23. Luka dan Obatnya (III)

151 22 20
                                    

Lia membuka pintu putih besar yang kini ada di hadapannya, memberikan akses pasa Hessa supaya dapat langsung masuk. Mengingat sudah hampir  pukul 01.00 dini hari dan perjalanan ke rumah Lia yang membutuhkan waktu kurang lebih satu jam membuat mereka memilih berhenti di rumah Hessa yang hanya memakan waktu tak lebih dari setengah jam. Gadis itu membuka lebar pintu, memastikan Hessa dapat masuk tanpa perlu melakukan berlebihan dengan lengan.

”Apa sih, Ya?” tanya pemuda itu aneh. ”Gue anak basket kalau lo lupa, udah biasa cidera, gak usah lebay.”

Bola mata Lia bermutar malas, masih menahan papan pintu ketika pemuda itu masuk. Setelah memastikan tubuh Hessa sudah berjalan ke bagian dalam rumah, gadis itu baru bergerak menyingkir dari pintu, menutup benda itu pelan sebelum menyusul. Hessa yang berjalan lebih dulu ke menaiki tangga sempat melirik, memastikan Lia masih berada di belakangnya.

”Nginep sini?” tanya Hessa pelan.

Gadis itu mengangguk cepat. ”Oh, atau lo lagi pengen sendiri?” tanya Lia terburu sadar.

”Enggak enggak,” jawab pemuda itu cepat, ”nginep sini aja. Bahaya, udah malem, gue gak bisa nganterin.”

”Kalau lo lagi pengen sendiri-”

”Enggak, Ya!” sela Hessa lebih dulu. ”Gue lagi pengen sama lo.”

Lia mengangguk, menunjuk ke atas supaya Hessa kembali melanjutkan langkah. Pemuda itu berdecak pelan, jadi merasa sedang di antar oleh resepsionis hotel ke kamar yang sudah ia pesan daripada berjalan dengan sang pacar. Kaki panjang Hessa melangkah sedikit lebih cepat, membuat Lia berlari untuk mendahului Hessa membuka pintu kamar.

”Lo langsung tidur kan? Gak ada yang perlu gue bantu?” tanya Lia ketika tubuhnya menahan papan pintu.

Hessa yang baru saja berdiri di ambang pintu menoleh, bergumam pelan dan aneh. ”Lo juga langsung tidur kan?”

Kepala Lia mengangguk cepat. ”Gue pakai kamar Yessa.”

”Lah? Gak di kamar gue?”

Sebelah alis Lia bergerak naik. ”Gila lo?”

”Kita kan udah pernah tidur seranjang,” protes pemuda itu tak terima merubah nada bicara pelannya sejak tadi, ”lagian tidur doang.”

”Lo doang yang tidur, gue spot jantung anjir,” balas Lia tak kalah kesal, ”untuk kebaikan bersama mending kita pisah ruangan aja.”

Hessa menggerakkan bola mata ke arah berlawanan dengan suara mengambil nafas kasar. Mata pemuda itu yang tak sengaja menangkap pisau dengan beberapa buah-buahan pada piring di atas meja kaca dekat sofa kamarnya jadi menoleh kembali lagi pada Lia. Pandangan malas pemuda itu berubah kembali bersemengatan, membuat Lia kebingungan.

Tangan kiri Hessa dengan gerakan spontan maju, mendorong tubuh Lia pelan supaya kehilangan keseimbangan. Setelah terdengar suara pekikan pelan akibat rasa terkejut, suara pintu ditutup dengan keras menyusul hanya selang beberapa detik. Setelah memutar kunci untuk memastikan pintu kamarnya tak bisa dibuka, pemuda itu dengan cepat menarik benda kecil berwarna keperakan itu dan melemparnya asal.

”Hessa!”

Suara Lia membentak keras, benar-benar tak suka. Namun bagi Hessa, itu hanya seperti angin lalu. Pemua itu dengan cepat maju, mengambil pisau kecil dengan ganggang hitam di atas piring untuk ia sodorkan pada Lia.

”Nih, pisau,” kata pemuda itu cepat, ”kalau gue ngapa-ngapain lo, silakan tusuk perut gue.”

”Enggak!” bentak Lia tajam. ”Buka gak pintunya!”

”Ya, ini udah jam satu, kita tidur paling cuman berapa jam, ngapain harus pisah ruangan sih?” tanya Hessa aneh. ”Kita udah pernah tidur seranjang, dan gak terjadi apa-apa, cuman cuddle kan?”

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang