Prolog

438 34 7
                                    

”She fell first and she fell harder.”

=======

Hari terakhir di bulan November, rintik-rintik hujan mulai membasahi sebagian wilayah bumi di sore hari. Gadis kecil dengan rambut lurus tergerai itu masih berdiri di sana, di bawah pohon cemara yang menghiasi pekarangan luas dari rumah. Tangan mungil itu menggigil, memegang boneka teddy bear berwarna cokelat muda dengan sedikit bergetar.

Rumah dengan tembok putih di belakang sana sejak setahun beberapa bulan lalu tak lagi jadi tempat yang hangat. Kematian sang nenek menghadirkan ketakutan akan kesendirian. Bik Inem, orang yang biasanya datang untuk membantu mengurus rumah pun kerap kali tak datang karena sudah sakit-sakitan akibat usia lanjut.

Elia Neiva Palmyra masih ingat dengan jelas itu terjadi di usinya yang ke lima tahun. Ketika Kak Lenny baru saja duduk di bangku kelas IX SMP dan tengah sibuk-sibuknya menyiapkan ujian. Ia masih kerap kali menangis ketika satu-satunya sosok di dalam rumah yang ia tempati pamit untuk berangkat sekolah, merengek dan menyalahkan sang kakak karena pulang terlalu malam.

Gadis itu masih merunduk, berharap semoga sang kakak tiba-tiba muncul membawakan payung untuknya. Matanya yang cenderung bulat memandang fokus pada sepatu merah dengan sebuah hiasan pita di atasnya. Itu milik Yessa, karena tadi ia sempat bermain di rumah dua lantai yang tak jauh dari rumahnya sekaligus makan dan mandi.

”Kakak,” panggil Lia pelan, pilu.

Mungkin itu masih di masa Lia percaya pada seluruh dongeng yang pernah dibacakan untuknya sebelum tidur. Tentang memanggil nama orang untuk membuat orang tersebut datang. Tentang harapan yang selalu jadi kenyataan, dan tidak lupa tentang ibu peri yang selalu hadir di saat sang putri membutuhkan keajaiban.

Tetes-tetes air yang sempat mengenai ujung kepalanya tidak lagi terasa menyakitkan, disusul oleh bayangan hitam yang melindungi bagian depan tubuh kecilnya dari cipratan-cipratan tanah.

”Kak-”

Suara Lia tertahan begitu kepalanya mendongak, disusul oleh wajah merekah gadis kecil itu yang menurun. Bukan sosok perempuan dengan rambut sepunggung yang ia dapati, melainkan sosok anak laki-laki dengan tubuh jauh lebih tinggi yang memegangi sebuah payung.

”Kak Lenny pulang nanti malem. Kata Mama, Lia diminta ke rumah aja, jangan tiba-tiba pulang gak pamit.”

Suara dengan nada tinggi terdengar, berusaha menghalau dan mengimbangi suara dari rintik-rintik hujan di sekitar mereka. Secara sekilas, anak laki-laki itu akan terlihat sedikit lebih tua baik secara fisik maupun kefasihan bicara. Padahal, pemuda kecil yang mengenakan celana kain panjang dan kaos pendek itu seumuran Yessa dan Lia.

”Hessa sendilian?”

Cowok dengan tinggi 109 cm itu mengangguk, wajahnya tampak lebih dominan dengan wajah Asia Timur daripada Asia Tenggara. Mata sipit, hidung lancip, garis wajah yang tampak sudah terbentuk dengan sempurna.

Daripada seorang ibu peri, mungkin yang menghampiri Lia sore ini adalah sesosok pangeran.

”Mama minta tolong ke aku buat jemput Lia.”

”Hessa belani?”

Jika dibandingkan dengan anak seumurannya, perkembangan bahasa Lia menjadi yang terburuk. Terutama dengan kemampuan kognitif yang lain, gadis itu cenderung begitu rendah memahami kosa kata dan cara pengucapannya. Kerap kali setiap kata dari bibirnya masih terbolak-balik, membuat orang umum akan kesusahan mengerti.

”Anak cowok harus berani, ayo.”

Tangan kanan Hessa yang masih menganggur maju, menengadah pada sosok di hadapannya. Mata bulat gadis itu mengerjap, tak menggerakkan tubuh sama sekali sebelum akhirnya menggeleng, mendorong pelan tangan Hessa.

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang