47. Gift

145 23 2
                                    

”Sepi banget, Tante Selena ke mana?”

Hessa yang lebih dulu berjalan memasuki rumah melirik sekilas pada gadis yang mengekor di belakangnya. ”Mama lagi suka keluar, mumpung udah gak ada lagi yang harus diurusin. Yessa biasanya pulang malem, kelas dia banyak tugas kelompok.”

Lia menyapukan pandangan ke seluruh area rumah. Membayangkan sosok wanita cantik yang sejak dulu harus seharian di rumah karena mengurus anak kembar dan satu anak titipan tetangga. Seingat Lia, rumah ini juga hanya sekali memiliki pelayan. Itu pun sudah bertahun-tahun yang lalu karena Tante Selena tak terlalu suka urusan rumah dan keluarga dipegang orang asing.

”Nanti gue pulang jam tujuh ya,” ujar gadis itu meminta izin, ”gue mau ke rumah sakit dulu sebelum bimbel.”

Hessa mengangguk, mulai menaiki tangga sembari beberapa kali menoleh memastikan Lia masih ada di belakangnya. ”Lo gak capek?” tanya pemuda itu.

”Capek?”

”Ngerjain tugas, ekskul, bimbel,” gumam Hessa pelan, ”gue lihat lo aja capek banget.”

”Gue ngelihat lo juga capek banget,” balas Lia pelan, ”tiap di kelas ngerusuh, loncat sana sini, ekskul, belum lagi malem kadang nongkrong, energilo apa gak pernah habis?” lanjut gadis itu bertanya.

”Gue mah have fun, beda sama lo yang harus mikir.”

”Gue juga have fun, beda sama lo yang harus gerak.”

Langkah kaki Hessa terjeda, pemuda itu jadi menolehkan kepala pada Lia yang mendongak dengan pandangan mengerjap bingung. Pemuda itu tampak berpikir, entah kenapa jadi berpikir mengenai hal ini walaupun sudah mengetahui sejak lama. Keduanya seolah berada pada dua sisi yang selalu berbeda, seperti gelap dan terang, putih dan hitam, ramai dan sunyi, dan berbagai bentuk lain yang sejujurnya tak pernah mereka sukai untuk satu sama lain.

”Kenapa gue bisa nyaman banget sama lo ya, Ya?” tanya pemuda itu tiba-tiba.

Sebelah alis Lia terangkat heran. ”Kita udah temenan dari lama kan?”

”Kenapa gue betah temenan sama lo?” ulang pemuda itu mengganti pertanyaannya. ”Padahal kalau itu bukan lo, mungkin gue gak bakal tahan sama sikap lo.”

Dahi Lia semakin mengernyit, bingung sendiri kenapa tiba-tiba pertanyaan itu muncul. Gadis itu menggerakkan bola matanya sekilas, mencoba memikirkan jawaban apa yang paling sesuai untuk ia berikan.

”Karena lo suka sama gue, mungkin.”

”Berarti lo juga suka kan sama gue?” tanya Hessa pelan. ”Lo betah temenan sama gue.”

Lia berdecak refleks, menepuk lengan atas Hessa pelan. ”Cepetan naik, gue capek berdiri!”

”Jawab dulu!”

”Dari dulu kan gue udah minta buat lo jauhin gue,” kata gadis itu tak acuh, ”lo aja yang selalu nempel-nempel ke gue. Bukan gue yang betah temenan sama lo, tapi emang lo-nya yang gak tau diri terus deketin gue.”

Gantian Hessa yang berdecak tak santai, membalikkan tubuhnya lurus begitu saja melanjutkan langkah. Lia menarik kedua sudut bibir, tersenyum kecil sekaligus puas. Melihat wajah tampan Hessa mengerut kesal seolah berhasil jadi hiburan tersendiri bagi Lia, karena hanya di hadapan Lia pemuda itu akan memperlihatkan sosok cowok tidak jelas yang kadang sangat menyebalkan.

”Tapi lo suka sama gue kan?” Hessa kembali menuntut, merasa belum puas.

”Enggak,” jawab Lia mencoba terdengar tak peduli, ”gue udah males sama lo.”

”Serius, Ya!”

”Iya-iya,” balas Lia terkekeh kecil, melangkah maju dengan cepat mengambil tempat di sisi Hessa untuk menggandeng tangan pemuda itu, ”suka.”

Taddy Bear [Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang