𓆩✩25. Mahkota Jiwa✩𓆪

292 45 11
                                    

"Sebagai seorang suami, kau bahkan tak tahu penyakit apa yang diderita istrimu."

"Padahal kau selalu memata-matainya dua puluh empat jam."

Perkataan Juna membuat Marvin terdiam, memikirkan maksud perkataan pria itu. Marvin mengangkat wajahnya, dia kembali bertanya, "Apa penyakit yang diderita, Istriku?!"

Langkah Juna berhenti tepat di depan pintu rumah Marvin. Pria itu tersenyum tipis, dengan mata yang tertuju ke dalam ruangan. Tanpa berbalik ke belakang, Juna memberitahu, "Dia sakit hati. Kau selalu memperlakukannya kasar tanpa memedulikan perasaannya."

"Dia membutuhkan aktor tampan baik hati sepertiku, untuk menghibur hari-harinya yang kusut, " jawab asal Juna. Namun, berhasil membuat Marvin terdiam beberapa saat.

Perkataan Juna tak ada salahnya. Selama ini perlakuan Marvin memang tidak pantas disebut perlakuan suami baik-baik. Meskipun Marvin ingin membuat Wanda meminta cerai, jauh di dalam hatinya pria itu tidak ingin melukai sang Istri lebih jauh. Hanya saja, dia selalu terbawa emosi sampai pikirannya tak bisa berpikir dengan jernih.

Tanpa keraguan sedikit saja, Juna melangkahkan kaki memasuki rumah besar Marvin. Pria itu melirik ke kanan ke kiri. Kemudian melangkah menelusuri anak tangga. Dia membiarkan Marvin terdiam, melihat punggungnya yang menjauh dari pandangannya.

Di dalam pikiran Marvin terlintas bagaimana kedekatan Wanda dengan Juna. Tanpa menanyakan arah kamar sang Istri, Juna sudah tahu di mana arah kamar Wanda. Hal itu membuat Marvin curiga, tapi dia tidak berniat untuk menghentikan langkah Juna sedikit saja. Otaknya masih berpikir, dengan perlakuan kasar yang diterima Wanda.

Ketika Marvin sibuk memikirkan perlakuan kasarnya. Wanda sendiri tertidur dengan mimpi indah. Sudut bibirnya terangkat ke atas, dengan tangan yang menggenggam erat selimut miliknya. Marvin mungkin sering berbuat kasar padanya. Jadi, saat pria itu memperlakukannya lembut, Wanda tak bisa berhenti menurunkan sudut bibirnya.

Mimpi indah Wanda harus terhenti, ketika Juna mengetuk pintu kamarnya. Tanpa pemberitahuan lebih dulu, Wanda sudah menebak jika yang datang adalah Juna. Terlebih lagi, dia merasakan aura penghisap darah yang kuat dari sang pengetuk pintu. Wanda langsung bangun dari tidurnya. Dia terduduk di ranjang, dengan pandangan tertuju pada pintu. "Jika suamiku sudah memberimu izin, kau baru boleh masuk."

Juna berhenti mengetuk pintu. Dia menaikkan salah satu sudut bibirnya, kemudian berdeham. "Aku memerlukan izin pria itu untuk masuk? Yang benar saja. Kau tak tahu, bagaimana usahaku untuk menggantikan dokter yang akan memeriksamu."

Wanda tahu hal itu. Dia melirik ke arah jendela, melihat daun-daun kering tersapu angin setelah hujan. "Juna, ini rumah dan kamar milik suamiku. Aku juga miliknya. Untuk kali ini, aku tak ingin membuatnya marah lagi."

Juna menganggukkan kepala beberapa kali. Dia kemudian melirik ke bawah. Tepat di sana, Marvin berjalan menelusuri satu persatu anak tangga. Mau tak mau, Juna meminta izin, "Aku hanya ingin menemui sahabatku beberapa saat saja. Kau membiarkanku masuk, kan?"

Marvin tak menjawab. Pria itu masih berjalan menuju lantai atas. Setelah sampai, tangannya sendiri yang membuka pintu kamarnya. Dia masuk ke dalam kamar, kemudian memberitahu, "Masuklah."

Entah apa yang merasuki Marvin, tapi tanpa perintah dua kali, Juna masuk ke dalam kamarnya. Pria itu langsung duduk di samping Wanda. Dia berpura-pura memberikan Wanda sebungkus permen, padahal isi permen itu adalah obat.

"Aku hanya ingin memberikanmu ini. Setelahnya, aku akan pulang," bisik Juna kemudian berdiri dari ranjang.

Marvin tak tahu apa yang Juna bisiki pada Wanda. Dia mengernyitkan kening, ketika Juna berpamitan lalu keluar dari kamar begitu saja. "Apa yang sebenarnya dia berikan pada Wanda?" pikir Marvin.

Seolah tahu isi pikiran suaminya, Wanda tersenyum tipis. Dia menunjukkan sebuah permen di depan Marvin, setelahnya dia berkata, "Juna memberiku permen dan beberapa teh herbal. Ini sangat bagus untuk menenangkan perasaan sekaligus tubuhku."

Marvin terdiam, melihat sebuah senyuman terlukis di wajah sang Istri. Dulu, dia paling tidak suka melihat wajah Wanda yang berseri-seri bahagia. Namun, sekarang melihat wajah Wanda pucat karena sakit, lebih tidak dia sukai Marvin. Entah apa yang terjadi pada isi pikiran dan hati Marvin, tapi sebisa mungkin Marvin mencoba untuk tenang. Tanpa sepatah kata pun, pria itu langsung pergi meninggalkan Wanda sendiri.

Kepergian Marvin membuat Wanda meremas bungkus obat yang diberikan Juna. Wanda menarik dan mengeluarkan napas beberapa kali. Dia tidak suka menjadi vampir lemah yang bergantung pada obat seperti ini. Namun, mau bagaimana pun ini sudah menjadi takdirnya.

•••

Malam hari, ketika sinar rembulan hampir memenuhi bulatan takdir. Di atas ranjang, Wanda menghitung jari tangannya sendiri. Dia menjulurkan jari itu ke depan, kemudian bergumam, "Satu hari lagi bulan purnama, dan aku masih tidak tahu bagaimana cara pergi sementara dari rumah ini."

Pintu kamar Wanda terbuka, menampilkan Marvin dengan piama tidur miliknya. Sebelum Marvin masuk ke dalam kamar, Wanda sudah lebih dulu menarik selimut miliknya. Wanita itu berpura-pura menutup matanya, kemudian merasakan ranjang di sampingnya terisi.

Wanda mencium aroma tubuh sang suami. Pria itu tidur tepat di sebelahnya, padahal biasanya dia tidur di kamar lain. Karena rasa penasaran, Wanda membuka kelopak matanya. Dia melihat sang suami memunggungi tubuhnya. Meskipun begitu, Wanda masih bisa tersenyum senang. Setelah menunggu beberapa menit, wanita itu meletakkan tangannya di pinggang sang Suami. Dia memeluk erat Marvin dari belakang. Seolah-olah tak ingin kehilangan orang itu.

"Marvin, aku tak bisa menahan rasa sakit ini lebih lama lagi. Dulu aku pikir, aku adalah wanita kuat yang sudah menghadapi banyak masalah hidup. Namun tenyata, aku terlalu angkuh sampai tidak menyadari kelemahanku sendiri."

"Pada akhirnya, aku tetap menjadi makhluk hidup yang lemah," jelas Wanda.

Bola mata Wanda berair, sampai membasahi punggung sang Suami. Wanita itu menangis dalam diam, dengan pelukan yang semakin mengerat pada sang Suami. Wanda mencurahkan semua isi hatinya, meskipun dia tahu Marvin sudah terlelap dalam tidurnya.

Setetes air hujan turun ke bumi, menemani tangisan Wanda dalam diamnya. Angin dingin menelusuk masuk dalam celah-celah ruangan. Hangatnya penghangat ruangan, tak mampu menghangatkan hati Wanda yang mulai membeku. Bahkan, sampai kelopak matanya tertutup, tubuh Wanda masih menggigil merasakan dinginnya udara.

Semua tebakan Wanda salah mengenai suaminya. Malam ini, Marvin masih membuka kelopak matanya. Pria itu juga merasakan air mata Wanda yang membasahi kemejanya. Namun, Marvin tetap diam. Dia membiarkan Wanda mengeluh sekaligus menangis di belakangnya.

Setelah pelukan Wanda pada tubuhnya melonggar, Marvin bisa merasakan tubuh sang Istri menggigil kedinginan. Dia langsung berbalik ke belakang, menemukan sang Istri tertidur dengan wajah pucat. Jari jemari Marvin membelai wajah sang Istri. "Dingin," gumam Marvin.

Entah keberanian dari mana, Marvin melingkarkan tangannya pada pinggang sang Istri. Dia menarik Wanda untuk mendekat ke arahnya. Jarak di antara keduanya sudah menghilang. Digantikan oleh hembusan napas hangat Marvin, yang berembus di atas kepala Wanda. Pria itu menggunakan tubuh besarnya, untuk membungkus tubuh sang Istri. Marvin tidak menyadari, Wanda mengangkat sudut bibirnya dengan perlakuan hangat sang Suami.

Entah mimpi atau kenyataan. Namun, Wanda berharap dia masih bisa berada di dalam pelukan ini lebih lama lagi. Meskipun dia tahu, jika matahari sudah terbit, pelukan sang Suami sudah tak dia dapatkan lagi. "Satu hari lagi. Aku tidak yakin, bisa menahan hasratku, Dik Suami."

•••


MY MYSTERIOUS WIFE [Republish][✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang