39. A Plan

123 24 3
                                    

Jam di atas papan tulis yang sudah menunjukkan angka 15.49 membuat beberapa siswa mulai memasukkan barang-barangnya kembali ke dalam tas. Lia menguap pelan, masih merasakan sensasi demam tak menyenangkan dengan sisa-sisa tanda kemerahan yang masih dapat diamati pada lehernya. Tidak parah, tabi bekasnya mungkin akan baru hilang satu dua minggu ke depan.

Hessa di belakang bangku gadis itu masih sesekali menarik pelan rambut Lia, membuat kesadaran gadis itu tetap terjaga selama pembelajaran di jam terakhir. Panas dari alergi, rasa lelah di seluruh tubuh Lia akibat hormon menstruasi, dan kepala gadis itu yang berdenyut membuanya jadi menyesal berangkat ke sekolah.

"Bentar lagi," bisik suara serak rendah itu dari belakang, "nanti lo bisa dihukum kalau ketahuan tidur."

Lia tau, itu sebabnya ia tak memprotes pada tangan Hessa yang sejak awal jam Pak Joko terus memainkan rambutnya. Kadang menarik pelan, kadang terasa mengikat rambut tergerai Lia di bagian bawah, dan berbagai kegiatan lain yang Lia duga pemuda itu lakukan untuk membunuh bosan.

"Ngantuk," balas Lia tak kalah berbisik tanpa menoleh, masih merunduk menatap bukunya.

"Nanti tidur di rumah gue aja," usul pemuda itu semakin memajukan tubuh, bergerak ke samping kuping Lia, "Yessa ada ekskul dance, Mama sama Papa lagi gak di rumah, lo bisa pakai kamar gue."

Ujung mata Lia melirik sekilas. "Terus?"

"Cuddle."

Tangan Lia yang semula berada di kolong meja memainkan layar ponsel refleks terangkat, mengenai pipi Hessa agak kasar membuat sang empu spontan mundur dengan rintihan pelan. Sedetik berikutnya, Lia dapat mendengar suara Hessa yang terkikik pelan seolah puas mengerjai Lia yang sejak tadi mencoba menahan kantuk.

"Gue mau pasang foto lo buat Instagram gue, boleh kan?"

Seolah tidak jera, tubuh Hessa kembali mengarah ke depan mendekat pada Lia. Sejujurnya Lia tak begitu mengerti kenapa Hessa selalu bertanya atau meminta izin terhadap hal sepele sejak keduanya menjalin hubungan? Dulu hanya Lia yang peduli pada hal-hal kecil seperti itu, dan kini pemuda itu seolah mengikuti gaya hidupnya.

"Hm."

"Boleh?"

"Iyaaa," balas Lia panjang menoleh pelan, "asal jangan yang candid."

"Padahal lucu yang candid."

Bola mata Lia memutar malas, tubuhnya kembali menghadap fokus pada guru laki-laki di depan sana. Entah sudah berapa ribu foto candid Lia di hp Hessa yang benar-benar tak diizinkan Hessa untuk Lia hapus. Seolah setiap tindakan Lia ada di dalam ponsel pemuda itu, mulai dari Lia yang merunduk mengikat tali sepatu, gadis itu yang merunduk fokus pada buku, atau foto Lia sekedar hanya duduk pun ada.

"Oke, sampai sini saya rasa cukup," kalimat dari arah depan berhasil membuat hampir seluruh murid XI-IPA5 menghela nafas lega, "untuk tugas minggu depan membuat video memainkan alat musik secara individu. Sekian, terima kasih."

Lia hampir menjerit kegirangan ketika tubuh Pak Joko benar-benar menyingkir dari lantai guru yang terpaut satu tingkat dengan lantai untuk bangku siswa. Chacha di depan sudah berdiri, berteriak heboh dengan tubuh seolah melakukan pemanasan.

"Ya," panggil Hessa pelan, "gue anterin pulang atau udah di jemput?"

"Udah dijemput," balas Lia pelan, "lo gak mau main sama yang lain dulu?"

"Pada mau pulang sih." Hessa memandang gerombolan di masing-masing sisi tubuhnya yang sudah berkemas pulang. "Paling gue mau ikut Juna sama Yoga lihat latihan Band atau gak lihat Hadi, Rendra, sama Haikal paduan suara."

"Basket libur lagi?"

Kepala Hessa mengangguk. "Baru mulai latihan Rabu, semalem udah latihan di luar, kasian yang laun kalau diforsir banget."

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang