11. Twins Bracelet

125 23 2
                                    

Pukul 14.45, itu adalah jam terakhir di mana seharusnya seluruh siswa berdiam diri di dalam kelas menikmati proses belajar mengajar terakhir sebelum bel pulang berbunyi. Namun apa daya, jadwal baru di semester dua ini membuat hari Kamis XI-IPA5 jadi sedikit menyiksa karena di jam terakhir mereka justru harus mengganti pakaian dari seragam formal ke seragam olahraga.

”Yang ngajar Pak Teo kan?”

Chaerra bertanya semangat, melipat bagian kiri celananya supaya sedikit naik dan membiarkan yang kanan tetap menutupi area mata kakinya. Gadis itu juga bergerak mengikat tinggi rambutnya yang sekarang sudah lurus panjang dengan warna kecokelatan. Lengan pendek seragam olahraganya sedikit dinaikkan ke atas, membuat gaya gadis itu khas preman jalanan.

”Gue harap SMA Garuda gak dapet guru olahraga baru deh,” gumam Chacha menanggapi, ikut-ikutan mengikat rambut hitam legam bergelombangnya tinggi.

Pak Teo adalah Wali Kelas mereka yang kebetulan saat ini mengisi mata pelajaran Pendidikan Jasmani karena guru sebelumnya baru saja pensiun. Laki-laki awal tiga puluhan itu punya postur tubuh tegap dan wajah tampan khas karakter fiksi, idaman semua perempuan, termasuk seluruh perempuan di dalam XI-IPA5.

”Cara jadi istrinya Pak Teo tuh gimana ya?” gumam Chacha pelan, duduk di kursi ruang ganti khusus perempuan kelas XI yang ada di sisi perpustakaan. ”Gue kalau tiba-tiba dijodohin sama orangnya, pasrah deh gue, menerima takdir dengan suka rela.”

”Pak Teo-nya yang gak pasrah.” Senya ikut mengambil tempat di sisi Chacha. ”Nangis darah Pak Teo kalau beneran nikah sama lo.”

”Lo gak pernah baca novel ya? Apa gak pernah nonton film?” tanya gadis Chinese dengan kulit seputih susu itu jadi ngegas. ”Eh, sekarang ini lagi trend guru nikah sama muridnya. Nolep banget sih lo, dasar manusia goa.”

Umpatan Senya terdengar dengan gadis mungil itu siap mengejar Chacha yang sudah berlari lebih dulu berlindung di balik tubuh tinggi Chaerra. Lia menggeleng kecil mendengar suara Arina ikut berteriak kencang karena Chacha yang kini sudah merusuh pada gadis itu, menganggu karena Arina belum juga selesai mengganti baju.

Setelah melipat seragam dengan rok dan almamater berwarna cokelat muda, Lia membuka loker yang sudah diberi nomor untuk tanda kepemilikan di sudut ruangan. Kebetulan miliknya berada di bagian paling pojok, di tempat paling ujung. Biasanya, kotak itu akan selalu kosong jika bukan karena lipatan seragam di jam pelajaran Olahraga, tapi di siang menjelang sore ini agak berbeda.

Ada sebuah kotak hitam dengan peta merah berukuran kecil. Selama satu setengah tahun di SMA Garuda, belum pernah gadis itu menerima hadiah atau kotak rahasia di lokernya. Lia hampir berpikir negatif dan memilih membuang kotak itu kalau matanya tak segera menangkap note kecil berwarna putih di sisi lain lokernya.

Untuk satu-satunya cewek Hessa yang paling cantik dan lucu sedunia.

Lia hampir saja terbahak, menggeleng kecil pada ide pemuda itu yang selalu di luar perkiraannya. Mereka berangkat bersama, ada di kelas yang sama seharian, dan kenapa harus menaruh kado di sini daripada memberikannya langsung?

Gadis itu dengan wajah menahan senyum membuka bagian atas kotak, membuat sebuah objek lingakaran dengan warna hitam dengan sebuah boneka beruang kecil berwarna emas yang tergantung di sana. Tangan Lia mengambil cepat benda itu begitu ekor matanya menangkap sosok Chacha mendekat, mengantongi gelang itu sebelum ditarik Chacha untuk keluar dari ruang ganti.

”Pak Teo Pak Teo, aku padamu,” nyanyi Chacha riang, melompat-lompat kecil layaknya kelinci, ”mari kita menikah hey hey, membangun keluarga cemara,” nyanyi gadis itu dengan nada tidak jelas.

”Keluarga cemara di gunung ya, Cha, berarti?” tanya Arina lugu. ”Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali, kiri kanan, kulihat saja, banyak pohon cemara,” lanjutnya jadi menyanyikan lagu anak-anak.

Chaerra dan Senya di barisan paling depan sudah sibuk terbahak receh dengan Arina dan Chacha di barisan tengah yang sudah saling dorong. Lia mengatupkan bibi sempurna, diam-diam mencoba memasang gelang hitam itu ke tangan kanannya.

”Mau dibantu, Ya?”

Lia tersentak, menoleh dengan mata melotot. ”Oh, boleh,” kata gadis itu jadi tersenyum, mengarahkan tangannya pada Eli.

Eli dengan wajah polosnya menarik kedua sisi kerutan gelang, menyesuaikan lingkaran benda itu pada pergelangan tangan Lia. Gadis itu juga mengikat tali gelas supaya tak mudah lepas, membuat senyum Lia makin mengembang ketika mengucapkan terima kasih.

”Lia, menurut lo berapa presentase dan peluang gue bisa bareng sama Pak  Teo?”

Chacha berbalik, bertanya rusuh begitu mereka sudah dekat dengan lapangan belakang untuk materi basket kali ini. Lia tak berniat menjawab sama sekali pada awalnya, sayang matanya segera jatuh pada sosok Pak Teo yang sudah memimpin para anak cowok agar melakukan pemanasan lebih dulu.

”Kayak bilangan asli yang dikali atau gak dibagi sama 0 sih, Cha,” gumam Lia pelan.

”Hasilnya kalau gak 0 peluang berarti ya gak ada peluangnya sama sekali,” lanjut Chaerra dengan wajah menganga kagum.

”Tuhan pasti lagi mood banget waktu nyiptain Pak Teo, sempurna banget,” susul Senya tercengang sendiri.

Chacha berdecak tak santai, mendorong punggung Chaerra dan Senya di hadapannya. ”Suami gue itu, awas lo semua menel,” ancam gadis itu galak namun juga lucu sebelum melangkah cepat ke arah lapangan disusul oleh yang lain.

Chaerra dengan langkah lebih lebar segera berlari, menghadang tubuh Chacha yang ingin mengambil barisan terdepan. Keduanya sampai saling dorong rusuh membuat Pak Teo di depan sana menghela nafas, mendekat berusaha mengatur barisan dengan baik.

”Gelang kamu bagus, Ya.”

Komentar Pak Teo ketika menata barisa untuk Lia dan Chacha di barisan depan, disusul oleh Senya dan Arina, dan di bagian paling belakang ada Chaerra dan Eli. Suara deheman keras terdengar dari dua sisi, Chacha yang ada tepat di sebelah Lia sembari mendongakkan kepala menunjukkan kalung baru yang seminggu lalu ia beli, dan Hessa di bagian barisan cowok yang tengah mengangkat lengan tinggi seolah melakukan peregangan.

”Kalung kamu juga bagus, Cha,” komentar Pak Teo lagi membuat wajah Chacha langsung merekah.

Begitu langkah kaki Pak Teo menuju barisan cowok, Hessa yang mengambil bagian paling ujung terdepan memajukan tangannya. Memperlihatkan gelang dengan tampilan serupa dengan milik Lia songong dan ekspresi berharap. Jeiden di sisi cowok itu sekilas melirik, berlagak meludah risih membuat Hessa refleks mendorong pemuda itu.

”Lepas gelang kamu, kayak banci!”

Kalimat sarkas dari Pak Teo membuat suara tawa tertahan banyak terdengar dari berbagai sisi. Ekspresi wajah berharap Hessa menurun, berubah jadi ekspresi kesal dengan bibir agar maju. Pemuda itu jadi menurunkan tangan, menyembunyikan lengan kirinya di belakang punggung mencibir pada Pak Teo.

”Pilih kasih banget, Pak,” balas pemuda itu sinis, ”sekarang ini jamannya emansipasi laki-laki, fashion itu hak semua gender.”

”Gitu?”

Hessa mengangguk. ”Bapak nih jarang buka Twitter kayaknya.”

”Daripada kamu ceramah mending pimpin senam deh, sini maju sama Jeiden!”

”Lho? Kok saya?” protes Jeiden. ”Saya diem lho, Pak. Soni aja Pak Soni.”

”Lho kok gue!” Pemuda berwajah baby face di belakang Hessa ikut memprotes tak terima. ”Saya dari tadi anteng, Pak.”

”Ya udah bertiga, kan geng.”

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang