Keras kepala

2 1 0
                                    

Ocha mendengus sebal, moodnya sangat buruk. Ia menatap pantulan dirinya di kaca, melihat dirinya yang sedang di rias oleh Sesil dan Sena. Sebenarnya bukan masalah make up, tapi dress yang harus ia kenakan yang membuat cewek itu tidak mood. Ocha merasa sangat tidak nyaman harus memakai dress, ia lebih suka memakai celana dan kaus, sweater, atau jaket, tapi kedua orangtuanya memaksa. Apalagi sepatu hak tinggi itu, merepotkan. Ingatkan Ocha untuk membawa sepatu nanti.

Cewek itu sebenarnya tidak berminat mengikuti acara ulang tahun sekolah dan akan memilih untuk tidak mengikutinya jika saja orangtuanya tidak memaksa dirinya untuk ikut. Orangtuanya tentu juga akan menghadiri acara itu karena sekolah itu milik keluarganya.

Deovan juga meminta Sena dan Sesil untuk datang ke rumah untuk merias Ocha. Deovan sangat tau adiknya itu tidak akan bergerak jika tidak di paksa seperti ini.

"Lo cantik banget, Cha, sumpaaaah. Aaa sempurna!!!" ucap Sesil heboh, kemudian memotret Ocha berkali kali.

Sena sedikit merapikan tatanan rambut Ocha yang di gelung ke atas, "Anggun banget. Elegan"

Ocha berdiri, menyemprotkan pewangi di tubuhnya.

Sena mengamati dengan teliti temannya itu dari bawah sampai atas. Dress berwarna navy selutut tanpa lengan tapi menutup dada, heels dengan warna senada, rambut yang di gelung ke atas menampilkan leher jenjang cewek itu yang tanpa celah. Sangat sempurna.

Sena mengernyit, ada yang kurang, "Senyum, Cha" pinta Sena.

"Na" ucap Ocha datar, ia tidak mau di paksa lagi.

"Iya iya, gue nggak maksa" ucap Sena yang paham dengan panggilan Ocha.

~

Suara tepukan menggema di auditorium SMA Angkasa, ketika sang pemilik sekolah baru saja memotong tumpengnya. Harlan mengambil alih microphone dari MC untuk memberikan sepatah dua patah kata.

"Selamat malam semuanya" sapanya dengan raut wajah datar dan tegas yang khas miliknya.

"Saya ucapkan terima kasih atas kedatangan rekan-rekan dan anak-anak semua di acara ulang tahun sekolah kita, SMA Angkasa. Di usia ke lima belas tahun ini saya berharap SMA Angkasa bisa selalu menciptakan murid-murid yang berkualitas dengan pendidikan dan sistem yang berkualitas pula. Saya juga berharap semoga SMA Angkasa bisa tetap menjadi sekolah terbaik di kota ini bahkan di Indonesia"

Ocha memandang laki-laki di depannya dengan tidak minat. Ia seperti tidak mengenal lagi orang di depannya itu. Logat yang sedikit berubah, membuatnya sedikit asing mendengar suara sang Papa. Entahlah apakah Ocha masih bisa berbicara dengan laki-laki paruh baya itu atau tidak setelah ini, bahkan sebelum ini pun mereka hanya berbicara sebentar, itupun hanya perintah yang menjurus paksaan untuk mengikuti acara ini.

"Pak Harlan itu berarti Papanya Kak Mentari ya?" tanya Sesil

"Mungkin" jawab Sena.

"Kok nggak mirip?"

Sena mengendikkan bahu, "Nggak tau deh, mirip Mamanya kali dia"

"Istrinya Pak Harlan yang itu kan, dress navy. Nggak mirip juga sih kata gue" ucap Sesil lagi

"Dikarenakan kepindahan keluarga saya ke kota ini serta anak bungsu saya yang juga bersekolah disini, saya memutuskan mengalihkan segala tanggung jawab yang menyangkut saya kepada anak saya, dengan harapan mempermudah pengambilan keputusan yang menyangkut saya, mengingat di tahun-tahun sebelumnya saya tidak bisa menjalankan sekolah ini dengan maksimal. Jadi saya berharap dengan perubahan ini SMA Angkasa bisa lebih baik lagi. Untuk lebih jelasnya lagi akan saya bicarakan dengan kepala sekolah. Sekian dari saya, maaf menganggu waktu kalian semua. Terimakasih dan have fun"

Ocha menatap emosi laki-laki paruh baya itu, bagaimana bisa Papanya mengambil keputusan ini tanpa persetujuan dari dirinya dulu.

"Cha, ayo ke lapangan, nonton live music" ajak Sena.

Ocha menghiraukan cewek itu, segera berlalu cepat menuju parkiran untuk menemui orangtuanya.

"Pa Ma" panggilnya.

Harlan mengurungkan niatnya untuk memasuki mobil begitupun Raina, ibunya.

"Dek, ada apa? Papa sama Mama mau ke bandara langsung, kita belum bisa mampir rumah lagi" ucap Raina menghampiri anak bungsunya.

Ocha menatap Harlan tajam, "Maksud Papa apa bikin keputusan tanpa persetujuan Dicha?"

"Papa sudah bilang sama Devan, Devan juga sudah bilang sama kamu" ucap Harlan datar dan tegas.

"Dicha udah bilang nggak mau. Dicha nggak setuju"

Raina bergerak mendekati anak bungsunya itu, "Nurut Dicha, bantuin Papa"

"Kamu harus mau" ucap Harlan tak menerima bantahan.

"Nggak, Dicha nggak mau," Ocha maju satu langkah mendekati Papanya, "Dicha bukan robot yang bisa Papa suruh ini itu seenaknya"

Harlan menatap anak bungsunya itu tajam, membuat sang Mama langsung menarik Ocha mundur, "Ngertiin Papa, Dicha" ucapnya tegas.

Ocha berbalik menatap Raina, "Dicha yang harus selalu ngertiin, terus Papa sama Mama kapan bisa ngertiin Dicha? Kapan kalian bisa ngertiin Dicha sama Devan? Nggak cukup bikin Devan hampir putus kuliah karena ngurusin bisnis kalian?" Ocha beralih menatap sang Papa, "Dicha bukan Devan yang bisa langsung nurut sama perintah Papa" ucap Ocha kemudian berlari menuju mobilnya dan pergi dari sana.

"Dicha mau kemana? Dicha dengerin Mama! Dicha jangan pergi kamu!!" teriak Raina hendak mengejar cewek itu, sebelum dihentikan oleh Harlan.

"Penerbangan kita sebentar lagi, biarin anak manja itu pergi. Papa pastiin dia nurut perintah Papa"

Pada dasarnya begitulah jika mereka berdua berinteraksi. Karakter Harlan yang tegas dan keras kepala menurun pada Ocha, membuat mereka sama-sama tidak mau mengalah. Berbeda dengan sang anak sulung yang penurut, menurun dari sifat sang Mama.

_______

OchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang