Fazha dalam hati. Ia belum tau bahwa Naura telah mengakhiri hidupnya.

“Eh, Gus Azhka semalem keren banget gil4,” batin Fazha dan tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyuman.

“Kenapa senyum-senyum?” tanya Gus Azhka.

“Eh, ng-nggak papa,” jawab Fazha.

“Gus,” lirih Fazha.

“Hm,” jawab Gus Azhka.

“Maaf,” ucap Fazha lalu meraih tangan Gus Azhka dan menggenggamnya.

“Untuk apa?” tanya Gus Azhka.

“Semuanya,” jawab Fazha lalu menyeka air matanya yang hampir jatuh.

“Harusnya saya yang minta maaf. Saya udah banyak menyakiti kamu, saya merasa gagal membahagiakan kamu, Humaira,” ujar Gus Azhka.

“Tapi Fazha bahagia kok sama Gus Azhka. Bahagia … banget,” jawab Fazha yang membuat Gus Azhka terharu.

“Jangan nangis,” ucap Fazha.

“Iih, nggak nangis,” jawab Gus Azhka.



Di sisi lain….

“Kamu belom mau nikah, Ris? Udah di duluin sama Qayla sama Ning Fazha,” ledek Riyan.

“Males, aku 'kan belom kaya!” ketus Risa lalu berjalan mendahului Riyan.

“Ekhem, seorang perempuan itu, lebih baik jangan berjalan di depan laki-laki, apa lagi yang bukan mahram,” ucap Riyan yang membuat Risa langsung menghentikan langkahnya.

“Duh, malu banget,” batin Risa.

“Ris, kamu pernah nggak sih nyimpan rasa sama seseorang yang kayanya tuh udah lama … banget. Terus kayanya tuh cinta … banget, tapi nggak mau ngungkapin. Yah, istilahnya mencintai dalam diam,” ucap Riyan setelah langkahnya sejajar dengan Risa.

“Pernah. Sakit, ya,” jawab Risa tanpa menyadari kata-katanya.

“Pengalaman, ya,” ujar Riyan dengan terkekeh di ujung perkataannya.

“Iya, apa lagi orang yang kita suka itu nggak suka balik sama kita. Terus dianya kaya cuek gitu. Nyatanya, mencintai seseorang yang paham agama itu sulit, karena yang harus di rayu adalah Tuhan-Nya bukan nafsunya,” jawab Risa.

“Sedang berada di posisi mencintai tanpa di cintai,” imbuh Risa dengan tersenyum kecut.

“Dan orang itu kamu, Riyan,” ucap Risa dalam hati.

“Kita sama. Senasib kita, Ris,” jawab Riyan.

Deg.

“Tuh, 'kan, Riyan lagi suka sama seseorang,” batin Risa.

“Kamu lagi suka sama seseorang? Ciee, perjuangin, ya!” ucap Risa yang berusaha menghibur dirinya.

“Pasti!” jawab Riyan.

“Emang … orang yang kamu suka itu siapa? Hehe kepo dikit boleh, ya,” tanya Risa dengan menyengir kuda.

“Dia itu … seumuran sama aku. Dia kalo senyum atau ketawa manis banget. Dia sholeha, akhlaknya bagus juga, dan dia itu pemalu, tapi dia sering menutupi rasa malunya dengan sikapnya yang judes. Pokoknya dia orangnya random banget,” jelas Riyan dan tanpa sadar ia tersenyum sendiri.

“Aduhh, sainganku prefect banget kayanya,” batin Risa.

“Apa kamu nggak merasa, Ris? Padahal yang aku maksud itu kamu,” ucap Riyan dalam hati.

“Kalo kamu siapa, Ris?” tanya Riyan. 

“Dia alumni ponpes Al-Hidayah,” jawab Risa dengan singkat.

“Wiihh ponpes nya Kiyai Faqih dong,” ucap Riyan di iringi tawanya.

“Iya! Kenapa?” ketus Risa.

“Ciri-cirinya gimana?”

“Kepo!”

“Eumm … oh iya, Ris. Orang yang aku cintai sekarang ini sebenernya…,” ucap Riyan yang menggantung kata-katanya.

“Siapa?” tanya Risa.

“Anak keduanya adeknya Nyai Fatimah,” jawab Riyan yang langsung berlari meninggalkan Risa.

“Woyy!!” teriak Risa namun Riyan tak menghiraukannya.

“Gimana, sih? Anak keduanya adeknya Nyai Fatimah? Iihh rumit! Udah kaya rumus matematika aja!” gerutu Risa.

                                    ********












Gus HalalkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang