55...

60 5 0
                                    


Dan setelah berlalu umurnya yang dewasa, makan siang kali ini ia bersama orang lain.
Ya, kadang kala saja, tidak selalu sendiri atau bersama Caya yang berisik. Bahkan wanita itu tidak selalu makan bersamanya.

Dan setelah berlalu tahun-tahun itu, bayangkan yang samar kini nyata. Seorang pria yang menemani dirinya. Ia menikmati apa yang di hidangkan dengan senang, tapi raut wajahnya terlihat seperti melamun.
Tak ayal, semenjak penjahat itu datang. Hidupnya dipenuhi lamunan.

"Kamu gak suka makanannya?"
Evans menyadari tatapan Arin yang terlihat sayu dan hampir tak fokus mulai menanyai keadaannya.
Itu menganggu dirinya juga secara tak langsung. Padahal rasa masakannya cukup baik.

"Aku suka,Kenapa?"

Evans meletakkan sendok di tangannya, ia sepertinya sudah selesai. Sedangkan Arin, makanannya masih tersisa separuh.

"I think, maybe Celine sangat menganggu mu"

Arin spontan menggeleng dengan wajah tidak setuju, tadinya memang iya. Tetapi setelah berkelahi tadi dan menunjukan bahwa dia adalah pemenang Arin tak perlu susah merasa gusar.
Lagipula pada kenyataannya Evans miliknya, seluruhnya.

Apalagi yang membuat ia dilema?

"So?"

"Nothing bothers me"
Tidak ada, selain keberadaan Evans yang terkadang mesum. Ia bisa mengatasinya.

"Aku berharap akan selalu begitu. Ngomong-ngomong aku harus pergi untuk mengantarkan sesuatu. Aku akan pulang malam. Jadi, apa kamu gak masalah sendirian malam ini?"

'Apa-apaan ini, padahal seharusnya kita bersama untuk mengobrol atau yang lainnya. Kenapa dia jadi sibuk, padahal kita baru menikah menyedihkan sekali.'
Arin bicara dengan keras di dalam hatinya. Ada banyak ketidak setujuan di disana.

"Okey"
Arin terlihat menyetujuinya tanpa rasa gelisah. Meskipun ia sempat meruntuk di dalam hati.
Ia harus terlihat tegar dan tidak pernah mempermasalahkan apapun. Walaupun hatinya meronta tak terima.

Dan pria yang memiliki kapasitas kepekaan yang minim dan sifat logis menganggap itu hal yang benar, ucapan Arin yang di maksud. Pria itu berpikir Arin memang baik-baik saja saat ia pergi.

Namun, kurang lebih pria ini lebih baik dalam hal perhatian. Menunggu Arin selesai makan sebelum berpisah meninggalkannya di hari itu.

Mereka saat ini sudah berdiri di depan rumah makan dan hendak berpisah dari sini. Satria dan Virgo ada di mobil yang parkir di depan sedan nya. Pria itu tersenyum dan memberikan hormat, menunggu Evans dan mereka akan berangkat setelahnya.

"Baiklah, em ngomong-ngomong aku membelikan sesuatu untuk mu"

Evans merogoh sakunya, Arin menunggu penasaran apa yang Evans beli untuknya.
Tapi pria itu tak lama terlihat mengerutkan dahi sambil berhenti bergerak.

"Oh my..."
Evans menatap Arin yang ikut keheranan.
"Aku meninggalkannya"

Arin tertawa kecil, ia bingung harus berkata apa.

"Sorry mungkin kamu bisa mencarinya di ruang kerja. Em.."
Padahal Evans berharap Arin akan senang pada hadiah yang ia akan berikan.

"I'ts okey, aku akan mencarinya nanti"

Evans diam, entah apa lagi yang ia hendak katakan. Pria itu kehilangan kalimatnya.
Ia hanya menatap Arin dengan mulut yang tertahan. Dia seperti kikuk.

"OK, bye" katanya berusaha tak terlihat canggung.

"Bye, hati-hati"

Meskipun Arin sudah membalas ucapan Evans, pria itu masih diam, ia tidak tahu harus apa tapi ia pikir ini akan jadi langkah yang tepat.
Ragu, ia meletakkan tangannya pada punggung kepala Arin dan mendekat. Dia nekat, memiringkan kepala. Arin di buat terkejut saat pria itu mengecup pipinya.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang