18. Para Laki-Laki XI-IPA5

133 28 0
                                    

”Lo serius gak papa?”

Entah sudah keberapa kalinya pertanyaan itu terdengar dari bibir Hessa. Dari pertama pemuda itu memasuki kelas dan sudah mendapati Lia yang duduk tenang mendengarkan cerita Chacha di bangkunya, sampai kini mengantar gadis itu ke halaman SMA Garuda. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, pemuda itu juga tak henti-hentinya menanyakan keadaan Lia, menyarankan agar gadis itu ke UKS saja. Bahkan di jam istirahat, Hessa melarang Lia datang ke kantin dan membelikan gadis itu beberapa bungkus roti untuk di bawa ke dalam kelas.

”Gak papa, Sa,” gumam Lia pelan, mengambil langkah lebih dulu karena Hessa lebih memilih berdiri di belakang tubuhnya, ”udah sehat.”

”Istirahat di rumah gue dulu aja gimana?” kata pemuda itu kembali menyarankan jalan keluar. ”Nanti malem biar gue anterin pulang pakai mobil.”

”Gak usah,” kukuh gadis itu tetap pada pendiriannya, ”gue pulang, lo have fun.”

Tubuh Hessa lebih dulu menyelak, membukakan pintu belakang dari mobil sedan hitam yang sudah ada di bagian halaman sekolah. Pemuda itu membiarkan Lia masuk ke pintu penumpang sebelum menaruh tas biru gadis itu yang ada di tengannya ke kursi di sebelah tubuh Lia.

”Beneran gak perlu gue temenin pulang?”

Lia menggeleng kecil. ”Lo mau main voly kan sama anak kelas? Kasian nanti anggotanya kurang satu.”

”Nanti habis main voly gue nyusul.”

”Kalau capek langsung pulang aja gak papa.”

”Lebih capek lihat lo diseret ke sana ke sini sama Chacha hari ini deh, Ya,” jawab gadis itu masih menahan pintu mobil untuk memberikannya akses dengan Lia, ”mau nitip apa nanti?”

Lia terkekeh kecil, mengingat hari ini Hessa yang terus saja mengekor mencoba menahan lengannya agar duduk tenang di bangku daripada beraktivitas. Pemuda itu beberapa kali mendapat sentakan dan tepukan keras dari Chacha, Arina, serta Chaerra karena dirasa menganggu kegiatan anak-anak cewek.

”Gak usah bawa apa-apa, gue bisa beli sendiri.”

”Yogurt mau?” tawar Hessa masih belum menyerah. ”Cokelat?”

”Boleh deh,” kata Lia pada akhirnya sudah kehilangan tenaga untuk berdebat, ”sama kalau bisa sekalian minta tolong bawain Kiranti dong, Sa. Boleh?”

Hessa mengangguk cepat. ”Jeruk kan ya?”

Lia menurunkan kepalanya dua kali perlahan. ”Ya udah gue pulung dulu.”

”Hati-hati ya Pak kalau bawa mobil,” kata Hessa dengan suara agak keras, ”yang belakang kepalanya masih muter-muter soalnya,” lanjut pemuda itu menutup pintu, melambai pada Lia yang masih tersenyum tipis.

Setelah memastikan mobil yang ditumpangi Lia hilang dari pandangannya, Hessa kembali memasuki area gedung SMA Garuda yang masih ramai. Pemuda itu segera menuju kembali ke kelasnya dengan seluruh anggota anak laki-laki yang masih lengkap karena semalam memang sudah setuju untuk bermain voly bersama.

”Gini aja gini aja, kita hom pim pa terus yang menang sama yang menang, yang kalah sama yang kalah,” kata Yuda menengahi keributan yang sudah terjadi sejak tadi pagi.

”Gue mau sama Nathan anjir.” Soni lebih dulu ngotot dengan urat leher terlihat. ”Gue pokoknya ikut tim Nathan!”

”Soni bisa dituker aja gak sih sama anak IPS1?” Jeiden yang sudah lebih dulu kesal hampir menendang cowok baby face itu jengkel. ”Pengen banget gue buang dari nih kelas.”

”Lo yang masuk IPA gara-gara keluarga lo donatur gak usah belagak! Harusnya lo yang dibuang dari kelas ini!” balas Soni tak kalah jengkel.

William, Hadi, Juna, Yoga, dan Xafier tampak santai duduk lesehan di belakang, bermain game online bersama. Nathan di tempat duduknya hanya menggulir layar ponsel tak terlalu peduli, menunggu keputusan akhir. Sedangkan Soni, Rendra, Yuda, Jeiden, dan Haikal sudah jadi yang paling rusuh, menentukan tim.

”Kenapa gak cap cip cup aja sih,” tanya Hessa heran bergabung, mengambil tempat duduk di meja Nathan, ”nih gue hitung ya.”

”Nathan lo mau setim sama siapa?” Suara Soni lebih dulu terdengar sebelum suara Hessa mulai menghitung.

”Terserah.”

”Tuh, dia jawab mau sama gue.”

”Apa sih, Sat?” Rendra segera tak terima. ”Bener pakek sistem arisan aja deh. Buku mana buku?”

Setelah berhasil mendapatkan lembaran buku yang disobek menjadi 12 bagian dengan 6 bertuliskan 1 dan enam lainnya bertuliskan 6, Rendra segera membagikan kertas itu. Suara Soni menggelegar puas begitu dirinya berhasil memperoleh angka 2 bersama Nathan, Hessa, Xafier, Hadi, dan Yuda. Di tim satu sendiri sudah ada William, Rendra, Haikal, Jeiden, Juna, dan Yoga.

”Menang sih ini kita,” ujar Soni bangga, menepuk-nepuk dadanya sombong pada Rendra.

”Nat lo nanti harus kalah,” ancam Haikal tajam, ”gue sama Rendra harus menang.”

Nathan bergumam tak peduli, membuat lengannya mendapat tepukan keras dari Soni. ”Apa sih anjir? Dari tadi ngoceh muluk gak jelas,” umpat pemuda itu pada akhirnya membuat tawa Hessa dan Jeiden meledak.

”Nathan semalem gak tidur, dia di lapangan pasti jadi beban,” kata Jeiden dengan senyum merekah, ”udah deh Son, kalah-kalah tim lo.”

Tangan Soni giliran mendarat di lengan atas Hessa yang duduk di meja Nathan, membuat pemuda itu merintih dengan umpatan kecil. ”Kayak menang dapet piala aja sih lo,” cibir pemuda itu kesal pada Soni.

”Jeiden kalau lo biarin menang songong.”

”Emang hidupnya dia udah songong,” balas Hessa galak, ”apalagi setim sama Haikal, tambah songong.”

”Yang menang nanti dapet cewek gue satu,” ujar Jeiden enteng bangkit dari kursi, ”yang kalah jadi babu yang menang seminggu.”

”Ayok pulang, biarin Jeiden main sendiri,” ajak William yang berada di satu tim dengan cowok itu, ”ngide banget sih main ginian.”

Hadi mengangguk setuju. ”Mending tanding ML gak capek.”

”Udah-udah ayok main, keburu sore.”

Yuda menginstruksi lebih dulu untuk keluar dari kelas membuat tubuh yang lain ikut menyusul. Jeiden lebih dulu berjalan, dengan Soni, Rendra, Xafier, dan Haikal di belakangnya. Berikutnya ada Hadi, Yuda, Juna, William, dan Juna, dan baru disusul oleh Nathan dan Hessa.

”Jeiden masih belum puas aja deketin anak IPS2,” kritik Hessa pelan begitu matanya menangkap Jeiden menghentikan Hana dan Mina di depan IPA5.

Nathan yang masih mengawasi layar ponsel jadi ikut mendongak, menghentikan langkah tiba-tiba membuat Hessa di sampingnya ikut berhenti. Keduanya saling bertatapan bingung, sebelum tubuh Nathan dengan heboh mundur kembali dari ambang pintu membuat tubuh Hessa ikut tersorok jatuh karena kehilangan keseimbangan.

”Bangsat! Lo ngapain sih anjir!”

Rintihan terdengar pelan setelah suara benturan antara tubuh Nathan dan Hessa dengan lantai terdengar keras. Diiringi sumpah serapah dari Hessa, keduanya berusaha kembali duduk memegangi pundak yang tepat mendarat di lantai.

Damn, temen lo ngapain sih hah?” bentak Nathan berubah tak santai, menatap nyalang pada Hessa.

”Lah? Lo kayak gak tau tingkahnya Jeiden aja.”

”Dia ngapain nyegat orang kayak malak gitu?”

”Ya lo ngapain kaget?” tanya Hessa balik nyolot. ”Kebanyakan berkas sih Nat otak lo. Renang sana, sekalian cuci otak.”

Tubuh Hessa yang sudah akan kembali keluar dengan cepat di tarik oleh Nathan, membuat tubuh tinggi pemuda itu kembali tersorok ke belakang secara lebih pelan. Pemuda itu sudah kembali mengumpat, tapi mau tak mau harus tetap duduk tenang mengintip bersama Nathan, menunggu Jeiden dengan dua cewek dari kelas XI-IPS2 itu turun lebih dulu.

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang