16. Cute Relationship?

166 27 4
                                    

Hessa melenguh pelan, mengerjapkan mata perlahan menyesuaikan indra penglihatannya dengan cahaya dari lampu di atas sana. Begitu seluruh retinanya dapat menangkap gambar, pemuda itu jadi refleks tersenyum pada sosok gadis yang kini juga menghadapnya walaupun dengan pandangan dingin.

”Minggir!” sambut Lia cepat galak. ”Pakai baju lo, bentar lagi Kakak gue pulang!”

Tangan besar pemuda itu yang masih melingkar di area perut Lia baru terlepas, sedikit kebas karena mengunci pergerakkan gadis itu sepenuhnya agar tak ke mana-mana selama ia tidur. AC yang sengaja di matikan sangat tidak mendukung tubuhnya yang sudah lengket oleh keringat, membuat pemuda itu mau tak mau bertelanjang dada, melepaskan kaosnya saja sebelum merangkak ke kasur daripada harus mandi lebih dulu.

”Jam berapa?” tanya Hessa tanpa dosa, mengenakan kaosnya kembali sembari menoleh pada Lia yang tampak kesulitan untuk bangun.

Pemuda itu dengan cepat kembali mendekat, menyanngga punggung dan lengan atas Lia di sisi lain yang masih tersembunyi di balik selimut untuk duduk walaupun tatapan nyalang gadis itu masih belum berubah. Suara desisan terdengar panjang, dengan Lia yang memegangi bagian belakang punggungnya yang terasa pegal karena terlalu banyak tidur.

”Sini, gue pijitin.”

”Enggak!”

Lia menyahut galak, menepis tangan besar Hessa yang sejujurnya jadi penyebab utama ia tak bisa bangun sejak tadi. Bagaimana bisa ada orang tidur dengan urat-urat tangan yang masih terlihat jelas seolah sekuat tenaga menahan mengunci pinggangnya? Padahal posisi mereka juga masih berjarak. Dengan Lia tidur di bawah selimut, dan Hessa yang mengambil tempat tanpa membuka kain tebal itu. Lia bahkan hanya bisa berkutik ke kanan dan ke kiri selama beberapa jam tadi.

”Butuh sesuatu gak, Ya?” tanya Hessa masih berusaha.

Tangan Lia yang semula menampik pemuda itu kini meraih ponsel, memeriksa notifikasi yang mungkin ia lewatkan. ”Pulang sana! Udah jam tujuh.”

”Bentar, nunggu Kakak lo pulang aja.”

Tangan Hessa kembali ingin maju, membenarkan letak selimut Lia untuk menutupi bagian bahu gadis itu yang terekspos. Namun lagi-lagi tangannya ditepis kasar, dengan mata Lia yang melotot memperingati.

”Lo kalau gak mau mandi jangan deket-deket gue! Bau rokok, bikin mual!”

”Serius?” Hessa tak percaya sama sekali, menciumi baunya sendiri. ”Enggak ada bau rokok.”

”Hidung gue lagi sensitif, bau samar aja bisa bikin mual!”

”Kenapa jadi kayak hamil deh?”

Kaki Lia tak tahan lagi untuk tak maju, ingin menendang Hessa yang dengan gesit menghindar. ”Lo mending cepet pulang deh anjir! Risi gue liat muka lo di sini!”

”Lo sakit apa?”

”Masuk angin, ketambahan hormon mau mens.”

”Udah itu aja?”

”Iyaaa,” jawab Lia malas.

”Gak hamil kan?”

”Bangsat!” umpat Lia emosi, kembali membuat gadis itu merintih karena kepalanya berdenyut. ”Sa, serius deh, mending lo pulang, beneran. Gue lagi gak punya energy lebih buat interaksi sama lo.”

”Ya udah kita diem-dieman aja sampai Kakak lo dateng,” putus Hessa kukuh, ”biar gue mandi dulu.”

Tubuh Hessa segera menghilang setelah pemuda itu mengambil kaosnya yang sempat ditinggal di sini dan sebuah handuk. Lia menggeleng kecil, mencoba meredakan rasa pusing yang masih juga belum reda sejak kemarin malam. Gadis itu bergerak sedikit saja rasanya berdenyut, seperti baru saja ditusuk-tusuk jarum.

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang