35. Their Love

146 25 9
                                    

”Yakin mau ikut?”

Hessa bertanya lagi, memastikan. Malam ini pemuda itu ingin berkumpul dengan beberapa anak kelas seperti malam-malam weekend biasanya. Sejak pindah ke sini, Lia awalnya benar-benar tak sudi harus menempuh berjalanan sejauh itu hanya untuk menuju tempat nongkrong anak IPA5 di daerah dekat Jakarta Utara tempat apartemen Jeiden berada.

Namun malam ini, gadis itu mengangguk yakin. Dengan baju crop biru rajut dengan celana jogger abu-abu. Hessa mengenakan kemeja hitam dengan kancing terbuka dan dalaman kaos putih serta celana jeans panjang. Lengan kemeja pemuda itu dilipat, menunjukkan pergelangan tangannya yang dipenuhi gelang hitam di bagian kiri.

”Gue gak masalah lho kalau harus weekend di sini aja, serius.”

Lia menggeleng, memoleskan sedikit lipstik di bibirnya. ”Gue mau ikut. Chacha sama Arina juga lagi pada ikut. Gue pakai ini gak papa kan?” tanya gadis itu menunjukkan penampilannya.

Mata Hessa yang sejak awal sudah fokus pada tubuh Lia dibuat jadi mengernyit. ”Emang selama ini gue pernah ngelarang lo paka baju model gimana pun? Tapi serius deh, style lo dulu kan gak jauh-jauh dari hoodie, kenapa sekarang suka banget pakai baju kekurangan bahan gitu?”

”Lucu, Sa.”

”Alesan lo gak masuk akal, Ya.”

Bibir Lia meringis, matanya menyipit membentuk bulan sabit membuat Hessa jadi ikut menarik kedua sudut bibirnya gemas sendiri. Gadis itu malam ini mencepol tinggi rambutnya, dengan kaca mata bulat yang semakin membuat wajah Lia semakin lucu. Pergelangan tangan kanan Lia maju, menunjukkan gelang hitam dengan bandulan boneka beruang kecil berwarna emas di sana.

”Biar semua orang tau kalau gue pakai gelang ini.”

Sebelah alis tebal Hessa terangkat, tapi berikutnya jadi tersadar sepenuhnya. Sejak keduanya menggunakan gelang itu, Lia jadi jarang sekali mengenakan almamater panjang GHS. Gadis itu kerap kali hanya tampil dengan seragam pendek, padahal sebelumnya Lia tampak selalu menutup seragam pendeknya dengan almamater supaya terlihat lebih rapi.

”Lucu kan?” tanya Lia lagi. ”Belum pernah gue lepas, seperti yang lo minta.”

”Kenapa?” balas Hessa pelan. ”Lo gak harus gunain apa yang bikin lo gak nyaman cuman buat gelang itu.”

Mata bulat Lia yang semula membentuk bulan sabit jadi mengerjap pelan. ”Gue nyaman.”

”Lo dulu paling risih kalau kulit lo kena angin luar,” kekeh Hessa memutar otaknya sendiri merasa lucu, ”apalagi lo kan paling anti sama angin malam.”

Hessa yang semula duduk tenang di sofa kamar Lia jadi bangkit, mendekat ke arah gadis itu yang masih berdiri di depan meja belajarnya sembari berkaca. Selama seminggu ini, pemuda itu rasanya benar-benar ringan karena perasaannya selama ini seolah mendapatkan validasi. Ia tau Lia benar-benar cinta padanya, bukan hanya sekedar memanfaatkan kehadirannya untuk mempertahankan kehidupan nyaman gadis itu.

”Gue sebenernya mau ngasih ini waktu ulang tahun gue, tapi kayaknya harus dikasih di sini deh,” kata pemuda itu setelah berhasil berdiri di hadapan Lia, merogoh kantong jeans belakangnya untuk mengeluarkan sesuatu, ”bukan gue yang beli sih, jadi belum di bungkus.”

Ada sebuah sepasang cincin di plastik kecil yang pemuda itu sodorkan pada Lia. Dengan kesan elegant, keduanya berwarna merah dengan motif polos dan satu gambar kecil pada pertanda bagian atas, yang lebih kecil dengan simbol bulan, dan yang lebih besar dengan simbol matahari. Benda itu terasa tidak asing.

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang