Hujan sudah mereda, bersamaan dengan Marvin yang mengepalkan tangan kesal. Pria itu mendengkus beberapa kali, sembari mengurut keningnya sendiri. Marvin tak tahu, berapa umpatan lagi yang terus dia ucapkan di dalam hati. Namun, setiap para pekerjanya membeberkan masalah perusahaan, rasanya Marvin ingin menghilang saja.
"Brand Ambassador yang akan diumumkan tiga hari ke depan, tiba-tiba terlibat skandal? Lelucon macam apa ini?" tanya Marvin kemudian menggebrak meja.
Salah satu pria yang bekerja sebagai bawahan Marvin hanya bisa menundukkan kepala. Dia tak berani menatap bola mata Marvin yang tidak bersahabat. "Kami ... kami tidak tahu, dia akan terlibat skandal seperti ini. Padahal kami sudah mencari tahu, semua latar belakang orang itu."
Marvin mengeluarkan napas panjang.
"Padahal banyak sekali penggemar yang menduga, artisnya akan menjadi BA kita. Untung saja, kita belum mengumumkan orang itu, " kata bawahan Marvin.
Marvin terdiam. Dia bertanya, "Apa berita ini sudah terbukti kebenarannya? Kalian sudah menghubungi pihak artis?"
"Saat ini, pihak artis tidak bisa dihubungi, " jawab salah satu pekerja.
Marvin berdiam diri di kursinya. Semua masalah ini membuat otaknya berpikir dua kali lipat. Padahal jika tidak ada skandal, pemasaran produk perusaan pasti berjalan lancar. Sesuai dengan target Marvin. Namun, sekarang? Jika Marvin bersi keras menjadikan artis berskandal sebagai ambasador produknya, mungkin perusahaannya juga akan ikut terlibat masalah.
"Jika skandal ini palsu. Perusahaan kita tak akan terkena imbas. Keuntungannya mungkin, banyak orang yang turut mengenal perusahaan."
"Namun, kalau skandal ini terbukti benar. Sudah pasti kita akan dalam masalah besar, " lanjut Marvin.
"Sesuai kontrak, lebih baik kita putuskan hubungan kerja sama, " saran salah satu pekerja.
Bukannya untung yang didapat. Pada akhirnya Marvin akan mendapatkan kerugian. Padahal dia sudah mengatur semuanya, supaya berjalan sesuai dengan apa yang dia rencanakan. Namun, sekarang? Marvin bahkan tak bisa lagi membayangkan keuntungan yang akan dia raih.
•••
Setelah melakukan rapat dengan para pekerjanya. Marvin akhirnya keluar dari ruang rapat. Pria itu mengeryitkan kening, ketika dia menemukan Wanda berdiri di depannya. "Kau? Kenapa kau masih ada di sini? Bukannya aku sudah menyuruhmu untuk pulang?"
Tanpa permisi, Wanda memegangi pergelangan tangan Marvin. Wanita itu menarik Marvin, supaya mau ikut berjalan bersamanya. Marvin berusaha untuk mengelak, tapi saat ini dia tidak punya niat untuk melawan. Rasanya semua tenaganya sudah habis, memikirkan masalah yang hari ini menimpanya. "Kau mau membawaku ke mana? Aku tidak bisa pulang cepat hari ini. Pekerjaanku masih banyak. "
Wanda membawa Marvin pergi ke sebuah meja di samping jendela. Biasanya meja itu dipakai para pegawai yang sedang mencari inspirasi. Namun, sekarang, Marvin mengernyit kening ketika di meja itu sudah tersedia banyak makanan. "Kau menyiapkan makan lagi untukku?" tanya Marvin heran.
Tanpa menjawab, Wanda duduk di kursi seberang Marvin. Wanita itu menjulurkan sendok, dia berkata, "Makanlah. Kau tadi belum sempat memakannya bukan? Semua makanan ini adalah makanan yang kau pesan sebelumnya bukan?"
Marvin menyipitkan mata, kemudian meneliti semua makanan yang ada di meja. Dia mengangguk, lalu memandang ke arah Wanda. Wanda yang sudah tahu apa isi pikiran Marvin langsung berkata, "Aku tidak menaruh racun di dalamnya. Makan saja makanan itu. Jangan banyak protes."
"Aku tidak lapar, " bohong Marvin.
Sudah seharian ini Marvin tidak mengisi perutnya dengan makanan pokok. Dia hanya menghabiskan sedikit camilan, dan segelas kopi. Itu pun saat sedang berpikir tentang masalah perusahaannya.
"Kau belum makan sejak pagi. Kenapa kau membohongi dirimu sendiri?
Apa kau ingin aku suapi?" tawar Wanda.
Penawaran yang diberikan Wanda malah membuat Marvin tersenyum kecut. Pria itu berdiri, sembari merapikan kemejanya. Marvin memandang sinis ke arah Wanda. Dia memberitahu, "Jangankan disuapi olehmu, memakan masakanmu saja aku tak sudi. "
Mulut bisa mengelak, tapi perut tak bisa menolak. Tepat ketika Marvin ingin pergi, perutnya tiba-tiba bersuara. Spontan, Wanda tertawa kecil. Dengan telinganya sendiri, dia mendengar perut Marvin kelaparan minta diisi.
Diam-diam, Wanda menyendok nasi. Dia berkata pada Marvin, "Kau yakin?"
Marvin kehilangan kesabarannya. Dia kembali berbalik, berniat menjawab pertanyaan Wanda. Namun, ketika mulutnya terbuka lebar, Wanda sudah lebih dulu berdiri, kemudian memasukkan sendok ke dalam mulut Marvin. Dia memaksa Marvin memakan nasi yang sudah dia sendok. "Jangan menolak lagi."
Awalnya Marvin ingin membuang nasi yang ada di mulutnya. Namun, ketika gigi dan lidahnya sudah bersentuhan dengan makanan itu, Marvin akhirnya mengunyahnya pelan. Dari rasanya, masakan ini memang tak seburuk bayangannya. Dia akhirnya duduk, menyelesaikan kunyahannya.
Senyum di wajah Wanda tak bisa terhapus, ketika Marvin mengunyah makanan tanpa protes. Wanita itu bersemangat menyuapi suaminya lagi. Sayangnya, sebelum Wanda kembali mengarahkan makanan itu pada mulut Marvin. Marvin sudah lebih dulu menahan pergelangan tangannya. Pria itu memilih untuk memakannya langsung, tanpa bantuan Wanda. "Aku bisa sendiri. "
Marvin fokus memakan makanannya. Sedangkan Wanda fokus mengamati Marvin. Wanita itu menangkup pipi dengan kedua tangannya. Dibanding ikut mencicipi makanan, Wanda lebih tertarik untuk melihat Marvin makan dengan lahap. Marvin tak malu-malu, menunjukkan betapa laparnya perutnya saat ini. Lagi pula, Wanda sudah sering melihat kelakuan Marvin lainnya.
Lama kelamaan, Marvin berhenti mengunyah makanannya. Pria itu melihat langsung, ke arah Wanda yang sedang mengamatinya. Marvin mengambil botol air. Dia meminum cairan itu, sampai apel adamnya bergerak naik turun. Setelahnya, Marvin bertanya lagi, "Kenapa kau tidak langsung pergi saja?"
Wanda tersenyum. "Aku tak bisa pergi tenang, jika kau kelaparan, Dik Suami. Kau tahu, hidup tanpa makanan itu sangat menakutkan. "
Marvin melihat ke arah makanannya. Dia sedikit mengernyitkan kening, kemudian bertanya, "Apa kau sudah makan?"
Entah kenapa, pertanyaan Marvin tiba-tiba di balas dengan seringai. Wanda menjilat bibir bawahnya. "Menurutmu?" tanya balik Wanda.
Marvin paling malas, jika harus bermain teka-teki seperti ini. Dia akhirnya menyodorkan makanannya ke arah Wanda. "Makanlah. Aku sudah selesai makan. "
Tangan Marvin menyentuh tisu, kemudian mengelap sudut bibirnya sendiri. Wanda mengungkap, "Aku tidak memakan makanan seperti ini. "
Kening Marvin mengernyit. "Jika kau tidak suka memakan makanan seperti ini. Kau ingin makanan seperti apa?"
Bola mata Wanda memindai leher sang Suami. Untuk beberapa saat, terbesit niat untuk menyudutkan Marvin. Lalu mengisap semua darah yang ada di tubuh sang Suami. Namun, Wanda masih memiliki kesadaran. Wanita itu tersenyum tipis, sembari memainkan botol minumnya. "Jika aku mengatakan kemauanku, apa kau akan memberikan apa yang aku mau?"
Marvin tersenyum kecut. Dia menjawab, "Tergantung."
"Memangnya kau ingin memakan apa?"
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
MY MYSTERIOUS WIFE [Republish][✓]
Vampire"M untuk Marvin di atas! W untuk Wanda di bawah!" - Marvin "Jangan coba-coba berselingkuh dariku, atau kuhisap darahmu sampai habis." - Wanda · · • • • ࿙✩࿙ • • • · · Marvin benci diperintah, tapi suka memerintah. Dia selalu ingin berada di atas ora...