06. Standar

126 24 6
                                    

”Mina cantik banget ya.”

Hessa bergumam singkat, menoleh pada sosok Lia yang sudah lebih dulu masuk ke kamar. Pemuda itu menutup pintu pelan, melemparkan tas hitamnya ke sofa putih yang berada di sisi tembok kiri, berseberangan dengan ranjang tidur di bagian kanan.

”Cantikan lo," komentar pemuda itu santai, merebahkan diri ke atas sofa untuk meluruskan kakinya yang terasa pegal, ”kenapa tiba-tiba bahas Mina?”

”Lo pernah deket kan sama dia?”

Lia yang tengah mengambil baju dan celana panjang di lemarinya membalikkan badan, memandang Hessa yang kini hanya merespons dengan gumamam pelan sembari menutup mata. Pemuda itu meletakkan lengannya di atas mata, menghalau cahaya sore dari jendela kamar Lia agar tak menusuk indra penglihatannya.

”Anaknya fast respons,” lanjut Hessa menjelaskan, ”nurut juga, gak banyak mau, selalu iya aja. Makannya sering banget digoblokin Jeiden, disuruh jadi nyamuk, disuruh jomblangin sama temen kelasnya.”

Tidak heran memang, Jeiden selain kaya juga playboy kelas kakap yang punya kemampuan khusus buat menarik orang lain karena wajah tampannya. Tapi daripada itu, kenapa Lia merasa Mina bukan orang yang terlalu peduli pada kekayaan dan penampilan. Gadis itu lebih pada... penurut yang memang tak punya keberanian sama sekali untuk menolak orang lain.

”Dia kayak gak sadar dia cantik,” gumam Lia mencicit kecil.

”Dia di kelas IPS2, Ya,” balas Hessa membuka sebelah mata, ”isinya bidadari semua, wajar lah dia gak merasa ada apa-apanya dibanding temennya yang lain. Kalau Katharina kan di kelas kutu buku, saingan dia jauh-jauh paling cuman si Yessa, Arina di kelas yang ceweknya minim banget, makannya keliatan lebih unggul daripada yang lain. Lagian ngapain deh bahas Mina?”

”Mantan cem-ceman lo kan itu,” sahut Lia ringan. ”Gue apa lo dulu yang mandi?”

Hessa berdecak tak terima. ”Tadi lo juga bareng Nathan, mantan penyuka lo. Bahas apa aja tadi?”

Lia tertawa kecil mengingat ia dan Nathan memang pernah menjalin kedekatan di semester pertama, dengan Hessa yang selalu merusuh di tengah-tengah mereka. Harusnya sekarang mereka canggung, tapi setelah melewati masa liburan, sikap keduanya jadi benar-benar biasa saja seolah tak pernah ada yang terjadi sebelumnya.

”Cuman tanya kenapa dia sendiri yang turun tangan dari OSIS, terus katanya Tiara lagi gak bisa, jadi dia yang ngurus persiapan kompetensi basket bulan depan.”

Kepala Hessa bergerak pelan mengangguk paham. Pemuda yang baru saja menyelesaikan latihan basket pertamanya setelah masuk semester dua selama satu setengah jam tanpa henti itu mengangkat tubuhnya duduk. Memandang pada Lia yang sudah melepaskan baju seragam menyisakan kaos berlengan pendek berwarna putih yang menjadi dalaman gadis itu dan rok seragam selutut berwarna biru tua.

”Sini, peluk dulu!”

”Mandi dulu,” kata Lia dengan dagu terangkat, ”lo bau keringet.”

”Peluk dulu habis itu gue mandi.”

”Ya udah gak usah mandi,” timpal gadis itu enteng, ”biar gue aja yang mandi.”

Suara decakan Hessa terdengar semakin keras, dengan wajah tampan pemuda itu yang sudah mengerut kesal. Kakinya dihentakkan tak santai dua kali sebelum akhirnya secara tak santai merebahkan diri sendiri. Tubuh pemuda itu yang semula telentang jadi menyerong, menghadang ke bagian punggung sofa.

”Apa sih kayak anak kecil.”

Lia tak dapat menahan cibiran yang selalu ia sematkan pada Hessa. Akan terasa menjijikan jika orang lain yang melihat tubuh besar Hessa dengan sikap suka merengek seperti saat ini, menggerutu dengan kaki meronta dan wajah merenggut. Hilang ke mana sosok Cassanova setiap kali pemuda itu ada di hadapan Lia?

Begitu kaki Lia mengambil langkah melewati tubuh Hessa menuju kamar mandi, tangan besar pemuda itu lebih dulu maju, menyambar pergelangan tangan kiri Lia. Suara memekik tinggi akibat rasa terkejut terdengar tertahan, dengan ekspresi wajah Lia yang sudah melotot.

”Nah gini dong,” kata Hessa bangga, ”susah banget sih lo dimintain peluk.”

Kaki Lia yang seharunya jatuh membentur lantai entah bagaimana justru disahut oleh kaki Hessa supaya terangkat ke sofa di saat tubuhnya sudah lebih dulu ambruk. Bukan keras lantai, bukan juga empuknya sofa, yang gadis itu rasakan justru kulit hangat dengan aroma mint menguar. Tangan Hessa sudah melingkar di belakang punggungnya, membuat Lia semakin sadar jika posisinya sekarang tepat berada atas di tubuh Hessa.

”Sa, lepas,” minta gadis itu meronta setelah nyawanya terkumpul, ”gue berat.”

”Enggak, lo enteng banget,” ujar pemuda itu dengan suara berat, ”gini aja bentar, gue capek banget.”

Wajah Lia yang menghadap samping membuat kupingnya tepat berhadapan dengan dada Hessa, mendengar detak jantung pemuda itu yang terasa lebih cepat. ”Lepas gak? Entar lo sesek.”

Tangan kanan Lia yang masih memegangi pakaian ganti membuat gadis itu kesusahan melepaskan diri. Secara terpaksa, ia harus menjatuhkan bajunya yang baru saja diambil dari lemari ke lantai, mengosongkan tangan supaya dapat bergerak dengan bebas melepaskan diri.

”Hessa nanti lo susah nafas,” kata gadis itu lagi berusaha membujuk.

Tangan Lia masih berusaha menahan tubuhnya sendiri supaya dapat memberikan jarak di antara mereka, berusaha membuat rengkuhan di punggung belakangnya merenggang. Tapi bukannya seperti yang gadis itu harapkan, sebelah tangan Hessa justru naik ke bagian belakang kepalanya, menekan kepala Lia supaya tak banyak mendongak.

”Gak bakal sesek nafas,” ujar pemuda itu dengan suara yang semakin terdengar pelan dan berat, ”gue malah ngerasa sesek kalau gak ada lo.”

Tubuh Lia perlahan menyerah, menerima tangan Hessa yang memberikan tepukan-tepukan ringan pada punggung sembari mengelus kepalanya seolah Lia bayi yang ingin ditidurkan. Kedua tangan Gadis itu yang semula bergerak menahan berat tubuhnya sendiri melepas, jatuh ke masing-masing sisi bahu Hessa.

Gadis itu perlahan menggerakkan kepalanya, mencari posisi ternyaman supaya dapat merasakan detak jantung Hessa. Matanya fokus menangkap ranjang kasur besar yang diterpa langsung oleh cahaya jingga sore hari. Terasa menenangkan, seperti ketika ia menonton film dengan lampu redup atau membaca novel ditemani oleh suara musik.

”Sa,” panggil gadis itu pelan yang hanya mendapat respons gumamam, ”kalau ada Kak Leny.”

”Gak papa, palingan gue diusir doang.”

Lia terkekeh kecil, mengangkat wajah membuat dagunya kini yang menempel di dada Hessa. Mata tajam pemuda itu masih terpejam, memperlihatkan bulu mata yang lumayan panjang melengkung indah. Garis hidungnya agak bengkok, tapi benar-benar tinggi dan indah, dan tidak lupa pada bibir dengan kesan penuh dan garis wajah khas pangeran.

”Kalau jadi cewek lo tuh harus cantik ya, Sa?” tanya Lia tiba-tiba membuat kelopak mata Hessa terbuka, menunjukkan mata sipit dengan pupil besar miliknya. ”Harus secantik Katharina, Arina, sama Mina kan?” lanjutnya menyebutkan tiga ratu visual di SMA Garuda dari angkatan kelas XI.

”Enggak.” Hessa menggeleng cepat, elusannya pada kepala belakang Lia terhenti untuk beberapa saat. ”Kalau mau jadi cewek gue harus secantik, sepinter, dan se-attractive lo. Yang pasti, yang bisa jadi cewek gue cuman Elia Neiva Palmyra doang.”

Suara tawa Lia terdengar mengalun pelan walaupun sebenarnya tidak ada yang terdengar lucu. Gadis itu perlahan bergerak naik, mengangkat tangannya agar dapat menyugar rambut panjang Hessa ke belakang supaya dapay memperlihatkan jelas wajah tampan pemuda itu.

”Mau gue potongin rambut lo gak?”

”Boleh.”

Lia tampak termenung untuk beberapa saat. ”Tapi kayaknya udah bisa dikepang deh, nanti gue kepang dulu ya sebelum dipotong.”

”Boleh Lia boleh, silakan, semua punya gue itu punya lo.”

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang