Tubuh Lia secara teratur mundur perlahan, suaranya terdengar memekik pelan karena bagian belakang kepalanya menubruk sesuatu. Gadis itu refleks berbalik, hampir menjerit karena wajah Yoga sudah ada tepat di hadapannya dengan tubuh pemuda itu yang sedikit merunduk. Lia meneguk seliva susah payah, tampak bingung sekaligus linglung.
"Lo ngapain di sini?" tanya pemuda itu dengan volume agak keras, mencoba menyaingi suara musik yang diputar.
Lia menggeleng kecil, mata besarnya masih memandang linglung kebingungan. "Diajakin yang lain."
"Yang lain?"
"Anak-anak cewek kelas," ujar gadis itu cepat, mencengkeram tali tasnya, "gue duluan ya, Yog. Takut yang lain nyariin."
"Oke, have fun."
Kali ini kepala Lia mengangguk ringan. "Lo juga."
Kaki Lia dengan cepat kembali melangkah, masih dengan senyum kecil melambai pada Yoga. Langkahnya dengan cepat menuju bangku yang tadi dipilih Chaerra. Kini hanya ada gadis berpakaian serba hitam itu di bangku, Chacha, Arina, Senya, Eli, dan anak IPS2 yang lain sudah berdiri di dance floor.
"Ya, gue udah pesenin-"
"Gue mau pulang," selak Lia cepat, mengeluarkan sebuah kartu yang segera ia sodorkan pada Chaerra, "nanti bayar pakai kartu gue aja gak papa, sorry ya Chaer."
"Lah? Baru juga sampai, Ya," kata gadis itu memprotes, "gak nunggu anak-anak turun dari dance floor dulu?"
"Enggak deh. Maaf ya Chaer."
Chaerra baru saja akan membuka mulut untuk kembali menahan dan mengeluarkan bujukan, tapi tubuh Lia sudah berlalu lebih dulu. Keluar dari ruang dengan lampu kelap-kelip dan suara musik keras. Indra penglihatan dan indra pendengaran gadis itu terasa lebih sunyi begitu ia menginjakkan kaki ke halaman gedung, berjalan pelan dengan langkah lunglai ke jalan raya.
"Jangan nangis," gumam gadis itu pelan dengan nafas memburu, "jangan nangis, Lia!"
Suara parau gadis itu jelas terdengar bergetar, dengan tenggorokkan yang mulai tercekat dan panas. Area bawah kelopak mata bulatnya mulai mengabur, dihalangi oleh cairan bening yang sudah siap turun. Tubuh gadis itu terasa memberat begitu saja, dengan tumpuan kaki layaknya jely.
Tidak, ia tak seharunya menangis.
Lia adalah orang yang paling tau dan paling mengerti jika Hessa bukan pemuda polos atau baik-baik yang bisa ia miliki sendiri. Cowok itu punya puluhan penggemar perempuan yang bahkan akan dengan senang hati datang padanya menawarkan diri. Lia sudah tau hal itu sejak awal, dan Lia sudah mengambil resikonya sendiri.
Tapi kenapa rasanya tetap saja sesakit ini?
Ia harusnya menurut pada Eli untuk tidak bergabung ke dunia yang tidak biasa ia masuki. Tapi kenapa tadi rasanya Lia begitu antusias untuk bertemu Hessa, berharap memberikan kejutan pada pemuda itu bahwa dia di sana. Tapi justru Lia yang diberikan kejutan.
Apalagi kejutan yang luar biasa.
"Tahan," guman Lia pelan, menggigit keras bibir bawahnya mencoba menahan rengekan yang sudah tertahan di tenggorokannya, "kalau lo nangis lo bego! Cewek goblok!"
Tepat setelah kalimat itu keluar dari bibirnya, benda cair bening lolos dari kelopak matanya. Kaki Lia refleks jatuh, membuat tubuhnya membentur aspal. Rasa perih pada lutut Lia terasa panas, tapi tak sepanas pita suaranya yang kini sudah meraung-raung.
"Jangan nangis anjing!" umpat Lia pada dirinya sendiri, merunduk menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Jangan nangis please," rengek gadis itu pada dirinya sendiri.
Lia pikir tak akan sesakit ini, atau justru kenapa terasa begitu sakit? Tak ada bagian tubuhnya yang terluka selain lututnya yang terasa perih. Tapi jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat, berusaha memompa darah akibat oksigen di sekitar Lia yang terasa berkurang, nafasnya menderu pendek.
"Please, gak usah lebay," gumam gadis itu pelan, memukul bagian dadanya yang terasa dicekam, "lo tau dari awal gak pantas, harusnya terus ngerasa gitu."
Kenapa selama ini Lia menumbuhkan perasaan abstrak itu terlalu dalam? Kenapa gadis itu tak membutakan dirinya seperti dulu? Kenapa ia percaya pada sebuah hubungan yang jelas tak dapat mengikat orang sepenuhnya pada dirinya sendiri?
Ia terlalu egois pada seseorang yang bahkan tak bisa ia miliki untuk dirinya sendiri.
"Lia."
Suara itu pelan, namun berhasil membuat Lia mengusap cepat pipinya. Gadis itu dengan cepat berdiri, menoleh masih dengan wajah tak karuan pada sumber suara yang tepat berada di belakangnya.
Chaerra berdeham kecil. "Everything it's oke?"
Tubuh jenjang Chaerra berdiri kaku, merapatkan kedua tangannya pada saku jaket canggung. Gadis itu menoleh ke arah lain, memandang masing-masing sisi jalan yang hanya dipenuhi oleh lampu dan hamparan lapangan luas.
"Lo gak capek jalan kaki?" tanya gadis itu lagi. "Gue udah biasa dance sih, jadi jalan sana sini udah kayak pemanasan aja. Tapi lo... harusnya capek gak sih?"
"Lutut gue perih," jawab Lia dengan suara serak pelan, tak mampu lagi menarik kedua sudut bibir katena tak yakin bagaimana kondisi wajahnya saat ini, "gue jatuh, Chaer."
Chaerra merunduk, memandang kedua lutut Lia yang benar-benar mengeluarkan darah segar. "Harusnya naik Gojek dari parkiran tadi gak sih? Lo jadi jatuh gini gara-gara jalan."
Entah kenapa Lia merasa pembicaraan mereka sekarang adalah pembicaraan paling bodoh yang keduanya pernah obrolkan. Chaerra bukan tipikal gadis bodoh, gadis itu kritis walaupun bukan tipikal orang yang mudah memahami situasi.
"Lo ngikutin gue?" tanya Lia tiba-tiba.
Chaerra mengangguk. "Gue yang bawa lo ke sana harusnya gue yang tanggung jawab gak sih. Ayok cari apotek."
"Tapi Chaer," selak Lia cepat, wajahnya mendongak memandang Chaerra, "dada gue sesek."
"Everything oke?"
"Not only for me," gumam Lia berubah tersenyum kecil, "gue beneran sekurang itu ya, Chaer?"
"Kurang?" tanya Chaerra tak paham. "Buat?"
"Buat semua orang."
Chaerra menggeleng yakin. "Buat gue sih, enggak. You're always enough."
Kalimat itu tak cukup membuat rasa lega memenuhi dada Lia, rasanya justru semakin sesak. Gadis itu tak dapat menahan untuk tak menggigit bibir bawahnya, memandang Chaerra dengan mata berubah sayu yang penuh dengan warna merah.
"Lo kenapa?" tanya Chaerra pelan. "Yoga gak ngomong kurang ajar sama lo kan?"
Lia menggeleng kecil. "It's oke. Masalahnya di gue kok, gak di orang lain. Emang gue lagi sensitif aja."
"Yakin?"
Lia mengangguk, mengusap wajahnya kembali. "It's oke," jawabnya pelan.
"Butuh sesuatu?"
Untuk kesekian kalinya Lia menggeleng pelan. "Gue mau nginep rumah lo, boleh?"
"Boleh," jawab Chaerra cepat, "ayok mabuk dulu."
"Gue gak mau ke club itu lagi!"
Sebelah alis Chaerra terangkat. "Mau ke club lain?"
"Boleh, di mana pun, asal gak di sana."
"Oke, biar gue kabarin yang lain," balas Chaerra dengan wajah cerah merogoh saku mengambil ponsel, "lo bayarin?"
Lia mengangguk yakin. "Pakai kartu gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Taddy Bear [Belum Revisi]
FanficHessa & Lia from Win Crown Lebih baik baca Win Crown dulu, tapi kalau mau langsung baca ini juga gak papa :) Rated: 17+ . . . . . Disclaimer: Cerita ini mungkin akan berjalan sangat flat. Hidup Elia Neiva Palmyra memang tak bisa dikatakan hanya terd...