Epilog: Sudut Pandang Berbeda

238 29 6
                                    

”Udah kering kan?”

Lia bergumam pelan, fokus pada bekas-bekas luka di punggung Hessa yang mulai mengelupas. ”Pakein salep terus dulu ya, biar ngelupasnya cepet. Nanti kalau beneran udah sembuh ganti pakai salep yang buat penghilang bekas luka,” kata gadis itu pelan.

Hessa mengangguk patuh, mata sipitnya terlihat menurun memandang kaca yang menunjukkan bayang-bayang Lia di sisi belakang tubuhnya. Wajah serius gadis itu masih menimbulkan pesona tersendiri yang selalu berhasil menyedot perhatian Hessa. Kedua mata lebar Lia akan terlihat lebih besar dengan bibir mengerut semakin mungil.

”Kalau seandaikan gue gak ke sini, gak bakal lo pakein kan?” tanya Lia memulai pembicaraan dengan tubuh bergerak turun dari ranjang.

”Mau dipakain siapa? Mama sama Yessa udah di Bandung dari tadi siang. Papa dari kantor langsung nyusul,” balas pemuda itu dengan nada mengadu, ”gue udah sendirian dari tadi siang asal lo tau. Sumpek banget sebenernya di rumah-”

”Jangan di pakai nongkrong-nongkrong dulu,” sahut Lia lebih dulu, ”kenapa gak ikut ke Bandung tadi siang sekalian?”

”Males, gue ke sana besok aja. Lagian di rumah Nenek tuh sepi banget, Ya, gak ada temen gue di sana.”

Gelengan kecil menjadi respons tak berarti yang dapat Lia berikan tanpa menoleh pada Hessa. Kepala gadis itu tetap fokus membuka lemari, mengambil satu kaos oversize sebelum berbalik ke arah Hessa.

”Lo mau langsung tidur atau pakai baju dulu?”

”Lo gak nginep?”

Dahi Lia mengerut, mata gadis itu sempat melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 22.17 WIB. ”Enggak, gue belum izin orang rumah, tadi dari bimbel langsung ke sini.”

”Lo masih punya hutang cuddle sama gue,” ujar Hessa ringan tanpa beban, menatap Lia dengan mata berbinar dan memohon layaknya anak kecil, ”peningkatan tau gak sih lo punya inisiatif sendiri ke sini tanpa gue minta, jadi sekalian tambah cuddle ya.”

Lia mendelik, berubah tak santai. ”Gue cuman gak sengaja lewat tadi, lihat motor lo masih di depan jadi sekalian mampir.”

”Emang mau lewat ke mana?” tanya Hessa mengubah nada suaranya menyamai gadis itu. ”Kita pacaran udah hampir setengah tahun masih aja gengsi lo.”

”Dih, enggak ya, emang tadi gue niatnya mau ke taman sekalian cari cemilan,” balas gadis itu makin galak.

Suara tawa Hessa terdengar renyah, memandang Lia dengan begitu hangat membuat ekspresi kesal gadis itu jadi segera menurun. Kedua tangan pemuda itu bergerak naik, memberikan tanda pada Lia yang masih berdiri satu meter darinya supaya membantunya mengenakan kaos yang masih gadis itu pegang.

”Kalau gitu ayok ke taman,” ajak pemuda itu segera setelah Lia merapikan letak kaosnya dan menata kalung Hessa, ”gue juga udah lama gak ke taman.”

”Gak mau, males gue sama lo.”

Tangan Hessa segera naik, melingkar ke punggung Lia membuat tubuh gadis itu yang sudah siap menyingkir jadi membantu. Mata lebar Lia semakin melotot, memandang Hessa yang tengah meringis tak santai. Bukannya merasa bersalah, pemuda itu justru menarik pinggang gadis itu supaya dapat menyandarkan kepalanya.

”Sa, lepas! Gue mau pulang!”

”Kalau gak mau ke taman, ya udah gini aja, gak mau gue lepas.”

Suara decakan terdengar kasar, tangan Lia sudah berusaha melepaskan lengan pemuda itu dari pinggangnya, tapi tetap saja gagal. ”Ya udah, ayok.”

”Pat-pat dulu.”

”Apa sih, Sa, banyak mau banget,” kesal Lia semakin mencoba melepaskan diri, ”lepas, Hessa! Makin malem entar kalau gak buru-buru berangkat.”

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang