45. Girls Time

144 24 7
                                    

”Jadi....” Chaerra menaikkan sebelah kakinya, bersilang dengan melipat tangan di atas ranjang bak bos besar dengan pandangan rendah pada sosok gadis di ambang pintu yang masih menunggu diizinkan masuk. ”Lo langsung ke sini tanpa ngasih tau Hessa?”

”Gue kasih memo kok,” balas Lia, melupakan bagian itu pada penjelasannya mengenai bagaimana kakinya bisa menuju rumah dua lantai dengan kesan dominan kaca estetik itu, ”lagian dia tidur. Gue juga udah ngabarin Yessa, katanya mereka sampai rumah bentar lagi.”

”Mereka?”

”Keluarga Hessa sering ke Bandung, ketemu neneknya di sana,” lanjut Lia, ”jadi, Chaer, lo gak perlu khawatir.”

Chaerra mengangkat sebelah alis semakin menatap rendah. Gadis dengan rambut yang sudah memanjang hampir mencapai punggung itu sempat melirik ke sisi meja, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 20.36 WIB. Gadis itu jadi mendesah panjang, bangun dari duduk untuk berjalan mendekat ke arah Lia.

”Gue gak khawatir sama Hessa, kurang kerjaan banget,” cibir gadis itu pelan, ”gue cuman gak mau jadi salah satu orang yang habis ini ditelfonin Hessa buat nyariin lo, risih banget. Lo makannya gak usah bertingkah, kabur-kaburan udah kayak anjing baru dibeli.”

Bibir Lia melebar, spontan meringis lebar merasa bersalah. Dampak seperti apa yang sudah ia buat sejak kemarin sampai membuat Jeiden dan Chaerra segera memakinya di depan wajah seperti ini. Gadis itu perlahan maju ketika tubuh Chaerra menyeruak, menutup pintu dari belakang tubuh Lia.

”Masuk, Ya,” suruhnya pelan, ”kalau mau mandi, lo bisa mandi dulu, kalau mau makan lo bisa ambil di bawah, suka-suka deh. Orang tua sama adik gue juga lagi pada ke Surabaya.”

”Gue boleh nginep?”

Wajah Chaerra kembali mengerut. ”Lo berharap gue usir sekalian gue tendang dari lemari?”

”Enggak,” jawab Lia cepat, seolah sudah terbiasa dengan candaan bar-bar dari salah satu teman sekelasnya itu, ” makasih, tapi gue udah mandi sama makan kok.”

”Di rumah Hessa?”

Lia mengangguk. ”Baunya maskulin banget ya? Gue pakai parfum Hessa. Ganggu lo gak?”

Kepala Chaerra menggeleng pelan. ”Kalau mau ganti baju ambil aja di lemari sesuka lo.”

Lia ikut menggeleng, memberikan penolakan pelan. Gadis itu semakin berjalan ke arah ranjang, menaruh tas ransel dan tas laptopnya ke gantungan khusus tas yang diletakkan di sisi lemari pakaian. Setelah menyelesaikan urusan dengan barang-barang bawaannya, Lia ikut bergabung dengan Chaerra yang sudah melompat kembali ke ranjang.

”Jadi, sekarang lo mau apa?” tanya Chaerra.

”Minta maaf?” Lia bertanya tak yakin. ”Lo berharap apa?”

”Sungkem, cium kaki gue.”

Lia berdecak. ”Serius deh, gue udah tau gue salah.”

”Terus?”

Chaerra bertanya tak minat, mengalihkan wajah ke layar ponsel sembari bersandar ke punggung ranjang. Gadis itu sudah mengenakan bandana putih di kepala dengan kain penutup mata. Gadis itu juga sudah menggelung tinggi rambutnya, mengenakan masker transparan untuk daerah matanya yang tampak lebih gelap daripada sisi kulit lainnya yang berwarna putih pucat.

”Makannya gue di sini,” kata Lia pelan, ”gue mau minta pendapat.”

Mata bulat lebar Chaerra melirik sekilas. ”Gue bukan pemberi pendapat.”

”Dengerin dulu cerita gue.”

”Kalau tentang Hessa enggak deh, Ya, males banget gue cinta-cintaan.”

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang