Ocha

28 2 0
                                    

"Perkenalkan nama saya Ocha"

Hari ini adalah hari pertama Ocha masuk di sekolah barunya. Karena mengikuti kerja orangtuanya yang berpindah-pindah, membuat Ocha sering sekali pindah sekolah. Dan hari ini, untuk yang kesekian kalinya Ocha memperkenalkan dirinya di sekolahnya yang baru

"Lo kenapa pindah kesini?" tanya Sesil, salah satu teman baru cewek itu.

"Ikut orangtua"

"Bisnis ya?" timpal Sena

Ocha mengangguk, "Iya"

Brak!!

Pandangan mereka bertiga beralih pada segerombol cewek yang tiba-tiba menggebrak salah satu meja kantin, cewek-cewek tampak membully gadis dengan kaca mata tebal di meja seberang. Ocha mengalihkan pandangan tidak peduli, sudah biasa pikirnya. Setiap ia pindah sekolah pasti ada saja pembullyan yang terjadi, entah apa manfaatnya.

"Kebiasaan si mak lampir, tiap hari ada aja ulahnya," ucap Sesil membuat pandangan Ocha beralih padanya, "Gue kasih tau ya Cha, lo jangan pernah berurusan deh sama mak lampir itu, ribet!"

Ocha mengangguk saja, ia juga tidak berminat mencari urusan dengan cewek yang dimaksud Sesil itu.

"Tingkahnya ada aja tau Cha, dari yang cuma bacot sampai berantem juga pernah tu anak, masalahnya juga cuma gara-gara cowok lagi, padahal juga bukan pacar" tambah Sesil, bisa Ocha simpulkan bahwa Sesil adalah tipe ekstrovert yang suka bercerita.

"Kata gue dia emang obses" Sil sahut Sena

Sesil mengangguk, "Iya sih emang cowoknya ganteng banget banget bangeett, tapi kalau gitu kan jatuhnya psycopat" ucap Sesil sambil menunjukkan ekspresi ngeri.

~

Ocha masuk ke rumahnya yang sepi, ia tinggal bersama orangtua dan abangnya tapi mereka sibuk masing-masing. Deovan Damian atau Ocha sering memanggilnya Devan, abangnya itu sedang kuliah dan belum pulang. Sedangkan orangtuanya sibuk bekerja. Di rumah besar ini hanya ada dirinya, asisten rumah tangga, dan satpam. Sangat membosankan.

"Abang pulang jam berapa, bi?" Ocha mendudukkan dirinya di kursi makan untuk sekedar minum.

"Tadi bilang sama bibi jam tiga, Non" Ocha mengangguk lalu beranjak pergi ke kamarnya.

"Non Ocha nggak makan dulu?!" teriak Bi Tini, asisten rumah tangga.

"Nunggu abang" sahut Ocha dari lantai atas.

Ocha membaringkan tubuhnya di kasur setelah selesai mandi dan mengganti baju. Cewek itu merasa sangat bosan, pindah rumah ternyata tak membuat suasana rumah ikut berubah, tetap sepi. Ocha beranjak menyalakan televisi, membiarkan layar besar itu menyala sedangkan dirinya melamun. Berharap bisa sedikit menghilangkan rasa sepinya.

Lamunan Ocha buyar mendengar pintu kamarnya di ketuk. Ocha beranjak dari kasurnya lantas membuka pintu.

"Kenapa belum makan?" tanya Deovan, cowok itu masih membawa tasnya, baru saja pulang kuliah.

"Nungguin lo" jawab Ocha sekenanya.

Deovan tersenyum lantas menggiring Ocha menuju meja makan, "Lain kali nggak usah nungguin, kalau gue pulang malem emang lo mau kelaperan?"

Ocha hanya menjawab dengan deheman lantas mulai mengambil makanannya dan juga Deovan.

"Gimana sekolah barunya?" tanya Deovan.

"Aman"

"Fasilitasnya? Deovan tahu" adiknya itu sangat pilih-pilih soal sekolah, Ocha sangat mementingkan pendidikannya.

"Lumayan, nggak selengkap di Jakarta, tapi cukup"

deovan mangangguk, "Itu sekolah punya Papa"

Ocha sudah mendunganya, arsitektur bangunannya sangat mirip dengan sekolahnya di Jakarta yang juga milik Orangtuanya.

"Gue nggak mau ikut campur" Ocha tau arah pembicaraan Deovan akan kemana.

"Ini perintah Papa" Sudah bisa di tebak, Papanya itu pasti akan menyuruhnya ikut mengurus sekolah.

"Bilang sama Papa, gue nggak mau" ucap Ocha lalu beranjak dari meja makan untuk kembali ke kamarnya.

Deovan menghembuskan nafas berat, ia tau Ocha pasti akan menolak permintaan Papanya. Aldevan juga sebenarnnya ingin agar Ocha hanya fokus pada pendidikannya tanpa memikirkan hal lain, ia tidak tega dengan adiknya itu. Cukup waktunya saja yang menjadi korban karena harus membantu mengurus bisnis Papanya, ia tidak ingin Ocha kehilangan waktu masa muda seperti dirinya. Namun disisi lain Deovan juga tidak bisa membantah perintah Papanya. Bagaimana pun ia harus menurut pada orangtuanya.

~

Mata Ocha menatap tajam cowok dengan seragam berantakan itu. Ocha baru saja membuka pintu tiba-tiba penghapus papan tulis sudah mengenai keningnya dan membuat keningnya membiru.

"Woy anak baru, lempar penghapusnya sini!" ucap cowok itu tanpa rasa bersalah.

Ocha hanya diam, melemparkan pengahapus rusak itu ke keranjang sampah lantas duduk di kursinya.

"Lah kok dibuang? Nggak seru lo!" ucapnya lalu mengambil peghapus baru dan kembali bermain lempar-lemparan dengan teman-temannya.

"Bocah" gumam Ocha lirih yang di dengan oleh Sena.

"Sabar-sabar ya Cha, Geral emang kayak gitu, berandal," ucap Sena lalu menyingkirkan rambut Ocha untuk melihat keningnya, "Kening lo biru, gue ambilin salep di UKS ya?"

Ocha menggeleng, "Nggak papa, makasih"

Ocha terus mengamati cowok bernama Geral itu, penasaran bagaimana bisa di kelas unggulan ini ada murid berandal seperti Geral.

"Tajem bener lihatnya, Cha" ucap Sesil yang baru datang membuat Ocha menoleh padanya.

"Ocha abis ditimpuk penghapus sama Geral" ucap Sena.

"Gimana bisa?! Berani ya tu anak sama temen gue. Harus gue kasih pelajaran!" ucap Sesil menggebu gebu.

"Emang lo berani?" tanya Sena.

Sesil menggulung lengan bajunya siap berantem, "Beranilah!"

Sena tertawa tidak yakin, "Beneran? Awas aja kalau tu rambut berantakan ngeluhnya ke gue"

Sesil tersenyum masam, "Ya lo pakai nanya. Ya nggak beranilah!"

"Kenapa nggak berani?" tanya Ocha tiba-tiba.

Sesil mendekatkan dirinya lalu berbisik, "Dia serem tau, Cha, lebih serem dari Mentari, cewek yang ngebully di kantin kemarin, Sesil menjeda kalimatnya, Dia nggak pandang bulu, cewek pun dia hajar"

Sena mengangguk menyetujui, "Lo juga jangan cari masalah sama dia" pesannya.

_______

OchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang