42 - Bunny Doll

1.2K 174 86
                                    

Ketika Jennie tersadar, ia menemukan sang ibu duduk di hadapannya; tubuh yang selalu menunjukkan gestur elegan itu dibalut cardigan berwarna jingga terang secerah senyum yang disunggingkan untuknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ketika Jennie tersadar, ia menemukan sang ibu duduk di hadapannya; tubuh yang selalu menunjukkan gestur elegan itu dibalut cardigan berwarna jingga terang secerah senyum yang disunggingkan untuknya. Yang Jennie ingat, ini adalah adegan ketika ibunya pamit padanya dulu, hanya saja Jennie yang duduk di ranjangnya sambil memeluk boneka kelinci-hasil rengekannya pada Jungkook ketika mereka mengunjungi pusat perbelanjaan-adalah Jennie yang beranjak dewasa, bukan dirinya yang masih seorang gadis kecil.

"Mommy akan pergi meninggalkan Nini sebentar, tak akan lama. Nini mau berjanji untuk menjadi anak manis dan menuruti Hana Ahjumma dan Taehyung Oppa? Selalu habiskan makanan yang sudah dimasak Hana Ahjumma, belajar yang rajin, jangan tidur terlalu larut, dan kurangi menyusahkan atau merajuk pada Taehyung Oppa. Sebagai gantinya, Mommy berjanji tak akan meninggalkan Nini lagi setelah ini, okay?"

Jennie ingat perkataan sang ibu dulu. Dan Jennie tentu saja menepati janjinya, menjadi gadis yang tak menyusahkan pengasuhnya, yang selalu menurut dan bersikap manis pada kakaknya. Tapi nyatanya, janji yang ditepati hanya sepihak, karena sang ibu pergi dalam kurun waktu yang cukup lama, dan hanya kembali berupa sebuah kabar duka yang memukul hati Jennie sampai berdarah-darah. Ibunya meninggalkannya, tak pernah kembali seperti yang telah dijanjikan untuknya, membiarkan Jennie hidup tanpa pegangan, tanpa landasan kokoh untuk ia jadikan pijakan.

Jennie seharusnya meluapkan amarah pada ibunya. Ia semestinya meraung dan berontak menagih janji yang sudah diucapkan wanita cantik di depannya yang masih saja tersenyum seakan tak memiliki kesalahan, seakan ia tak menjerumuskan Jennie dalam lubang penuh duka selama bertahun-tahun. Tapi tidak, Jennie justru terdiam, tubuhnya membeku, hanya pelukan pada boneka kelincinya yang semakin erat.

"Nini, cantiknya Mommy, sudah makan atau belum? Apakah Nini masih menjadi anak manis dan penurut?"

Sang ibu bahkan tak memohon maaf padanya, namun Jennie sama sekali tak merasakan sakit hati karena diabaikan. Malah ada setitik perasaan lega yang kian lama kian membesar mengisi dadanya. Pun, ada sebuah kerinduan yang hebat untuk bercakap dengan sosok yang menjadi salah satu karakter utama dalam hidupnya, seakan ingin menyampaikan rahasia yang bahkan tak diketahui oleh Jennie sendiri.

"Nini mau ikut Mommy. Ke mana saja Mommy pergi, Nini mau bersama," lirihnya setelah mendapat sedikit kekuatan. Namun tubuhnya masih tak bisa bergerak, masih terduduk di atas ranjang empuknya, masih memeluk boneka kelincinya.

Sang Ibu tersenyum, lantas mengulurkan tangan untuk meraih pipi Jennie, mengelus kulitnya dengan lembut. Kehangatan dan ketulusan sang ibu sungguh terasa, pun dengan rasa cinta yang seharusnya abstrak namun seakan dengan jelas bisa Jennie gambarkan bentuk dan banyaknya.

Jennie disayangi, Jennie dicintai, Jennie dikagumi.

"Mommy ingin sekali Nini ikut. Mommy mau sekali ditemani Nini, ke mana pun, sampai kapan pun. Tapi tempat Nini di sini, sayang. Nini belum boleh pergi, masih banyak yang harus Nini lakukan di sini. Nini masih harus menjadi anak manis dan penurut, tapi sekarang menjadi anak manis dan penurut untuk diri Nini sendiri dulu. Nini harus makan yang sehat, harus istirahat yang cukup, harus bahagia, untuk Nini sendiri. Okay?"

Clandestine RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang