15. The Relationship

149 26 2
                                    

Hessa dengan tubuh bergerak tak nyaman mengetuk pintu putih di hadapannya. Setelah berhasil melewati pintu utama dengan senyum canggung karena salah satu pelayan yang membuka, kini pemuda itu harus benar-benar di hadapkan oleh kamar Lia. Tubuhnya masih lengket, tak sempat mandi lebih dulu karena dari lapangan ia hanya sempat mengganti pakaian lalu terburu naik ke motor.

Terhitung 10 detik, belum ada benda itu akan terbuka membuat Hessa kembali mengetuknya. Kali ini dengan tenaga lebih keras. Ia awalnya berpikir jika Lia izin tidak masuk sekolah hanya karena gadis itu ingin lari dan menghindarinya, membuat Hessa tak terlalu menganggap serius. Tapi berdasarkan informasi pelayan tadi, rupanya gadis itu baru saja di bawa ke rumah sakit.

”Gue gak papa, Cha-” Pergerakkan tangan Lia yang ingin membuka pintu sepenuhnya terhenti begitu gadis itu mendongak. ”Ngapain lo di sini?” tanyanya dengan nada berubah datar.

Wajah Lia tampak pucat, bibirnya lebih condong ke warna putih daripada merah muda. Mata bulat gadis itu bengkak, dengan area bawah yang tampak menggelap. Rambut panjangnya berantakan walau sebagian masih sempat diikat rendah. Hanya dengan tanktop tanpa lengan berwarna hitam dan hot pants putih yang memperlihatkan kulit putih pucatnya semakin menambah kesan sakit pada penampilan gadis itu. Sangat buruk, tidak seperti Lia yang biasanya.

”Chacha habis ke sini?” tanya Hessa mengalihkan pembicaraan, lebih fokus pada kalimat pelan gadis itu saat membuka pintu.

”Gue tanya mau apa lo ke sini?” sinis Lia tajam, jelas menunjukkan garis wajah angkuh dinginnya.

”Gue bawa buah.”

”Bawa balik!” suruh gadis itu dingin. ”Gak ada yang makan di sini!”

Lia hampir saja kembali ingin menutup pintu kasar kalau tangan Hessa tak segera maju, menahan papan pintu supaya benda itu tetap terbuka. Pemuda itu mengatur ekspresinya yang sudah tidak karuan, berdeham pelan bingung sendiri. Selain karena Lia yang jarang bersikap marah terang-terangan seperti ini, jujur penampilan gadis itu sangat menganggu.

”Gue mau ngomong.”

”Tiga puluh detik,” selak gadis itu, ”cepet, gue gak ada waktu.”

Hessa menahan bibirnya, memandang Lia dengan helaan nafas panjang. ”Lo masih marah?”

”Enggak, biasa aja,” jawab gadis itu cepat namun dengan nada yang jelas tak santai, ”udah kan? Gue mau tidur.”

”Biarin gue masuk.”

Sebelah alis Lia yang tampak lebih tipis karena efek kulitnya yang pucat sedikit naik, mengatami Hessa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambut lepek, seragam putih yang sudah tidak karuan dengan seluruh kancing terbuka menunjukkan dalaman kaos hitam, dan celana abu-abu panjang. Kepala Lia bahkan berdenyut hanya dengan melihat penampilan pemuda itu.

”Mandi, habis itu lo pulang!” kata gadis itu pada akhirnya menyingkirkan diri. ”Baju ganti lo kayaknya masih ada yang di lemari,” lanjutnya memberitahu sebelum beranjak ke kasur untuk memejamkan mata.

Hessa masih bisa menangkap gelang pemberiannya di tangan kanan Lia yang kini sudah meringkuk, membungkus tubuhnya sampai bahu. Ada air putih dan beberapa obat-obatan di nampan yang ditaruh tepat pada meja di sisi ranjang. Sebuah note kecil juga tertulis dengan huruf kapital di sana.

OBAT DIMINUM TIGA KALI SEHARI SETELAH MAKAN, BUKAN TANPA MAKAN!

”Kak Leny sama Bang Virgo gak ada, Ya?” tanya Hessa yakin gadis itu belum tidur sepenuhnya.

Suara gumaman terdengar pelan walau tanpa kelopak mata Lia yang tak terbuka. ”Kak Leny baru berangkat ke rumah sakit waktu anak-anak cewek ke sini. Kak Virgo udah dari tadi pagi pergi ke kantor,” balasnya tenang.

”Lo ditingal sendiri?”

”Sama pelayan.”

Jawaban singkat dan jelas itu membuat Hessa membuang nafas pelan. Pemuda itu menaruh tas hitamnya ke atas sofa, melepaskan seragam putihnya menyisakan T-shirt polos berwarna hitam. Tubuh Lia di atas kasur bergerak pelan, berubah meringkuk membelakanginya.

”Gue mau minta maaf masalah kemarin,” ujar Hessa jelas, ”gue beneran gak punya-”

Kalimat Hessa berhenti tepat setelah kupingnya mendengar deru nafas teratur samar-samar. Pemuda itu melangkahkan kaki mendeket, sedikit mengintip pada wajah Lia yang memang sudah tak menunjukkan kerutan tertentu menandakan raut wajahnya tak lagi tegang.

Kelopak mata gadis itu tertutup, menyembunyikan pandangan yang selalu Hessa suka. Tatapan Lia itu angkuh, namun kadang juga sendu. Kadang begitu dingin, namun juga teduh. Gadis itu selalu membawa sensasi berbeda walau hanya dengan tatapannya.

Hessa yang kini duduk di pinggir ranjang sembari
menaruh dagu bersandar pada kasur jadi tersenyum tipis, mengamati wajah polos gadis itu dengan efek rambut yang agak berantakan. Catik. Luar biasa cantik.

Satu-satunya manusia yang selalu ia anggap sempurna.

”Lo gak tau kan, Ya, sejatuh apa perasaan gue ke lo?” gumam pemuda berbisik pelan. ”Kalau seandaikan gue cuman punya dunia, gue bahkan bakal ngusahain buat ngasih alam semesta buat lo.”

Bagaimana rasanya dicintai dengan hebat? Atau bagkan begitu hebat? Daerah bawah mata Lia sudah memanas ketika indra pendengarannya masih mendengar Hessa mengoceh tidak jelas tentang alam semesta dan seisinya.

Dulu Lia memang selalu berharap dicintai seolah ia alam semesta. Dicintai seperti bumi mencintai gravitasi. Dicintai layaknya matahari yang rela memberikan sinarnya untuk bulan. Dicintai layaknya ia lautan yang kadang tidak perlu diketahui kedalamannya. Dicintai oleh seseorang yang menganggapnya berharga, yang memandangnya dengan tatapan penuh binar dan kehangatan, yang ketika ia kegores sedikit saja maka kekhawatiran akan muncul begitu saja.

Tapi gadis itu tak tau sama sekali bahwa ia memang harus tetap membayar untuk semua itu.

Mengahadapi sikap Hessa yang terkadang benar-benar di luar kepalanya. Cara pemuda itu berkomunikasi dan berbagai hal lain yang jujur masih membuat Lia kebingungan ingin membalas seperti apa. Memberikan hal serupa seperti apa selain rasa cintanya yang bahkan tak bisa ungkapkan.

”Tidur nyenyak ya sayangnya Hessa,” gumam Hessa menutup ceramahnya sore ini, membelai dahi dan ujung rambut Lia pelan, ”cepet sembuh, gak boleh sakit-sakit lagi.”

Tak berselang lama sejak dahinya dielus, Lia dapat merasakan bagian kasur di belakang tubuhnya sedikit bergerak. Gadis yang sudah mengubah ekspresi wajahnya setenang mungkin untuk pura-pura tidur itu kini berubah dengan kerutan kecil pada dahi, yang berikutnya jadi sedikit terkejut karena sebuah tangan melingkar di perutnya. Bau mint maskulin dengan sedikit sensasi nikotin segera menyambut Lia diiringi nafas hangat seseorang yang menerpa tengkuknya.

Sleep well, Elia,” bisik suara serak berat itu pelan, benar-benar pelan di kuping Lia.

Lia tak berani menoleh sama sekali, gadis itu justru memejamkan matanya erat dengan menggigit bibir bawah. Perut Lia rasanya seperti aduk membuat gadis itu mual dengan kepala kembali berdenyut hebat. Hessa tidak membuatnya semakin baik namun justru sebaliknya.

Bagaimana jika ada pelayan masuk dan melihat mereka berdua dalam posisi ini nanti?

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang