04. Welcome to XI-IPA5 in Semester II from Chaerra Karinda

148 21 0
                                    

Liburan dua minggu yang masih dipotong dengan acara wisata edukasi selama 4 hari membuat hari-hari tenang menyenangkan dari Chaerra Karinda harus berakhir. Gadis dengan rambut lurus mencapai dada itu harus rela pagi sejuknya diganti dengan pagi penuh suara rusuh dan berbagai polusi udara selama di perjalanan menuju Garuda High School. Ayah di kursi kemudi tampak beberapa kali melirik ke arah Chaerra yang duduk malas, lalu melontarkan senyum kecil.

”Gak ada yang ketinggalan, Kak?” tanya laki-laki setengah baya dengan keriput-keriput mulai terlihat pada bagian ujung mata itu tenang.

Chaerra menggeleng, melepas self beatnya sebelum memajukan tubuh untuk menggapai pipi sang ayah. ”Kakak berangkat,” pamit gadis itu segera turun dari mobil.

”Semangat hari ini, nanti kalau sempet biar Ayah jemput.”

”Siap.”

Berusaha mengembangkan senyum dari bibir, tangan Chaerra ikut terangkat bersikap hormat. Gadis itu masih setia melambai pada kepergian sang ayah di jalan yang bersimpangan tepat dengan pintu masuk utama. Terdapat ukiran berwarna emas besar bertuliskan Garuda High School dilengkapi simbol burung Garuda di sisi sebelah kiri.

Nafas berat tanpa sadar menjadi hal pertama yang gadis 165 cm itu lakukan sebagai pembukaan. Puluhan siswa siswi Garuda tampak memasuki gerbang dengan suara motor yang mulai meraung-raung menuju parkiran untuk siswa di bagian belakang. Gadis itu menguatkan tangannya pada tali tas sebelum mulai malangkahkan kaki, menghadapi hari dengan kebisingan yang akan jadi titik utama.

”CHAERRA!”

Suara melengking tinggi itu berhasil memancing perhatian beberapa orang termasuk si pemilik nama. Dua pemuda dengan wajah babyface dari kelas yang sama dengannya itu berlari dari kejauhan, mengabaikan tatapan dari beberapa orang yang kini mulai tidak acuh lagi. Pemuda yang sedikit lebih rendah dengan wajah lugu dan bulu mata lentik lebih dulu menerjang tubuh Chaerra, merangkul lengan mungil gadis itu dengan tangan besarnya.

”Gue gak mau lagi dijemput sama Soni! Masak motornya mogok di tengah jalan,” adunya dengan rengekan kecil.

Pemuda dengan tubuh lebih tinggi tak mau kalah, mengambil tangan mungil Chaerra yang lain untuk ia gandeng. ”Anjir, gue lupa kalau hari ini masuk. Motornya belum sempet gue servis sama ganti oli lho, Caer, nih anak udah ngerecokin minta jemput.”

Chaerra memutar bola mata malas, memandang bergantian pada Soni dan Xafier yang sudah kembali ribut menyalahkan satu sama lain. ”Lo kenapa jadi manja banget sih, Fir? Padahal ada motor sendiri,” cibir gadis itu begitu mengambil langkah, mengabaikan rengekkan pemuda itu yang minta dikasihani.

”Gue kalau pakai motor sendiri tuh gak bebas, Chaer. Nebeng tuh bikin gue punya alibi buat pulang telat.”

”Ya udah gak usah alibi-alibi, gak usah gegayaan kayak bocah sibuk, pulang tuh tepat waktu,” balas Chaerra galak, ”lo juga, mau aja dibabuin sama Zafir.”

”Dia kalau gak gue jemput gak mau sekolah anjir.”

”Dia gak sekolah ruginya juga di dia sendiri, ngapain lo urusin anjir!” kata gadis itu mengikuti nada bicara tak santai Soni. ”Esay wisata edukasi udah belum?” lanjut Chaerra mengalihkan pembicaraan.

Di waktu liburan yang singkat ini, seluruh siswa kelas XI ditugaskan menuliskan esay mengenai pengetahuan apa yang mereka dapatkan dari kegiatan wisata edukasi yang harus dikumpulkan ke wali murid. Senin pertama setelah libur semester memang seharusnya tak diisi oleh banyak kegiatan, bahkan upacara pun tidak dilaksanakan. Mereka hanya perlu masuk, presensi, lalu bermain sampai jam pulang.

”Udah dong,” jawab Soni dengan bangga, ”kelompok gue ada Lia jadi aman sampai gak usah mikir apa-apa.”

”Gue juga.” Xafier terdengar tak mau kalah. ”Ya walaupun yang ngerjain Jeiden, yang penting mah ada.”

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang