Dikha

1 1 0
                                    

Ocha duduk di sofa sebelah jendela besar di ruang inapnya. Mata cewek itu memandang keluar jendela, namun pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini yang berhubungan dengan cowok bernama Okha terus berputar di kepalanya. Dari mulai perkenalan awal mereka sampai kejadian kemarin ketika Sesil berkata mereka berdua mirip.

Kejadian-kejadian itu membawanya pada masa lalu, pada seseorang yang sudah sangat lama menghilang dari hidupnya. Seseorang yang dulu selalu menemaninya, yang tidak membiarkan Ocha merasa kesepian sebentar saja.

Pintu ruangan itu terbuka, seorang cowok tinggi dengan rambut coklat itu berjalan masuk. Wajah yang semula khawatir itu berubah sedikit tersenyum, melihat cewek di dalam ruangan itu sudah mulai sehat. Cowok itu mendekati Ocha, senyum yang semula terbit itu mendadak hilang ketika melihat raut wajah Ocha.

"Cha" panggilnya.

Ocha tersentak, cewek itu menoleh pada cowok di sebelahnya, raut wajahnya kembali datar seperti tidak memikirkan apa-apa.

"Mikirin apa?" tanya Marys.

Ocha menggeleng, "Nggak"

Marys berjalan lebih mendekat pada Ocha, berjongkok di depan cewek itu, menatap mata coklat yang tidak mau menatapnya balik.

"Gimana keadaan lo?"

"Gue baik-baik aja"

Marys meraih tangan itu dan menggenggamnya, "Dokter Sam udah kesini?"

Ocha mengangguk, "Udah tadi pagi"

"Maaf gue nggak bisa nemenin tadi"

Ocha menoleh, "Nggak apa-apa"

Marys mengehembuskan nafasnya berat, "Lusa gue ke Jakarta siapin semuanya"

"Makasih, ya"

Marys tersenyum, "Jadi lagi mikirin apa?"

Ocha kembali mengalihkan pandangan ke arah lain, "Enggak"

Marys menunduk kembali menghembuskan nafasnya, "Itu dia" ucapnya lirih tapi masih bisa di dengar oleh Ocha.

Cewek itu seketika menatap Marys, "Maksud lo?"

Marys kembali menatap mata cewek itu, "Iya, dia Dikha"

Ocha terdiam, raut wajah cewek itu sangat tidak terbaca. Bukan datar seperti biasanya, ada sedikit tatapa kerinduan di mata cewek itu.

"Cha" panggil Marys.

"Gue mau ketemu dia" ucapnya datar masih dengan ekspresi yang sama.

"Cha, gue nggak bisa. Lo tau"

"Gue mau ketemu dia, Mars"

"Dicha"

"Sekarang!!" Ocha menoleh menatap Marys tajam.

Deovan yang baru saja membuka pintu tersentak kaget mendengar Ocha berteriak, "Ada apa, Dicha?" cowok itu berjalan menghampiri Ocha dan Marys.

"Ada apa?" tanya Deovan lagi.

~

Marys kembali memasuki ruang rawat Ocha, namun kali ini ia tidak sendiri. Marys membawa seorang cowok bersamanya.

Deovan yang melihat itu langsung berdiri, matanya tidak lepas dari cowok yang berdiri di samping Marys.

Sebelum Marys pergi tadi Deovan memaksanya untuk menjelaskan apa yang terjadi sampai - sampai Ocha berteriak. Reaksi Deovan tentu saja sama seperti Ocha, berteriak marah. Bahkan cowok itu hampir melayangkan bogeman untuk Marys. Deovan tidak habis pikir, kenapa Marys tidak memberitahuinya tentang hal ini.

"Ada apa ini, Mars?" tanya cowok di samping Marys tadi.

Marys hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Okha. Cowok itu malah mendekat pada Deovan.

"Dia tidur, ya?" tanya Marys.

Deovan tidak menjawab, dia bergerak mendekati Okha, membuat cowok itu bingung. Sedetik kemudian cowok yang lebih tua memeluk cowok yang lebih muda.

Tentu saja Okha terkejut, cowok itu melihat pada Marys, menatap bertanya.

"Akhirnya gue bisa peluk lo lagi," gumam Deovan, "Dikha"

Marys menatap Okha yang juga menatapnya, "Devan, abang lo"

Okha menegang, cowok itu terdiam, tatapannya kosong lurus ke depan pada cewek yang sedang terbaring tidur di ranjang rumah sakit.

Air matanya menetes begitu saja, tangan cowok itu bergerak memeluk Deovan yang sejak tadi memeluknya.

"Bang Devan" gumamnya lirih.

Deovan melepas pelukannya, menatap tepat di mata coklat Okha sendu, "Iya..iya.. gue abang lo, gue abang lo"

Okha beralih menatap cewek yang tertidur itu, "Itu.." ucapannya menggantung.

Deovan mengangguk, "Iya, itu Dicha, adik lo, kembaran lo" Deovan menepuk pundak Okha pelan, "Dia udah nungguin" setelah mengatakan itu Deovan keluar yang disusul oleh Marys.

Okha melangkahkan kakinya perlahan, pikirannya kosong. Cowok itu kemudian duduk di kursi sebelah tempat tidur Ocha. Tangannya terulur menyingkirkan rambut yang menutupi pahatan wajah yang sangat mirip dengan wajahnya. Mengapa Okha baru sadar sekarang jika wajah mereka sangat mirip?

"Dicha"

Ocha yang tidur dalam keadaan pikiran yang penuh segera terbangun ketika ada yang menyentuh dan memanggilnya, mata cewek itu mengerjap terbuka. Melihat sang pemilik tangan dan langsung memeluknya erat.

"Lo kemana aja?"

"Kenapa lo pergi?"

"Kenapa lo tinggalin gue?"

Ocha bertanya sambil menangis, cewek itu sudah tidak tahan lagi, sangat rindu dengan orang di pelukannya ini.

"Maaf"

Sama halnya dengan Okha, cowok itu juga menangis dengan tangan yang juga memeluk erat. Sungguh ia juga amat sangat merindukan kembarannya ini.

"Jangan pergi lagi"

"Jangan tingalin gue lagi"

"Lo nggak boleh tinggalin gue lagi, Dikha"

Ocha dan Okha saling berpelukan erat, seakan tak ingin lepas lagi satu sama lain. Menyalurkan rasa rindu yang teramat dalam satu sama lain.

~

"Apa yang bakal lo lakuin setelah ini, Bang?" tanya Marys.

"Gue bakal bilang sama mereka"

"Menurut lo tanggapan Om Harlan bakal gimana?"

"Gue nggak tau, apapun tanggapan mereka nanti, gue bakal tetep ambil Dikha balik," ucap Deovan tegas, "Dia adik gue, dia juga anaknya. Dia bukan orang lain yang pantas untuk diperlakukan kayak gini"

Marys mengangguk, "Om Harlan sama tante Raina mungkin bakal setuju, tapi gimana Om Haris sama Tante Shania? Mereka sayang banget sama Dikha, Om Haris nggak mungkin mau lepasin Dikha"

"Kenapa nggak mau? Dia harus mau. Janjinya cuma bawa dua bulan, tapi hampir dua belas tahun dia bawa Dikha. Selalu nggak ada kabar, bahkan dia bawa Dikha pindah rumah. Orangtua gue juga pengecut, anaknya dibawa pergi orang lain tapi nggak ada usaha buat nyari sama sekali. Cuma kerja yang mereka pikirin. Kali ini gue nggak akan biarin hal itu lagi. Dikha harus kembali sama kita"

_______

OchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang