34. The Night (III)

157 25 5
                                    

"Bawa tisu gak?"

Lia mengangguk kecil, melepaskan tas ranselnya. Belum sempat gadis itu dapat mengarahkan benda berwarna biru gelap itu sepenuhnya ke depan, tasnya sudah lebih dulu disahut oleh Hessa, digantikan dengan jaket kain hitam pemuda itu yang ditaruh tangan Lia.

"Pakai jaketnya, dingin," kata pemuda itu kembali mengambil jaket di tangan Lia setelah menaruh tad biru kecil itu di bahunya, mengarahkan tubuh Lia ke arahnya untuk membantu gadis itu memasang benda hangat itu ke tubuh mungil yang hanya mengenakan kaos, "lain kali kalau malem pakai hoodie aja kayak biasanya, lo lagi suka banget kayaknya sama baju baju crop ginian."

"Lucu."

"Tambah keliatan makin kecil."

Komentar Hessa membuat bola mata Lia menggulir malas. Tangan gadis itu menurut begitu saja dikenakan oleh jaket Hessa, dengan pandangan yang kini fokus pada wajah Hessa. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada setitik rasa rindu yang selalu muncul walaupun mereka sering kali bersama.

Perasaan bodoh yang selalu membuat Lia ingin berdiri di sisi pemuda itu. Bergelantung manja pada lengan Hessa, atau mendengarkan detak jantung pemuda itu. Lia selalu suka seluruh kegiatan yang ia lakukan bersama Hessa. Tapi kenapa perasaan tak pantas itu kerap kali muncul? Perasaan ragu akan ditinggalkan? Perasaan tak yakin pada hubungan mereka?

Perasaan bahwa Hessa hanya sekedar tertarik padanya dan tak pernah benar-benar mencintai Lia seperti yang pemuda itu katakan. Pemikiran bahwa Hessa akan pergi ke gadis yang lebih cantik setelah seluruh rasa penasarannya pada Lia terjawab. Pertanyaan-pertanyaan menyakitkan yang selalu lebih dominan daripada keinginan Lia untuk bersama Hessa.

"Lo gak kedinginan?" tanya Lia pelan, mengeratkan kedua tangannya di jaket Hessa yang terlalu besar di tubuhnya.

"Dingin, dikit," jawab pemuda itu beralih ke tas Lia, mengeluarkan tisu, "sini deketan, biar gue lapin muka lo."

"Ya udah jaket lo pakai-"

"Gue jawab jujur bukan karena pengen respons lo gitu," selak Hessa cepat. "Bisa gak responsnya diganti jadi, ya udah sini gue peluk aja."

Lia menggeleng kecil, melangkah mundur begitu tubuh Hessa kembali akan maju membersihkan wajahnya yang tampak masih sedikit berantakan dengan sisa air mata. Matanya kembali mengerjap, memandang wajah Hessa yang masih saja terlihat begitu tajam. Ada satu kalimat yang masih ingin Lia katakan secara jujur, ia masih tak ingin melanjutkan hubungan ini.

Rasa takut akan hubungan ini kedepannya membuat gadis itu sepenuhnya meragu pada sosok di hadapannya. Tidak mungkin tidak ada bosan, tidak mungkin tidak ada konflik baru, dan Lia sudah cukup lelah untuk seluruh hal itu terutama berurusan dengan Hessa.

Emosinya jadi meledak-ledak, akal sehatnya seolah lenyap begitu saja setiap kali mereka terlibat pertengkaran. Seluruh tubuhnya panas dan sakit. Dadanya berdetak dua kali lebih cepat dengan nafas yang menderu hebat. Lia benci semua itu, benar-benar benci.

"Sa-"

"Jangan bilang lo mau selesai lagi."

Lagi dan lagi Hessa kembali berhasil menyela, membuat Lia kembali diam. Gadis itu memejamkan mata begitu tangan Hessa yang bergerak lembut dengan sebuah tisu bergerak di ruang tengah antara alis dan matanya.

Untuk beberapa saat, Lia dapat merasakan tangan Hessa berhenti bergerak. Namun belum sempat membuka mata, Lia dapat merasakan benda kenyal mendarat tepat di balik kelopak matanya. Hessa memeberikan sebuah kecupan ringan di kedua matanya sebelum kembali bergerak mengusap wajah Lia.

"Matanya sekarang harus melengkung terus kayak bulan sabit, gak boleh lagi ngeluarin air mata."

"Yang sering bikin gue nangis tuh elo."

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang