48. Second

155 26 4
                                    

Entah bagaimana, tapi Lia tak terkejut sama sekali begitu tangannya membuka tirai kamar. Mata gadis itu hanya sedikit melebar dengan tatapan berbinar begitu menangkap sosok Hessa sudah berhenti di depan pintu pagarnya. Tubuh Lia dengan cepat berlalu, menyahut tas sekolahnya untuk turun ke lantai dasar.

Dengan tergesa, Lia menuruni tangga menimbulkan suara cukup kencang membuat beberapa pelayan dan kedua kakaknya menoleh dari meja makan.

”Ya, gak sara-”

”Enggak, Lia berangkat,” pamit gadis itu melambai pada kedua kakaknya yang tampak kebingungan, ”nanti aku dianter Hessa, gak usah dijemput gak papa.”

Lia tak lagi peduli pada respons kedua kakaknya karena tubuh gadis itu kembali berbalik lurus mengarah ke pintu utama. Langkah tenang gadis itu yang biasanya terdengar dengan suara bernada datar berubah dalam sehari dengan sikap kekanakan yang ditunjukkan secara lebih bebas.

Di depan sana, Pemuda itu tampak masih duduk di atas motor sedikit merunduk, merapikan rambutnya. Setelah menurunkan standar motor, pemuda itu turun dan mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam pintu pagar. Matanya masih merunduk, kadang memainkan tali sepatu yang masih belum benar-benar sempurna.

Belum sempat Hessa mendongak sepenuhnya, tubuh Lia sudah lebih dulu melompat. Lia dapat merasakan tubuh Hessa agak terhuyung ke belakang. Namun seperti dugaannya, pemuda itu dengan cepat mendapatkan keseimbangan dan menahan kedua sisi belakang lututnya walau masih dengan wajah tercengang.

”Wah, gak jatuh?” kagum gadis itu segera menaruh tangannya di kedua bahu Hessa sebagai tumpuan supaya tubuh gadis itu lebih tegak. ”Hebat-hebat.”

Hessa mengerjap pelan, masih cukup terkejut. Pemuda itu sedikit mendongak pada wajah Lia yang terlihat merekah tanpa dosa sedikit pun. Pemuda itu jadi membuka bibirnya, antara ingin menyentak dengan umpatan tapi juga ingin mengomel.

”Anjir,” umpat pemuda itu pada akhirnya dengan wajah melengos, ”ngapain sih, Ya? Tadi kalau jatuh gimana? Bahaya tau gak?”

Wajah merekah Lia berubah dengan wajah songong. ”Buktinya gak jatuh kan? Lo gak bakal biarin gue jatuh,” ujar gadis itu bangga sembari menepuk-nepuk bahu kiri Hessa bangga.

”Tapi kan tetep aja, kalau gue gak spontan-”

Suara kecupan terdengar berikutnya, Lia melebarkan senyum berhasil membuat pemuda itu diam setelah menyatukan bibir keduanya singkat. Hessa sudah melotot, terkejut pada apa yang dilakukan gadis itu dengan begitu ringan di halaman rumah. Pemuda itu jadi menoleh ke berbagai tempat, memastikan tidak ada satpan, supir, atau penghuni rumah lain yang melihat kejadian barusan.

”Dah, ayok berangkat,” ujar Lia tenang, bergerak turun dari gendongan Hessa.

”Bentar!” Hessa meraih pergelangan gadis itu supaya tak beranjak lebih dulu dari hadapannya. ”Lo gak habis kejedot pintu? Kebentur meja? Atau ketimpuk novel 500 halaman kan?”

”Apa sih, Sa? Kenapa? Lo gak suka gue cium?”

”Bukan gitu, tapi-” Kalimat Hessa berhenti begitu saja ketika memikirkan sesuatu. ”Lo gak lagi ngerencanain sesuatu kan?”

”Ngerencanain apa?”

”Ya kayak tiba-tiba mutusin gue, atau-”

”Enggak lah,” jawab Lia sensi sendiri, ”udah ayok berangkat, udah siang nanti telat.”

”Terus kenapa hari ini keliatannya lo seneng banget?”

”Kenapa sih? Lo gak suka lihat gue seneng?” balas Lia berubah galak. ”Oh ya udah, sekarang biar gue cemberut aja terus.”

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang