14. Completed Relationship

139 26 3
                                    

”Sa, jarak lempar lo dari ring kejauhan! Lo main basket baru kemarin belum ngerti?”

Jeiden terteriak kencang, memandang nyalang ke salah satu orang dari empat remaja cowok di tengah lapangan. Cowok itu berdecak kesal, sejak tadi hanya menegur orang yang sama terus-tetusan. Entah karena tempo pemain nomor punggung 8 yang merusak irama grup, atau entah dari pemuda itu yang tak fokus dan melewatkan bola.

”Bubar-bubar!” instruksi Jeiden lebih lenjut. ”Kita lanjut besok! Gak guna latihan kalau yang main gak konsentrasi sama sekali.”

”Biarin gue nyoba sekali lagi,” selak Hessa lebih dulu, ”kasian yang lain.”

”Bubar!” bentak Jeiden keras. ”Balik semua! Istirahat di rumah!”

Soni dengan wajah baby face lugu menoleh pada Hessa dan Jeiden yang sama-sama menunjukkan aura tak menyenangkan. Pemuda itu berdeham, menepuk lengan atas Hessa pelan sebelum melangkah ke luar garis lapangan mengikuti yang lain.

Tidak ingin terlibat lebih jauh jika dua orang itu harus saling tonjok sekarang.

”Lo kenapa sih hah?” Jeiden bangun dari kursi tempatnya duduk mengawasi permainan tim sejak tadi. ”Kompetisi Basket di depan mata tapi lo malah main berantakan gini? Malu kalau kita menang di tempat lain tapi kalah di sekolah sendiri!”

Hessa mengacak rambutnya yang sudah basah oleh keringan. ”Gue bilang biarin gue nyoba sekali lagi!”

”Terus gagal lagi, ngebuang sia-sia tenaga anggota yang lain gara-gara nurutin lo yang terus mau nyoba main sekali-lagi? Iya?”

”Jei-”

”Jangan bilang lo kacau gini gara-gara Lia izin sakit hari ini!”

”Enggak!” Hessa membentak, ikut kehilangan kendali diri. ”Gak usah nyebut nama itu di depan gue lagi! Gue udah selesai sama dia!”

Tidak biasanya hari Senin anggota Basket melakukan latihan seperti ini. Hanya karena kompetisi yang akan berlangsung beberapa minggu lagi membuat anggota inti jadi melakukan latihan rutin. Tapi tidak seperti biasnya, permainan dari pemuda yang telah jadi Ace sejak kelas X ini benar-benar buruk.

Alis Jeiden menukik. ”Gimana?”

”Gue udah putus sama Lia!”

Wajah heran pemuda itu digantikan dengan wajah tertawa pelan. ”Lo kalau gak mau gua salahin jangan cari alesan deh, mana mungkin lo putus sama Lia.”

Garis muka Hessa tak berubah sama sekali, ujung matanya tetap naik dengan rahang mengeras walaupun Jeiden masih tertawa terbahak. Untuk beberapa menit, Jeiden dibuat tak percaya sampai akhirnya pemuda itu diam begitu saja. Memandang Hessa terkejut sekaligus bingung.

”Beneran?”

Hessa mengangguk, bergumam pelan sembari mendrible bola basket yang masih ada di tangannya.

”Kok bisa?”

”Emang kayaknya dari awal gak pernah pacaran,” gumam pemuda itu tak peduli, maju melemparkan bola pada ring yang ternyata berhasil, ”gue aja yang halusinasi dia mau pacaran sama gue.”

Jeiden mengikuti tubuh Hessa dengan dengusan kecil. ”Jangan bilang lo dua malem ini ke club gara-gara ini?”

”Hm,” balas Hessa menoleh, ”dan berakhir dengan ngurusin temen-temen lo yang mabuk,” lanjut cowok itu kesal setengah mati mengingat dua malam ini ia datang ke club dan berakhir jadi kurir untuk mengantarkan teman-teman Jeiden dari IPS1 dan IPS5 yang masuk ke rumah masing-masing.

”Lo yakin Sa? Putus sama Lia?”

Kepala Hessa tak bergerak mengangguk, kedua bahunya justru terangkat bersamaan. ”Gak tau.”

”Itu gelang yang couple sama dia masih lo pakai kan?”

Hessa merunduk, memandang satu-satunya gelang yang terpasang di tangan kirinya. Pemuda itu perlahan menyunggingkan bibirnya, tersenyum kecil melihat boneka beruang kecil berwana emang menggantung di sana. Benar-benar persis dengan Lia, dengan garis wajah terkesan bulat namun juga lonjong, mata bulat besar, dan hidung serta bibir yang kecil.

”Cantik ya?” gumam Hessa pelan menaikkan lengannya, melihat boneka itu dengan mata fokus.

Ada ukiran kecil di sana yang harus dipesan lebih dulu, di bagian badan beruang yang jika diamati dapat dibaca ukiran Lia. Harusnya di gelang Lia juga ada nama Hessa, tapi entah gadis itu peduli atau tidak.

”Gak lo lepas?” tanya Jeiden pelan. ”Balikan sana! Gak usah aneh-aneh lo pakai segala putus! Orang bucin gitu!”

”Menurut lo gitu?”

Jeiden mengangguk. ”Alasan lo putus apa sih?”

”Menurut lo dia suka gak sih sama gue? Gue ngerasa cuman gue yang nganggep dia pacar.”

”Kalau dia gak nganggep lo pacar, ngapain dia pakai gelangnya di depan Pak Teo sama anak kelas?”

”Siapa tau cuman timbal balik gara-gara dia menghargai pemberian gue,” dumel Hessa kembali melemparkan bola ke arah ring, ”gue udah temenan sama dia dari kecil, tapi kenapa gue masih ngerasa gak kenal dia ya Jei?”

”Ya udah, kenalan lagi. Beda status artinya beda kepribadian, Sa. Gue malah curiga, bukan Lia yang gak suka sama lo tapi lo yang gak suka sama dia.”

Hessa menolehkan kepalanya cepat, memprotes dengan tatapan dengan tangan bergerak menyembelih leher membuat Jeiden tertawa pelan. Sebenarnya Hessa tak ingin banyak, ia hanya ingin mendengar gadis itu bicara jika gadis itu juga mencintainya. Apa itu terasa begitu sulit bagi Lia sampai pembicaraan gadis itu terus saja berputar-putar.

Selalu bertanya apa yang ia inginkan?

Apa yang ia harapkan dari gadis itu?

Padahal keinginan dan harapan Hessa sudah terwujud sepenuhnya di saat gadis itu mengambil tempat di sisi hidupnya.

”Dia nemenin gue basket aja gak mau, Jei,” ujar Hessa tiba-tiba, ”dia kayak lebih mikir orang lain, Hadi, Nathan, semua direspons sama dia sedangkan gue diacuhin. Gimana gue bisa percaya kalau dia nganggep gue pacar?”

”Bukannya harusnya lo tambah curiga kalau lo diperlakuin kayak dia perlakuin Hadi atau Nathan?” tanya Jeiden heran. ”Lagian Lia gak nonton basket gara-gara gue yang nyuruh?”

”Hah?”

”Lo gak inget waktu dia nungguin lo fokus lo jadi ke dia muluk bukannya ke bola basket,” omel Jeiden galak, ”jadi gue minta ke Lia buat gak nonton dulu daripada ganggu fokus lo.”

Bibir Hessa semakin menganga. ”Kok lo gak bilang?”

”Lia gak bilang?”

”Enggak ada anjir!” umpat Hessa melemparkan bola basket ke arah Jeiden. ”Bangsat Jeiden! Gue udah putus sama dia baru lo kasih tau!”

”Tinggal balikan.”

”Mulut lo-” Hessa dengan cepat meraih bola basket yang masih berserakan di lapangan, melemparkan benda itu pada Jeiden yang terus mengelak. ”Tanggung jawab anjir! Enak banget lo bilang balikan! Gue udah ngomong yang enggak-enggak ke dia sampai pengen robek mulut gue sendiri, lo masih enteng banget kalau ngomong!”

”Lo ngomong apa aja anjir ke dia?” Jeiden berteriak panik, masih melompat menghindari bola yang Hessa lempar.

Tubuh Hessa membeku, tangannya yang ingin meraih bole berhenti. Ingatan pemuda itu seolah dipaksa untuk berputar kembali pada kejadian di dua malam lalu. Suaranya tercekat di tenggorokan, seolah seluruh kalimat yang ia lontarkan pada Lia tertelan mentah-mentah kembali menjadi benda tajam.

Pemuda itu dengan cepat bangkit, keluar dari garis lapangan tanpa menoleh kembali pada Jeiden yang masih kebingungan. Bodoh! Hessa benar-benar bodoh! Bagaimana bisa emosinya jadi mudah meledak-ledak setiap kali berurusan dengan Lia? Ditambah respons gadis itu yang masih terdengar tenang menimpali Hessa membuat perasaan tersayat itu semakin nyata.

Harusnya Lia berteriak, balas memakinya! Atau kalau perlu melempar kepala Hessa dengan sepatu supaya kewarasannya kembali dengan cepat!

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang