22. Luka dan Obatnya (II)

138 22 7
                                    

Setelah melewati perdebatan yang cukup sengit antara tetap di rumah sakit sampai esok hari atau pulang malam ini, kini kedua remaja berbeda gender itu sudah duduk tenang di kursi penumpang di mobil dari aplikasi yang Lia pelan. Lia harus mengalah karena pemuda yang sekarang tengah duduk di sisinya, merebahkan kepala pada bahu kanan Lia, kukuh untuk tetap pulang. Terhitung sudah lebih dari lima belas menit mereka di duduk di sini, dan belum ada pembicaraan sama sekali.

Lia memilih membungkam bibirnya, menyandarkan kepala ke punggung kursi, masih berusaha menenangkan diri. Sedangkan Hessa, nafas pemuda itu sudah terdengar menderu teratur. Walaupun Lia yakin Hessa belum tidur karena tangan kiri pemuda itu masih bermain di tangan kanannya. Jari-jemari mereka saling bertautan, dengan ibu jari Hessa yang terus mengelus sisi ibu jari Lia.

”Kok bisa penanganannya telat?” tanya Lia tiba-tiba, mengisi kekosongan di antara mereka.

Hessa bergumam pelan, mendongakkan kepala dari bahu Lia membuat rambutnya tanpa sadar mengenai sisi pipi Lia karena gadis itu juga tengah merunduk. ”Emang Dokter bilang gitu?”

Kepala Lia bergerak mengangguk. Sejujurnya ada terlalu banyak pertanyaan dalam otak Lia sekarang ini. Menganai balapan, mengenai bagaimana pemuda itu jatuh, dan cidera yang Hessa alami. Tapi mengisi obrolan dengan seluruh pembicaraan itu entah kenapa membuat Lia berpikir ia akan kesal sendiri.

”Kayaknya emang udah dari Selasa kemarin sih, habis jatuh sama Nathan, terus langsung gue pakek main voly,” ujar Hessa mulai bercerita, ”gue udah lumayan kerasa kalau cidera, tapi gue mikirnya nanti juga sembuh. Eh, tadi gue pakai naik motor kebas banget. Refleks gue lepas tangan dari gass, terus motornya oleng.”

”Lo panik?”

”Enggak,” jawab Hessa cepat dengan gelengan kecil, ”gue langsung loncat dari motor, terus jatuh.”

Lia tak bisa mendeskripsikan perasaannya dengan pasti ketika Hessa bercerita dengan nada ringan seolah pemuda itu hanya mengalami hal kecil, seperti jatuh dari sepeda roda tiga milik anak-anak. Masih sangat kesal, tapi hal itu juga berhasil membuatnya bernafas lega.

”Kok bisa jatuh sama Nathan?”

”Bego emang tuh anak, kebanyakan berkas otaknya,” cibir Hessa mengubah nada bicara pelannya, ”dia lihat Jeiden nyegat Hana sama Mina di depan kelas, panik banget langsung mundur nabrak gue, jatuh deh.”

”Berarti sakitnya udah ada hampir seminggu?”

Pertanyaan Lia kali ini membuat ekspresi kesal Hessa kembali berubah tenang. Pemuda itu menggerakkan kepalanya pelan, semakin merapat ki sisi leher Lia mencari tempat ternyaman sembari bergumam. Mata tajam pemuda itu sempat melirik ke atas, memastikan bagaimana ekspresi wajah Lia yang kini masih saja dingin.

”Gak papa, Ya,” kata pemuda itu menyakinkan, ”beneran deh. Tadi Dokter juga bilang kalau cuman cidera ringan doang kan.”

”Akhir-akhir ini lo masih anter jemput gue, masih main di rumah gue, dan gue gak tau sama sekali kalau tangan lo udah sakit?”

”Lia,” tegur Hessa pelan karena gadis itu mulai terdengar membentak, ”ini gak penting, kalau gue ngasih tau lo, lo pasti nyuruh gue pulang, gak ngizinin gue nganter jemput lo. Iya kan?”

”Tapi buat gue penting, Sa!” sela Lia cepat tak merubah nada bicaranya yang kembali tak santai. ”Cowok gue sakit dan malah gue gak tau apa-apa?”

”Cowok lo?”

Hessa benar-benar mendongakkan wajahnya, mengernyit heran pada kalimat Lia. Kepala Lia yang sejak tadi merunduk jadi melengos, memandang ke arah jendela dengan decakan kecil. Senyum Hessa sudah melebar, tangan kirinya terlepas dari tangan kanan Lia, bergerak ke belakang pinggang gadis itu dengan tubuh bergerak kecil semakin mendekat ke leher Lia.

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang