Kakek Adhitama tersenyum, melihat perhatian Wanda pada cucunya. Pria tua itu berdeham, kemudian berkata, "Marvin, ada sesuatu yang ingin Kakek sampaikan padamu. "
Marvin melirik ke arah sang Kakek. Dia mengernyitkan kening, kemudian bertanya, "Kakek ingin menyampaikan apa?"
"Untuk beberapa hari ke depan, Kakek ingin pergi ke rumah Paman dan Bibimu," balas Kakek Adhitama.
Hanya dalam hitungan detik saja, sudut bibir Marvin turun ke bawah. Pria itu mengunyah makanannya tanpa selera, kemudian menaruh sendoknya di piring. Bola mata pria itu tertuju pada sang Kakek, dia kembali bertanya, "Untuk apa Kakek pergi menemui kedua orang itu?
"Bukannya mereka sudah tidak Kakek anggap sebagai anak lagi?" heran Marvin.
Kakek Adhitama tersenyum kecil, sembari mencicipi teh yang sudah Wanda buatkan. "Walaupun kakek berharap mereka bukan anak kakek, tapi tetap saja ... ikatan darah tak bisa terputus."
Marvin berdiri dari kursinya. Dia merapikan kemejanya, kemudian melihat ke arah jam dinding. "Kesehatan kakek akhir-akhir ini terganggu. Dibanding bepergian jauh, lebih baik kakek duduk diam di sini. Aku akan meminta pelayanku, untuk menjemput Paman dan Bibi ke rumah ini."
"Pamanmu sakit. Dia tidak bisa pergi ke sini. Kakek hanya ingin menjenguknya sebentar, lalu kembali ke sini," kata Kakek Adhitama.
"Kalau begitu, aku saja yang menjenguknya. Kakek tetap diam di rumah," usul Marvin.
Kakek Adhitama langsung menggelengkan kepala. "Pekerjaanmu sangat banyak. Terlebih lagi, kau baru saja menikah dengan Nak Wanda. Kalian seharusnya menghabiskan banyak waktu berdua. "
"Jadi, biarkan pria tua ini pergi, membiarkan kalian berdua di rumah ini," saran Kakek Adhitama sembari tertawa kecil.
Tawaan yang langsung membuat Marvin mendengkus kesal. Apalagi ketika melihat wanita yang berdiri di sampingnya. Wanita itu menundukkan wajahnya, tapi Marvin bisa tahu jika dia sedang tertawa kecil. Terdengar dari suara tawa kecil, yang berbisik di telinga Marvin.
"Pokoknya Kakek pergi hari ini. Kau tak bisa mengelak perintahan kakek bukan?" tanya Kakek Adhitama.
"Baiklah." Marvin mengeluarkan napas panjang. Dia pasrah, saat sang kakek keluar dari ruang makan. Bersiap-siap berkemas, membereskan barang-barang yang diperlukan.
"Kakek, jika Kakek memerlukan bantuan Wanda. Panggil saja!" peringat Wanda kemudian merapikan piring yang ada di meja.
Kesal. Sangat kesal. Ketika Wanda bersenandung senang, Marvin malah mendengkus tak suka. Pria itu menyilangkan tangan di depan dada. Dengan otak yang terus menerus berpikir. Setelah menemukan sumber masalahnya, Marvin langsung menarik tangan Wanda.
Hal yang dilakukan Marvin, membuat Wanda tersentak kaget. Wanita itu tak sengaja menjatuhkan beberapa piring yang sedang dia bereskan. Setelah itu, Marvin menangkup wajah Wanda sampai Wanda menatap ke arahnya.
"Jangan harap, setelah kakek pergi, aku akan memperlakukanmu sebagai seorang istri. "
"Aku pastikan, jika statusmu di sini tak akan lebih dari seorang benalu," peringat Marvin meremas lengan Wanda sekuat tenaga.
Biasanya Wanda akan melawan, atau tidak memedulikan ancaman Marvin. Namun, kali ini Wanda terdiam, dengan mulut yang merintih. Padahal Marvin hanya menggenggam erat salah satu lengannya, tapi dia merasakan sebuah rasa sakit di sana. Apalagi ketika Wanda mengingat jika umurnya berkurang setiap hari.
Sebisa mungkin, Wanda tersenyum kecil. Dia membalas, "Aku tidak pernah bermimpi, diperlakukan sebagai istri apalagi ratu olehmu, Dik Suami."
"Aku hanya ingin berada di sisimu saja," lanjut Wanda.
"Pembual," ungkap Marvin, kemudian melepaskan cengkeraman tangannya. Tanpa memedulikan kondisi Wanda, pria itu berbalik menuju kakek Adhitama. Dia tidak memikirkan bekas luka di tubuh Wanda yang semakin membanyak.
"Apakah ini yang dinamakan sakit?" tanya Wanda, sembari memerhatikan pergelangan tangannya yang tertutupi baju lengan panjang. Wanda menebak, jika baju itu dibuka, akan ada bekas berwarna merah. Tanda kuatnya cengkeraman dari tangan Marvin.
"Sebelumnya Marvin tak pernah menyakitiku. Dia hanya berani menggertak, sekaligus memalingkan wajahnya dariku. Namun, sekarang? Dia berani menyeret, bahkan menarik tanganku sekuat tenaga. Apa dia benar-benar merasa cemburu?" tanya Wanda heran.
Wanda memegangi bahu dan lehernya. Setelah itu, dia menutup kedua matanya erat-erat. Terlintas dalam bayangannya, bagaimana kemarahan Marvin, hampir tidak bisa membuatnya bernapas semalaman. Wanda mengeluarkan napas panjang. Apa Marvin pernah melihatnya sebagai seorang istri? Atau hanya sebagai wanita pengganggu saja?
Entahlah, Wanda tak tahu. Mau Marvin menganggapnya sebagai benalu sekali pun, Wanda masih bisa bertahan. Wanda berjanji, jika dia sudah berhasil memperbaiki kehidupan Marvin. Dia akan keluar dengan sendirinya, tanpa permintaan siapa pun.
"Mau cemburu atau tidak, yang penting tujuanku tercapai," gumam Wanda.
•••
Kepergian Kakek Adhitama membawa berita buruk untuk Marvin. Marvin tak habis pikir. Bagaimana bisa dia berada di rumah hanya bersama Wanda? Terlebih lagi para pelayan biasa pulang sebelum tengah malam. Ini tidak bisa diterima begitu saja. Ingatan-ingatan mengenai sikap nakal Wanda membuat Marvin kesal sendiri.
"Kau sudah berdiri di sini sejak setengah jam yang lalu. Ayo masuk, sebelum hujan tiba," kata Wanda yang sudah memperhatikan Marvin di luar, sejak Kakek Adhitama pergi.
Marvin tak mengatakan apa-apa. Dia melihat ke atas langit, menemukan gumpalan-gumpalan awan hitam yang mulai membentuk sebuah penanda hujan. Meskipun begitu, tak ada niatan Marvin untuk mengangkat kakinya dari tempat itu. Dia masih berdiri, dengan pandangan kosong ke arah jalanan.
Awan semakin menggelap, tapi Marvin tak menuruti ucapan Wanda. Wanita itu mengeluarkan napas panjang beberapa kali. Dia masuk ke dalam untuk mengambil mantel, kemudian bergerak membungkus tubuh Marvin dari belakang. "Karena kau tidak mau mendengar ucapanku, pakailah mantel ini."
Wanda berusaha untuk membuat tubuh sang suami hangat, tanpa mempedulikan kondisi tubuhnya sendiri. Lalu Marvin menghempaskan mantel, kemudian membiarkannya jatuh. Pria itu berdecak, dengan pandangan sinis. Setelahnya, dia baru masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Wanda, dengan tatapan yang tak bisa diartikan.
Punggung Marvin menjauh, semakin jauh dan menghilang dari pandangannya. Sebanyak apa pun Wanda memanggil namanya, pria itu lebih tertarik untuk menulikan indera pendengarannya. Seharusnya di sini yang marah adalah Wanda. Sejak kemarin dia diperlakukan kasar, tapi Marvin yang malah mendiaminya begitu saja.
Perlahan, Wanda berjongkok ke bawah. Jemari tangannya membawa mantel yang telah jatuh. Setelahnya dia berdiri, kemudian menaruh mantel itu di pergelangan tangannya. Untuk beberapa saat, Wanda mengeluarkan napas panjang. Setelah itu dia berbalik ke belakang, melihat satu persatu air hujan mulai turun ke bumi.
"Akhirnya hujan turun juga," gumam Wanda.
Ketika Wanda fokus memperhatikan hujan, dia tersenyum kecil. Baru kemudian melirik ke arah jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Tepat di belakang jendela itu, terlihat Marvin yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam. Bola mata keduanya bertemu beberapa saat. Sebelum Marvin memalingkan wajahnya, kemudian pergi dari hadapan jendela.
"Manis sekali."
Setelah itu, Wanda akhirnya melangkahkan kaki ke dalam rumah. Wanita itu awalnya masih bisa tersenyum, dengan tangan yang menggenggam erat mantel di tangannya. Namun, ketika Wanda ingin melangkahkan kaki ke atas tangga. Kepalanya lagi-lagi berdenyut pusing. Selain itu, Wanda merasakan perutnya sakit, begitu juga dengan jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat.
Hanya dalam hitungan detik saja, Wanda memuntahkan darah ke tangannya. Wanita itu memelototkan mata. Wanda adalah makhluk penghisap darah, lalu sekarang dia memuntahkan isi perutnya. Seharusnya ini bukan masalah besar. Hanya saja, Marvin melihat hal ini. Pria itu berdiri di atas ujung tangga, dengan tangan yang bersilang di depan dada.
"Marvin."
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
MY MYSTERIOUS WIFE [Republish][✓]
Vampire"M untuk Marvin di atas! W untuk Wanda di bawah!" - Marvin "Jangan coba-coba berselingkuh dariku, atau kuhisap darahmu sampai habis." - Wanda · · • • • ࿙✩࿙ • • • · · Marvin benci diperintah, tapi suka memerintah. Dia selalu ingin berada di atas ora...