Jakarta

1 1 0
                                    

Tidak seperti rencana Geral sebelumnya, hari ini cowok itu tidak jadi latihan basket, karena pelatihnya yang tidak bisa datang. Sebenarnya Geral ingin usul untuk latihan sendiri, karena memang biasanya mereka pun latihan sendiri, tapi mengingat dirinya yang harus menjalani hukuman membuat Geral mengurungkan niatnya.

Ocha tentu saja sudah tau akan hal itu, makanya cewek itu memutuskan hukuman Geral setelah pulang sekolah.

Ocha duduk pada bangku yang berada di depan toilet yang sedang di bersihkan oleh Geral. Cewek itu tentu saja waspada jika cowok berandal itu akan kabur dari hukumannya.

"Balik sana lo, gue nggak akan kabur" Geral keluar dari toilet dengan membawa alat-alat kebersihan.

Ocha menoleh, mata cewek itu terfokus pada plester luka di kening Geral yang akan copot, sepertinya Geral tak sengaja mengusapnya dengan tangan yang basah.

Ocha bangkit berdiri, mengambil plester luka baru dan tisu dari tasnya kemudian mendekat pada cowok itu.

Cewek itu sedikit berjinjit dan mendongak untuk bisa melihat luka di kening cowok itu dengan jelas.

"Mau ngapa-"

Geral menghentikan ucapannya ketika Ocha melepas plester luka dari keningnya. Cowok itu sedikit meringis ketika lukanya di usap dengan tissu untuk di bersihkan.

"Maaf" ucap Ocha lirih bahkan Geral hampir tak mendengarnya.

Ocha meniup-niup pelan luka itu kemudian menempelkan plester yang baru dengan sangat hati-hati.

Ocha menurunkan tangannya, kaki cewek itu juga tidak lagi berjinjit, pandangan Ocha turun, dari kening kemudian menatap mata Geral yang sedang menatapnya. Membuat pandangan mereka saling terkunci satu sama lain membuat keadaan hening sejenak.

Geral tak berniat memutus pandangannya. Entah mengapa tatapan datar cewek di hadapannya ini membuat Geral penasaran. Seperti tidak ada emosi yang ditunjukkan dari sorot tajam itu.

Tangan Geral terulur menepuk pelan kepala Ocha, "Makasih. Pulang, gih, udah sore"

~

"Besok gue jemput ke Jakarta. Semuanya udah beres"

Ocha mengambil nafas berat, "Devan gimana?"

"Udah gue urus, tenang aja. Sebelum telpon lo gue telpon dia dulu"

Ocha berdehem, "Mars"

"Hm" Marys berdehem menanggapi pangilan Ocha.

"Makasih, ya" ucapnya tulus.

Marys terkekeh pelan, "Udah lebih dari tiga kali lo bilang makasih dalam waktu kurang dari seminggu ini, Cha"

"Sorry, gue repotin lo terus"

"Sorry sorry apa, nggak usah gitu gue nggak suka"

Ocha tersenyum, "Iya"

"Bawa baju lebih, kita empat hari di sini, karena lo kemarin-"

"Iya iya," cewek itu tidak ingin mendengar omelan Marys lebih lanjut. Ocha menghembuskan nafasnya, "Gue juga mau libur lebih lama"

"Iya, tidur sana. Bocil jangan tidur malem-malem"

"Cerewet"

Ocha langsung mematikan ponselnya menghindari omelan Marys. Cewek itu mengambil dua baju lagi untuk ia masukkan ke dalam kopernya.

Ocha melirik ponselnya yang kembali berbunyi, meraih bendak pipih itu yang berada di atas kasurnya.

"Halo"

"Halo. Hey, gue besok rencana mau ajak anak-anak latihan di sekolah, lo bisa kasih izin? Pumpung weekend pada free"

Ocha menutup kopernya yang sudah beres, "Iya, nanti gue bilang Pak Salim"

Geral mengernyit, "Nggak lo aja? Sekalian lihat latihan"

"Gue nggak bisa"

"Kenapa?"

Ocha membaringkan tubuhnya di kasur, tangan kiri cewek itu meraih tissu yang ada di dekat bantal lantas mengusapkan ke hidungnya.

"Hey?" ucap Geral ketika lama tidak ada sahutan.

"Ada urusan"

Geral mengernyit aneh dengan suara Ocha yang tiba-tiba berubah, "Lo mimisan lagi?"

"Enggak" tangan cewek itu kembali mengambil tissu.

"Nafas lo beda"

Ocha bangun, berjalan menuju kamar mandi, "Sok tau"

Geral berdecak, "Serah lo, deh. Makasih"

Ocha meletakkan ponsel yang sudah mati di sebelah wastafel, kemudian membasuh hidungnya.

"Dibuat beres-beres aja manja banget lo hidung" ucapnya datar menatap pantulan dirinya di cermin.

~

"Kita nggak ke rumah lo nggak papa? Gue udah beli apartemen yang lebih deket"

Ocha menoleh, "Enggak apa-apa"

Marys menoleh, bibir cowok itu tersenyum, "Tidur aja dulu, enggak apa-apa"

Ocha menggeleng, cewek itu menyandarkan tubuhnya, pandangannya menatap jalanan di depan yang terlihat padat.

"Lo udah ketemu Ranya?" tanya Ocha.

Marys menggeleng, "Belum sempet"

"Sempetin, Mars, kasihan dia"

"Iya nanti. Sekarang lo yang lebih penting"

Ocha mendengus, "Jahat"

Marys terkekeh, "Dia udah tau kok gue disini. Ranya masih agak sibuk, belum bisa ketemu juga. Ranya juga kangen sama lo katanya, sekalian aja nanti ketemunya sama lo"

"Gue nggak mau jadi nyamuk"

Marys semakin tertawa, "Gue telpon Alaska apa gimana? Gue baru ketemu dia kemarin"

"Makin jadi nyamuk"

Marys mengacak rambut Ocha gemas sambil tertawa, "Jadi mau kemana dulu nih?"

"Beli bubur dulu"

"Oke"

Ocha meraih tissu yang ada di dashboard mobil, membuat Marys menoleh.

"Kita ke rumah sakit dulu" ucap Marys kemudian melajukan mobil sedikit lebih cepat.

Ocha menggeleng, "Gue mau makan bubur ayam dulu"

Marys menoleh, "Nurut ya?" ucapnya lembut.

Cewek itu kembali menggeleng, "Gue cuma capek kurang tidur makanya mimisan, ini nggak papa. Jangan lebay"

Marys mengambil kotak tissu yang ada di dashboard mobil, mendekatkan pada Ocha agar cewek itu lebih mudah mengambil, "Lo tidur dulu, nanti kalau udah sampai tempat buburnya gue bangunin"

Pada akhirnya memang selalu begitu, meskipun seringnya selalu bertengkar jika bertemu tapi Marys tidak pernah bisa menolak permintaan Ocha. Hidup sebagai anak terakhir membuat cowok itu sudah menganggap Ocha sebagai adik kandungnya sendiri.

_______

OchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang