57...

63 5 0
                                    


_________________

__________

Hari ini memungkinkan jika ia akan lebih sibuk. Namun, kabar baiknya ia bisa mengontrol pekerjaan dari kantor pribadi, tak lain dari rumah. Walaupun begitu, Olivia yang biasanya ada di setiap pagi ia membuka mata tidak bisa datang sewaktu-waktu.

Dia menghormati Arin yang kini memiliki suami dan kehidupannya menjadi lebih privat saat ini.

Riko dan anak buah Evans juga bersikap sama. Mereka memang terbaik karena saling pengertian.

Arin membuka kedua matanya karena masih merasa malas. Ia berharap bisa libur walaupun sehari.

Jam berapa ini? Arin yakin ia berniat menunggu seseorang pulang ke rumah. Namun, pria itu tak kunjung pulang sampai akhirnya ia tertidur.

Sudahkah ia? Menunggu pria itu, nampaknya iya.

Pertanyaannya terjawab langsung, pelukan erat dari belakang hanya membuat ia diam.
Dia sudah di sini entah sejak kapan. Yang pasti pria ini pulang larut.

"Aku pikir seharusnya kamu tidak boleh memeluk ku tanpa izin"
Jangan fokus pada pelukannya sekarang, karena pria itu tengah mengelus pahanya.

Naughty man.

Sebuah sindiran dan peringatan.

"Baiklah aku minta maaf"
Evans hanya berhenti mengelus pahanya tapi tidak melepaskan rengkuhannya.
"Aku baru tidur tiga jam yang lalu"
Dia mengadu, matanya terpejam tapi kesadarannya penuh.

"Kasihan sekali"
Balasan yang terdengar kejam.
Arin tidak sengaja melirik lengan Evans. Ada luka dan memar di sana sehingga ia harus bertanya.
"Terlibat perkelahian lagi?"

"Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak berkelahi"

Arin tau, dia hanya berusaha dan menenangkan diri agar tidak khawatir.
"Ngomong-ngomong hadiahnya bagus. Thanks you"

Evans tersenyum di balik aroma rambut milik Arin. Ia mengecup bagian belakang kepala istrinya.

Arin ikut tersenyum kemudian bergerak ia melepaskan pelukannya dan duduk.
Menatap wajah pria itu, ada lebam lain di pipi. Dan matanya perlahan terbuka, cahaya matahari membuat ini semakin indah. Mata hijaunya, seakan mengucapkan ucapan selamat datang.

"Ayo bangun, dan oles luka mu dengan obat"

Evans mendengus kemudian mengerutkan dahi, matanya pun menyipit tak senang.
"Okey"
Jawabannya terdengar jelas tak ikhlas.

Arin tersenyum, ada ejekan dalam senyumnya. Perintah di lakukan dengan baik.

Evans bergerak dan mengulurkan tangannya ke belakang tubuhnya di saat Arin turun dari kasur.
Pria itu mengeluarkan pistol dan wadahnya. Lalu meletakkannya di atas nakas.

Dia sepertinya langsung naik ke atas kasur setelah pulang. Di lihat dari persenjataan yang masih terpasang di tubuhnya.

Arin pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Paling penting adalah menggosok gigi dan cuci muka.

Setelah itu ia keluar dan membuat minuman panas.
"Kamu mau minum kopi"

"Sure, thanks"

Ia membuat kopi untuk Evans, dan dirinya cukup teh panas. Setelahnya ia mencari cream yang bisa meredakan lebam untuk Evans.
Entah apa yang dia lalui kemarin hingga lagi-lagi terluka.

Evans duduk di kursi yang ada di depannya. Kopi pria itu masih terlihat mengepul, siluet matahari yang membantunya menyadari hal itu.

Tehnya sudah ia minum satu tegukan kecil.
Dan ia sedang menatap krim di tangannya, sekedar mengecek waktu produksi.
Arin kemudian berdiri dan menghampiri Evans yang masih meminum kopi dengan hati-hati.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang