50. The Girl II

134 25 3
                                    

”Tiga orang kakinya keseleo gara-gara kamu tentang, ada kursi yang patah, beberapa gelas dan mangkok pecah, empat orang rambutnya rontok parah gara-gara-gara kamu jambak, ada juga bekas cakaran di beberapa lengan dan muka kakak kelas kalian,” rangkum Pak Teo dari catatan yang telah diberikan Bu Krystal sembari memandang salah satu anak muridnya yang tengah duduk di hadapan kursi laki-laki itu di Ruang Guru, ”dan kamu gak kenapa-napa,” lanjut laki-laki itu terkagum sendiri dengan gelengan kecil.

Chaerra berdecak tak santai. ”Kecakar nih Pak,” kata gadis itu sengak menunjukkan lengan atasnya yang memerah.

Rambut kecokelatan gadis itu yang sudah panjang pagi ini diikat rendah akibat rasa gerah setelah bergerak aktif mengamuk ke sana ke mari. Helai-helai poni tipis di masing-masing sisi menambah kesan tersendiri pada wajah bulat Chaerra yang sudah mengerut sejak tadi.

Dari ruangan BP, mereka masih harus ke ruang wali kelas, belum lagi Chaerra yang harus berurusan dengan pembina ekskul Dance, lalu berurusan dengan OSIS dan tetek bengeknya.

Kenapa membuat masalah di SMA Garuda rasanya hampir sama seperti menjalani sidang hukum yang perlu mengurus ke sana ke mari?

Pak Teo makin menggeleng kagum. ”Coba kamu lihat ke samping kiri kamu, ada pipi yang udah kayak kena cakar harimau.”

Chaerra melirik, memandang Lia yang meringis kecil sembari menggerakkan tangan seolah menggeleng. ”Nanti langsung kasih tau gue muka mana yang bikin lo kayak gitu, biar sekalian dua pipinya gue bikin kayak gitu.”

Lia menepuk keras lengan atas Chaerra tepat pada lukanya membuat gadis itu mengaduh kencang. Pak Teo menggeleng, tak tau lagi harus bicara apa. Tapi jika membiarkan ketiga gadis itu berlalu begitu saja, ia juga akan dapat peringatan sebagai wali kelas.

”Ada yang mau cerita kronologinya biar saya bisa ringankan hukuman kalian.”

”Gak usah, saya udah nego ke Bu Krystal buat naruh poin di nama saya aja,” sahut Chaerra masih penuh dendam, seolah melupakan jika orang di hadapannya ini adalah wali murid mereka, ”Bapak gak usah ikut-ikutan gak papa.”

”Saya, Pak, saya!” Chacha mengangkat tangan tinggi dengan wajah merekah. ”Saya mau cerita.”

Pak Teo yang semula memutar mata malas pada Chaerra jadi menoleh dengan senyum tipis ke arah Chacha. ”Gimana, Cha?”

”Jadi kan, Pak, sebenernya tadi tuh ada saya, Chaerra, Arina, sama Juna, berempat kan ya ini, mau sarapan di kantin. Nah, tiba-tiba gengnya kakak kelas itu dateng dan langsung jambak Chaerra. Saya gak terima lah, saya ikut maju dan jambak rambut mereka, dan berakhirlah seperti tadi.”

”Terus Lia?”

”Lia lihat saya dijambak dan dia ikut gak terima,” lanjut Chacha menyertakan.

”Juna ikut sama kalian?”

Suara decakan kasar Chaerra kembali terdengar. ”Pak, Juna tuh mental tempe, dia mana berani misah, udah takut saya tendang duluan.”

Kepala Chacha mengangguk, mendukung penuh. Kembali menceritakan detail dari tragedi kantin tadi yang sebenernya tidak terlalu penting. Sampai berapa kursi yang berhasil Chaerra tendang pun gadis Chinese itu sertakan.

”Bentar!” Pak Teo memberikan tanda supaya Chacha lebih dulu diam, beralih pada Chaerra yang terlihat tak terlalu berminat. ”Kamu tau kenapa kamu tiba-tiba dijambak?”

”Kemarin si Putri lihat saya nonton sama Jeiden,” jawab Chaerra tanpa beban, ”tapi itu sebenernya gak berdua, Pak. Ada saya, Senya, William, sama Jeiden, berempat. Emang agak anjing sih Jeiden pakai segala deketin kakak kelas lagi, minta dibotakin kepalanya,” lanjut gadis itu mencibir kesal.

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang