33. The Night (II)

139 28 5
                                    

Warning: Kiss scane (gak tau cringe apa enggak)

.

.

.

.

.

Tubuh Hessa sudah berbalik pergi, berjalan dengan tangan mengepal. Pemuda itu memasukkan kedua tangannya ke saku jaket, meremas kain di bagian dalam jaketnya. Kepalanya terasa memberat, dengan tangan kanan yang baru terasa nyeri.

Dalam hati ia sudah mengumpat, menyakinkan diri untuk tak menoleh kembali ke belakang. Tapi bayang-bayang wajah merah Lia dengan tatapan sendu namun juga nyalang melekat di kepala Hessa sepenuhnya. Kenapa gadis itu jadi begitu berlebihan sekarang? Bicara ke sana ke mari tidak jelas.

Jika bisa memilih, Hessa lebih suka gadis itu mengamuk melakukan kekerasan padanya daripada harus menggunakan kalimat yang berbelit-belit.

Kenapa tak langsung mengatakan maksud gadis itu saja? Keinginannya selain bicara selesai, selesai, dan selesai. Apa seluruh hal di otak Lia hanya terfokus pada dirinya sendiri? Tanpa memikirkan perasaan Hessa yang jelas-jelas menaruh perasaan besar pada gadis itu?

Apa Hessa kurang cukup menunjukkan hal itu? Menunjukkan seluruh rasa cintanya yang hanya ia lakukan pada gadis itu? Kenapa Lia tak melihat itu? Kenapa Lia hanya melihat Hessa sebagai cowok brengsek yang datang memberikan luka pada dirinya daripada berusaha menjadikan Hessa sebuah rumah?

"Oke."

Suara Hessa terdengar kencang, tubuh pemuda itu tak dapat menahan untuk berbalik ke sisi jalan yang menjadi tempatnya berdiri tadi. Dengan cepat tangan pemuda itu maju, meraih tangan Lia untuk mengencangkan tali gelang gadis yang masih terisak pelan.

"Lo belum mau bahas, jadi gak usah kita bahas," ujar pemuda itu berubah pelan, "tapi jangan putus, gue gak mau putus."

"Lo bilang kalau mau putus bisa langsung putus kan?" rengek Lia kecil. "Gue bisa gila, Sa, kalau kayak gini terus."

"Ya udah jangan kayak gini." Hessa ikut merengek pelan, suara serak beratnya lumayan bergetar. "Yang perlu lo tau cuman satu, gue cuman suka sama lo."

"Tapi tindakan lo gak menunjukkan itu sama sekali," deru Lia terburu, "lo seolah emang dari awal milik semua orang dan gak harusnya gue miliki, Sa."

"Ya," panggil Hessa pelan, membuang nafasnya masih dengan tangan yang menggenggam kedua tangan Lia, "jangan hidup di dalam kepala lo sendiri, please. Kalau masalah lo cuman karena banyak cewek yang suka sama gue, kalau gue sukanya sama lo mereka bisa apa?"

"Cium lo mungkin, di saat gue gak bisa lakuin itu."

Hessa berdecak, dengan sekali tarikan kesal meraih tengkuk dan pinggang Lia tanpa seizin sang empu. Pemuda itu dengan gerakan cepat merunduk, menempelkan bibir mungil di hadapannya untuk menyentuh bibirnya sendiri. Ia dapat merasakan tubuh mungil Lia membeku kaku di pelukannya, respons gadis itu yang selalu Hessa suka.

Untuk beberapa saat, bibir keduanya hanya menempel, dengan bibir mungil Lia yang terkantup sempurna. Hessa dapat sedikit merasakan sensasi asin bekas air mata Lia pada masing-masing sisi bibir gadis itu yang sangat kecil dibandingkan bibirnya.

Tidak lagi mendengar protes atau suara rendah terdengar, Hessa menjauhkan sedikit wajahnya tanpa melepaskan tengkuk dan pinggang Lia yang masih ia tahan supaya gadis itu tak menyingkir. Mata tajam Hessa menurun, memandang gadis itu dengan senyum tipis. Wajah oval sempurna Lia tampak cantik di bawah sinar cahaya bulan, tatapannya yang naik memandang Hessa sendu membawa sensasi tersendiri bagi garis wajah angkuh dan dingin tersebut.

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang