03. Morning Edition

152 28 5
                                    

Hessa

Gue udah di depan.

Lia baru saja selesai mengenakan sepatu ketika notifikasi itu muncul ke ponselnya. Gadis itu secara alami menaikkan pandangan ke sudut kiri ponsel, melihat angka 06.02 yang tertera memberikan keterangan pukul berapa pagi ini. Secara jujur, Lia tak lagi terkejut mendapati pesan dari pemuda itu tiba-tiba berada di urutan paling atas pada room chat WhatsApp.

Tapi... sepagi ini?

Jarak rumah pemuda itu dari rumah yang kini ia tinggali saja membutuhkan waktu paling tidak setengah jam. Ditambah, harusnya Hessa tau ini hari Senin pertama mereka masuk sekolah setelah libur semester, dan ia paling tidak suka naik motor besar pemuda itu menggunakan rok seragam.

Bukan hanya itu, notifikasi chat Hessa juga terasa sedikit mengejutkan karena sebenarnya keduanya sudah tidak menjalin komunikasi apapun selama dua hari ini. Setelah tragedi menginap di rumah Chaerra, Hessa yang kerap kali datang ke rumah ini karena tau Lia bukan tipikal orang yang suka membalas pesan tidak muncul sekalipun walaupun hanya di pagar rumah. Pemuda itu yang biasa mengirim kabar lebih dulu, seperti ingin keluar, ingin bermain dengan siapa, tidak mengabarinya sama sekali.

Mereka bertengkar dan tiba-tiba pagi ini pemuda itu sudah ada di depan.

”Kak, Lia berangkat!”

Suara pekikan tinggi membuat seorang perempuan yang tengah menyiapkan makanan di dapur jadi menoleh. ”Lho, gak sarapan dulu?” balasnya tak kalah berteriak.

”Enggak, Lia sarapan di sekolah!”

Setelah itu Lia tak benar-benar mendengar kalimat apa yang Kak Lenny sampaikan, kaki gadis itu masih berusaha berlari dengan kencang walau hampir saja tersorok dari tangga. Bahkan tangannya segera maju mendorong pagar supaya terbuka tanpa menunggu satpam rumah yang masih berada di salah satu gazebo teras tengah meminum kopi.

Lagipula siapa orang gila yang akan minta dibukakan pagar jika bukan orang gila di hadapan Lia sekarang?

”Lah? Cepet banget?”

Hessa yang masih duduk di atas motornya sembari memainkan layar ponsel menoleh terkejut. Lia menghembuskan nafas berat, memandang pemuda itu dengan mata lebarnya yang tak menunjukkan ekspresi berlebih. Seluruh emosi yang gadis itu pendam seolah luruh di hadapan Hessa, digantikan dengan wajah datar seperti biasa.

”Lo udah sarapan?” tanya Lia lebih tenang setelah berhasil mengatur nafas.

”Belum,” jawab pemuda itu memelas, ”gue habis Subuh langsung ke sini,” lanjutnya melebih-lebihkan.

”Besok gak usah jemput gue lagi!” balas Lia tegas. ”Lo sama aja jalan 12 kali lipat dari rumah lo ke sekolah kalau nyamper ke sini dulu.”

Suara berat sedikit serak tersebut hampir tertawa namun segera tertahan. ”Di sini doang sih, bolak-balik palingan sejam. Asal lo tau ya, Ya, mau lo di luar pulau aja tetep gue samperin gimana kalau cuman di sini, tiap hari lah gue ke sini.”

”Udah selesai ngambeknya?”

Pertanyaan Lia berhasil membuat wajah tengil Hessa perlahan berubah. Pemuda itu mengangguk pelan dengan bibir tebalnya yang agak maju membentuk ekspresi menyesal. Lia semakin menghela nafas panjang, memutar bola mata bosan.

”Udah bisa diajak ngomong?”

Lagi dan lagi Hessa mengangguk, layaknya seekor anak anjing yang tengah diomeli oleh majikannya.

”Oke, pertama-tama, kenapa lo marah? Gara-gara gue gak ngelarang lo ke club atau gara-gara gue jadi nginep di rumah Chaerra?”

”Dua-duanya, tapi lebih condong ke lo yang gak ngelarang gue dugem.”

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang