19. Clingy

163 26 5
                                    

Hessa mendesis pelan, menggerakkan bahu kanannya yang masih terasa kaku. Setelah dibuat membentur lantai, pemuda itu masih harus menggerakkan tulang bahunya aktif selama pertandingan voly. Lalu berikutnya, tangan kanannya juga harus digunakan untuk menarik gas motor selama kurang lebih setengah jam menuju rumah besar ini.

Leher Hessa berputar pelan, mencoba meredakan rasa kebas yang menjalar dari perbatasan leher dan bahunya menuju lengan kananya. Jari-jemari pemuda itu bahkan ikut kaku membuat Hessa makin yakin seluruh bagian tangan kanannya bermasalah.

Pemuda itu dengan sebungkus kresek putih di tangan kiri mulai melangkah, memasuki rumah besar yang sudah biasa ia sambangi setiap pulang sekolah. Seperti biasa, pintu dibukakan oleh seorang pelayan dengan senyum hangat, mempersilahkan Hessa untuk masuk.

”Ini buat Lia ya, Bik?” tanya Hessa menunjuk nampan yang di bawa oleh wanita paruh baya itu. ”Biar Hessa aja yang bawa gak papa.”

Setelah menerima nampan berisi mangkok air hangat, botol kaca transparant, dan sebuah kain kompres, Hessa mulai melangkah menaiki tangga, menuju kamar yang selalu jadi tujuan utamanya. Ini memang sudah memasuki siklus menstruasi gadis itu, tidak heran benda-benda ini akan berguna sebentar lagi.

Hessa kerap kali masih bingung, kenapa Lia jadi begitu berlebihan menghadapi sakit datang bulan? Maksud Hessa, ia juga punya adik perempuan, dan Yessa tak pernah separah itu. Paling jauh hanya masalah jerawat dan badan yang sedikit pegal. Tidak sampai perlu meminum Kiranti, Yogurt, ataupun mengompres perut.

Setelah mengetuk pintu tiga kali dengan sedikit susah payah karena tangannya sekarang sudah penuh, kaki Hessa segera maju, mendorong benda yang memisahkan ruang kamar dengan bagian rumah yang lain. Hanya ada cahaya remang-remang dari jendela besar yang dihiasi oleh tirai putih berendra di bagian ujung yang tepat mengenai ranjang besar di tengah ruangan. Ada sosok bertubuh mungil yang kini tengah meringkuk seperti seorang bayi, memejamkan mata dengan kerutan menahan sakit di dahinya.

Hessa mendekat dengan langkah pelan, menaruh nampan dan kresek yang ia bawa pada meja di sisi ranjang. Berikutnya, pemuda itu menyalakan saklar lebih dulu sebelum menaruh tubuhnya ke sisi ranjang.

”Sakit banget?”

Tangan pemuda itu maju, mengelus pelan dahi dan ujung kepala Lia. Suara desisan terdengar namun dengan gerak kepala menggeleng. Lia sama sekali tak membuka mata, deru nafasnya terdengar berat dan cepat.

”Bangun dulu,” minta Hessa pelan, ”dikompress dulu perutnya.”

Gadis itu kembali menggeleng pelan, membuka matanya perlahan sayu. ”Gak mau.”

”Nanti makin sakit.”

Lia masih bergerak menggeleng, membalikan tubuh membelakangi Hessa dengan desisan pelan. Tangan kanan gadis itu setia berada di perutnya, meremas tepat pada rasa sakit yang terasa luar biasa.

”Sakitnya udah dari tadi kan?” tanya Hessa berbisik pelan, mencondongkan tubuhnya supaya dapat menjangkau telinga Lia. ”Pasti gara-gara kecapean seharian ini.”

”Sa, pijitin,” rengek gadis itu pelan, sedikit menolehkan wajah memandang ke arah Hessa, ”sakit.”

”Punggung lo sakit?”

Lia mengangguk dengan wajah memelas menahan kedua bibirnya. ”Pegel.”

Hessa melepaskan sepatunya lebih dulu, membawa seluruh tubuhnya untuk naik ke ranjang, mendekat pada tubuh Lia yang masih meringkuk membelakanginya. Baru saja tangan pemuda itu ingin maju, tubuh Lia yang lebih kurus dari sebelumnya justru berbalik. Kedua tangan gadis itu dengan segera melingkar di leher Hessa, mencari tumpuan supaya bisa bangun.

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang