21. Luka dan Obatnya

139 23 5
                                    

”Lo-”

Lia tak dapat lagi melanjutkan kalimatnya dengan benar. Hidungnya sudah kembang kempis memandang Hessa tak santai di depan sana yang masih mengerjapkan mata polos. Gadis itu dengan segera mengambil langkah, menyahut bantal di belakang tubuh pemuda itu sebelum mendaratkan benda itu ke wajah Hessa kasar.

”Aduh.” Hessa semula hanya mengaduh pelan, sampai akhirnya berubah menjadi pekikan tertahan karena wajahnya terus ditimpuk oleh bantal. ”Ya, Ya, udah, Ya! Udah, udah, sakit!”

Tangan Lia masih sekuat mungkin memukul bantal ke seluruh tubuh pemuda itu terutama wajah tampan Hessa. Gadis itu dengan wajah memerah degan bibir tertahan tertarik gemas dan alis menukik tajam benar-benar melupakan jika mereka sedang berada di rumah sakit serta mengabaikan fakta jika ini merupakan jam istirahat orang-orang.

”Lo-” Suara Lia bergetar hebat, merujuk pada merengek namun juga tajam. ”Sini biar gue bikin muka lo diperban sekalian.”

”Udah, Ya, udah!” Hessa semakin berteriak pelan, tangan kirinya maju berusaha menahan tangan kanan Lia. ”Gue minta maaf, gue minta maaf.”

Suara deheman pelan yang menyusul permintaan maaf Hessa membuat Lia berhenti seutuhnya. Dengan kedua tangannya yang masih memegangi bantal dan tangan kiri Hessa yang masih naik maju melindungi diri, Lia menolehkan tubuhnya. Mata bulat gadis itu yang sudah berlinang oleh air mata mengerjap pelan, memandang laki-laki setengah baya dengan jas putih khas dokter tengah berdiri di sisi tirai hijau, memandang ke arah mereka bersama satu suster di belakang.

”Kerabat?” Pemilik suara deheman tadi bertanya, menunjuk Lia dan Hessa bergantian.

”Calon istri, Dok.”

Lia melirik tak santai, menormalkan deru nafasnya lebih dulu sebelum tersenyum dengan wajah berantakannya. ”Tetangga, Dok.”

”Emang kita masih tetanggaan?” tanya Hessa polos mendongak.

Tangan Lia hampir kembali maju ingin memukul Hessa kalau saja tangan kiri pemuda itu tak melingkar di bawah sana pada tangan kanannya menahan. ”Saya kenal keluarga pasien, Dok,” jawab Lia pada akhirnya.

Dokter dengan perawakan gempal agak pendek itu mengangguk paham. ”Jadi, wali pasien ingin bicara di ruangan saya atau-”

”Di sini aja, Dok,” sela Hessa cepat, ”dia gak ada hubungannya sama keadaan saya, saya bisa denger sendiri,” lanjut pemuda itu dengan senyum ramah menunjuk Lia.

”Oke.” Dokter itu mulai maju, diikuti oleh suster yang sejak tadi tampak menahan tawa receh. ”Keadaan tangan kanannya gak buruh, baik-baik aja, tapi mungkin harus istirahat total selama tiga hari ya.”

”Saya minggu depan ada tanding basket, masih bisa ikut kan, Dok?” Hessa bertanya was-was.

”Harusnya bisa kalau tiga hari ini lengannya benar-benar digunakan istirahat,” jawab sosok Dokter di depan sana sembari membuka-buka dokumen yang Lia duga hasil pemeriksaan, ”gak ada yang patah, gak ada yang retak, cuman cidera ringan sama penanganan yang terlabat aja. Jangan dipakai olahraga, berkendera, angkat barang berat, atau kegiatan lain yang pakai lengan kanan selama tiga hari, kemungkinan besar minggu depan udah bisa aktifitas seperti biasa.”

Pemuda itu kini dapat bernafas dengan lega.

”Oh iya, gak perlu rawat inap, tapi karena udah tengah malem bisa pulang besok atau pesan kamar khusus kalau perlu ya,” ingat laki-laki setengah baya itu dengan senyum ramah, ”saya permisi.”

Setelah dua sosok orang itu bergerak ke luar, Lia dengan cepat menyahut tangan kanannya yang masih dipegangi Hessa. Gadis itu menjauhkan diri, melengos singkat mengalihkan pandangan dari pemuda itu. Gadis itu mengusap pipinya yang mulai berair cepat, mengendalikan ekspresi wajahnya yang sudah dapat bernafas tenang.

”Tuh kan gue gak papa, cidera doang,” kata Hessa bangga, ”jatuh dari motor doang mah gak ada apa-apanya.”

Lia mendengus sinis, melirik tajam pada pemuda itu masih dengan ujung hidung memerah. ”Gue mau urus administrasi dulu.”

”Udah diurus Jeiden,” sahut Hessa cepat, menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan chat Jeiden, ”ayok pulang!”

”Besok aja, udah malem,” kata Lia berubah pelan, ”biar besok gue ngabarin Tante Selena.”

”Pesen Go-Car aja,” usul Hessa tetap bergerak turun, ”besok biar motor gue diambil sama anak Basket. Gak usah ngabarin siapa-siapa, pada khawatir nanti.”

Lia merunduk dengan cepat, mendekat ke arah kaki pemuda itu untuk mengenakan sepatu hitam yang menganggur di lantai. Suara isakan masih terdengar jelas dari hidung gadis itu, berusaha menahan air mata yang terus ingin keluar dari kelopak matanya entah karena apa.

”Ya, jangan nangis.”

Kalimat Hessa tak membuat keadaan Lia jauh lebih baik, air mata gadis itu justru semakin mengalir deras. Terutama wajahnya yang kini merunduk menalikan sepatu Hessa membuat Lia semakin memiliki kesempatan untuk terisak tanpa perlu merasa malu. Gadis itu menggeleng pelan, mengusap mata dan hidungnya cepat sebelum bangkit.

”Gue pesen Go-Car dulu,” kata gadis itu segera mengalihkan wajah, ”lo tunggu sini aja, biar gue tunggu di kursi depan.”

”Gue gak papa, Ya,” kata Hessa lagi, menahan pergelangan tangan Lia agar tak beranjak seinchi pun, ”gue beneran gak papa.”

”Lo jatuh dari motor,” selak Lia cepat tak tahan lagi, ”lo baru aja jatuh dari motor, Hessa.”

”Gue udah biasa jatuh dari motor.”

”Gue yang gak biasa denger lo jatuh dari motor,” sahut Lia cepat, ”jantung gue mau copot tau gak sih rasanya? Gue gak bisa mikir apa-apa lagi waktu perjalan ke sini. Jeiden gak bisa ditelfon, lo gak bisa ditelfon, gue gak bisa tanya ke siapapun lo baik-baik aja apa enggak! Nafas gue sesek dan lo masih bisa bilang lo udah biasa jatuh dari motor?”

Suara Lia meledak, meninggi satu oktaf daripada biasanya. Tidak ada lagi suara tenangnya yang terkontrol di suasana apapun, tidak ada lagi tangisnya yang hanya bisa ia lihat sendiri. Malam ini gadis itu meledak. Dengan seluruh wajah memerah, nafas menderu, dan air mata yang berkali-kali tak ingin berhenti. Bibir bawah Lia bergetar, seluruh tubuhnya rasanya kehilangan tumpuan. Lia bahagia Hessa baik-baik saja, tapi kenapa rasanya 8a terlihat begitu menyedihkan? Lia tenang karena pemuda itu tak menderita luka parah, tapi kenapa rasanya ia begitu ketakutan?

”Ya?”

Gadis itu menggeleng pelan pada panggilan pelan Hessa. ”Gue gak mau lagi denger lo jatuh dari motor, gak mau,” gumam gadis itu dengan suara tak jelas.

”Iya, gak bakal jatuh lagi. Janji gak bakal bikin lo khawatir lagi.”

Tubuh Hessa bangkit dari ranjang rumah sakit, mendekat pada tubuh Lia yang masih bergetar. Tangan pemuda itu di pergelangan tangan kanan Lia perlahan naik, melingkar ke tubuh Lia sebelum membawa tubuh mungil itu pada dekapannya.

”Udah ya,” bisik Hessa pelan, ”gue jadi tambah sakit denger lo nangis.”

Lia menggeleng, sedikit mendorong dada Hessa supaya menjauh darinya. ”Nanti baju lo kena ingus gue.”

Tawa Hessa meledak pelan, semakin mengeratkan tangannya di punggung gadis itu, menahan tubuh mungil Lia agar tak beranjak. Pemuda itu mengelus pelan punggung Lia sembari meletakkan dagu di puncak kepala Lia, menghirup aroma stroberi yang baginya manis dan menenangkan.

”Baju gue siap sedia jadi tisu buat lo.”

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang