𓆩✩26. Menentang Arus✩𓆪

282 50 9
                                    

Vampir bertahan hidup dengan memakan darah. Namun, Wanda berbeda dengan mereka. Wanita itu memang penghisap darah, tapi dia sudah berhenti meminum cairan merah itu---sejak menemukan pil penambah darah. Dengan pil itu, Wanda bisa menahan hasrat penghisap darah miliknya.

Sinar matahari pagi membangunkan Wanda. Kelopak matanya terbuka sedikit demi sedikit. Tak butuh waktu lama, bagi Wanda untuk menemukan sosok sang Suami. Pria itu masih menutup kelopak matanya, dengan hembusan napas yang terasa di wajah Wanda.

Jarak antara tubuh keduanya sangat dekat. Wanda bisa merasakan detak jantung Marvin, yang bertumpang tindih dengan miliknya. Mata wanita itu tak bisa berkedip, memerhatikan Marvin yang masih menutup mata. Lagi-lagi, melihat Marvin yang tertidur nyaman, membuat Wanda malas beranjak dari ranjangnya. Dia ingin selalu dekat dengan sang Suami. Merasakan sentuhan lembut, mendengar suara detak jantung, dan membiarkan Marvin membungkus tubuh lemahnya.

"Kau sangat manis. Aku menyukaimu," ungkap Wanda. Jari jemari wanita itu menyentuh dan membelai wajah Marvin. Dia berhenti bergerak tepat di depan bibir sang Suami. Wanda terkikik sendiri. Hanya di saat seperti ini saja, jari jemarinya bisa tenang menyentuh sang Suami.

Sayangnya waktu begitu cepat berlalu. Wanda tak bisa membuang lebih banyak waktunya, untuk mengagumi ciptaan Tuhan. Wanita itu langsung bersiap-siap menyiapkan keperluan sang Suami. Apalagi Wanda baru ingat, jika malam ini adalah malam bulan purnama.

"Tidur yang nyenyak. Aku akan membangunkanmu, jika jam sudah menunjuk pukul delapan pagi," gumam Wanda.

Wanda sempat merapikan helaian rambut yang menghalangi wajah tampan sang Suami. Dia mendekatkan bibirnya ke pipi, kemudian mendaratkan bibirnya di sana. Setelah itu, Wanda langsung beranjak dari ranjangnya. Dia melangkahkan kaki menuju pintu, kemudian membuka dan menutupnya kembali.

Pekerjaan rumah tangga kembali Wanda kerjakan. Padahal banyak pelayan yang meminta  Wanda untuk beristirahat. Termasuk dengan suaminya sendiri. Sejak bangun, Marvin sudah memarahi Wanda. Penyebabnya adalah wanita itu beranjak dari ranjang tanpa sepengetahuannya. Padahal Marvin sudah menyuruh Wanda untuk beristirahat penuh, jika tak ingin dibawa ke rumah sakit.

Karena desakan Marvin, Wanda tak bisa bekerja seperti biasa di rumah. Wanita itu hanya mengerjakan pekerjaan rumah yang mudah. Setelah itu, para pelayan langsung menyuruhnya duduk diam di sofa.

Sepanjang hari, dihabiskan Wanda untuk berpikir. Meskipun dirinya terkurung di kamarnya sendiri, Wanda masih bisa menatap ke arah langit. Dia memerhatikan langit biru, yang sebentar lagi akan dihias oleh cahaya rembulan penuh.

"Aku harus meminta para pelayan, meninggalkan rumah ini. Sekaligus mengunci semua pintu," niat Wanda.

Wanda baru menyadari jika dia tidak bisa pergi selangkah saja dari rumah ini. Apalagi menjauhi lingkungan masyarakat. Hal itu dikarenakan pengawasan sang Suami yang begitu ketat. Terlebih lagi, Wanda tak memiliki alasan untuk keluar.

Detik pada jam berubah menjadi menit. Ketika cahaya mentari tenggelam, Wanda merasakan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Dia berharap, bisa melewati malam ini tanpa ada satu korban pun.

"Malam purnama, yang paling sempurna," gumam Wanda.

Wanda masih setia duduk di sofa kamarnya. Wanita itu menutup kelopak matanya rapat-rapat, dengan hidung yang mencium aroma teh hangat. Sebenarnya teh itu bukan teh biasa, karena Juna memberikannya sebagai obat lain untuk menahan hasrat. Wanda berusaha menenangkan dirinya dengan teh hangat itu.

"Sedang apa kau di sana?" tanya Marvin yang baru saja membuka pintu kamar. Alis pria itu mengernyit, melihat Wanda duduk di sofa dengan mata menutup.

Apalagi Wanda, yang mengernyitkan kening bingung. "Dik Suami, kenapa kau pulang sekarang? Biasanya kau menghabiskan waktu di kantormu sampai malam hari," ungkap Wanda.

Marvin berjalan menuju Wanda. Dia melepas dasi yang mengikat leher, kemudian menaruhnya di samping Wanda. Pria itu berdiri tepat di depan Wanda, dengan tangan bersilang di depan dada. "Pekerjaan di kantor sudah selesai, jadinya aku pulang ke rumah secepat mungkin."

Diam-diam Wanda menaikkan sudut bibirnya. Wanita itu tertawa kecil, sembari menebak,  "Kau mencemaskanku, oleh karena itu kau pulang lebih dulu, bukan?"

Marvin berdecak, "Jangan terlalu percaya diri, Nyonya. Aku memang sudah menyelesaikan pekerjaanku. Bukannya mencemaskan keadaanmu."

Perkataan Marvin langsung membuat Wanda membuka kelopak matanya. Wanita itu masih bisa tersenyum, kemudian beranjak dari sofa. Wanda meminta izin, "Baiklah. Aku ingin menyiapkan air untukmu mandi. Aku belum sempat menyiapkannya karena kupikir, kau akan pulang telat."

Sebelum Wanda pergi, Marvin sudah lebih dulu menahan bahu Wanita itu. Dia kembali mendudukkan Wanda di atas sofa. Setelahnya, kedua matanya bertemu dengan mata Wanda. Hati Marvin terenyut, melihat penampilan sang Istri yang berbeda jauh dari biasanya.

Dulu, Wanda selalu tampil dengan dandanan sederhana yang menawan. Namun sekarang? Bedak bahkan tak mampu menutupi wajah pucat Wanda. Begitu pula dengan pewarna bibir, yang terhapus oleh teh hangat. Semuanya bagaikan bunga layu. Hanya ada satu senyuman, yang tak memudar seiring berjalannya waktu.

"Duduk di sini. Aku bisa meminta pelayan untuk menyiapkan air untukku," kata Marvin.

"Tidak bisa. Tak ada seorang pun pelayan yang ada di rumah ini. Aku sudah mengusir mereka," ungkap Wanda tanpa rasa bersalah.

Marvin semakin mengernyitkan kening. Dia melangkah ke depan, kemudian berjongkok tepat di depan sofa Wanda. "Lihat kakimu ini. Sejak kemarin, kau terus kedinginan dan kau masih belum kapok bekerja terlalu keras."

"Sebenarnya apa yang kau inginkan? Pujian dari kakek, pujian dariku? Atau kau ingin mempersulit hidupmu sendiri?" heran Marvin.

Entah sejak kapan, Marvin menyadari jika kaki Wanda telanjang. Namun, pria itu langsung membawakan sebuah kaus kaki, disertai dengan sendal rumah berbulu motif kucing. Dia memasangkan kedua benda itu, sampai kaki Wanda terbungkus dengan sempurna. "Jaga dirimu baik-baik. Jangan menyusahkanku," peringat Marvin.

Wanda melihat ke arah kakinya sendiri. Lagi-lagi  sebuah senyuman terbit di bibirnya. Dia mengambil teh di depan, kemudian menyeruputnya dengan santai. Setelah itu, Wanda menawarkan, "Aku sudah baik-baik saja. Lihat ini, semuanya sehat. Aku juga tak ingin menyusahkanmu, Dik Suami."

Arah pandang Marvin tertuju pada teh yang dipegang Wanda. Pria itu menebak, "Apa itu teh pemberian Juna?"

Dari nada ketus Marvin, Wanda bisa menebak jika suaminya lagi-lagi tak menyukai bantuan Juna. Sebisa mungkin, Wanda menawarkan, "Coba teh ini, Dik Suami. Rasanya sangat enak, tidak terlalu manis, tapi mengunggah selera. Selain itu, banyak sekali manfaat dari teh ini."

"Ingin kubuatkan tehnya?" tawar Wanda.

Penawaran yang diberikan Wanda, membuat Marvin mendongak melihat gelas teh yang ada di tangan sang Istri. Wanda menawarkan, sembari menyeruput teh lagi. Dia membiarkan bibirnya yang kering, terbasahi oleh cairan teh.

"Aku ingin kau mencicipinya juga. Rasanya benar-benar enak," puji Wanda.

"Benarkah? Ayo berikan teh itu padaku juga, aku ingin mencicipinya, " kata Marvin kemudian berdiri dari jongkoknya.

Tak perlu waktu lama, bagi pria itu untuk merampas cangkir teh di tangan Wanda. Wanda berpikir, Marvin ingin mencicipi rasa teh miliknya. Namun, tebakannya ternyata salah besar. Dibanding mencicipi rasa teh, Marvin lebih tertarik untuk mendekatkan diri ke tubuh Wanda. Dia penasaran, dengan rasa teh yang menempel pada bibir sang Istri.

Belum sempat Wanda membuka suaranya. Marvin sudah lebih dulu mendaratkan bibirnya di depan bibir Wanda. Pria itu membuat jantung Wanda berdetak dua kali lebih cepat, dengan tubuh bergetar hebat. Lagi-lagi pria itu berhasil mengagetkannya dengan perilaku tak terduga. Apalagi ketika jari jemari pria itu menelusuri setiap bagian wajah Wanda.

Kebahagiaan Wanda meningkat, bersamaan dengan melembutnya gerakan Marvin. Pria yang berstatus sebagai suaminya itu berhasil membuat bibir kering Wanda, kembali merekah seperti bunga mawar. Wajah Wanda memerah, sementara kelopak matanya terpejam erat.

Marvin hanya mempertemukan kedua bibir selama beberapa menit saja. Setelah itu, dia melepas lembut bibir sang Istri. Sembari menatap ke arah bola mata Wanda, Marvin memberitahu rasa tehnya, "Manis."

•••

MY MYSTERIOUS WIFE [Republish][✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang