61: Pain

55 5 1
                                    

Arin dalam lamunannya, ia masih berharap yang ia saksikan tadi hanya mimpi. pikirannya kosong, hatinya masih terluka.

Suaminya telah membunuh orang. Bagaimana mungkin, dia bukanlah Evans, Arin yakin tadi bukanlah Evans le Guillox yang Arin kenal selama ini.

" Aww, Caya itu sakit"

Caya menghela nafas sambil meletakkan kain kasa ke dalam tempat sampah.

"Great mana bisa kamu jatuh dari motor ini luka yang cukup serius, gak mungkin kamu cuma sekedar jatuh. Hoow, hoooww?"

Seluruh kakinya lecet, masing-masing lebam tangan kanan ikut lecet, kaki kanannya keseleo dan wajah Arin begitu mengerikan, nampak layu seperti bunga yang belum disiram.

Arin tidak menceritakan apapun, ia tak mau ada kekhawatiran karena ini adalah masalah pribadi mereka, ia dan Evans.

Caya kembali lagi menghela nafas, ia kunci rapat-rapat mulutnya dan mengambil selimut juga bantal. Padahal pernikahannya tinggal beberapa hari lagi tapi selalu saja ada yang terjadi.

"Bangunkan aku kalau kamu butuh sesuatu"
Caya tidur di atas karpet berbulu di samping sofa. Wanita terlihat nyaman, Ia juga membuat semuanya mudah. Meletakkan air minum di dekat mereka, obat di atas meja, batal tambahan di atas sofa lain dan beberapa cemilan di meja lainnya.

Sayang sekali kejadian lampau telah merusak hari dan pikirannya. iya takut menutup mata takut mendengar suara teriak kesakitan dan juga suara tembakan di dalam kepalanya. Pikirannya kacau begitu juga hatinya.
Keberaniannya sudah lenyap, bahkan ia tidak berani menemui Evans, dalam sekejap Arin tertidur tanpa sadar. Wanita itu terlalu lelah dan butuh istirahat, ia memaksakan diri.

Esoknya, Arin merasa kepalanya sedikit sakit. Ia juga tidak menemukan Caya di dalam ruangannya. Caya mungkin pergi lebih awal.

Arin menghela nafas, ia harus kembali ke penthouse, sejujurnya keadaan Arin sendiri belum sepenuhnya membaik, nyalinya masih kecil tapi Arin berusaha menghadapinya.

Memikirkan betapa mengerikannya Evans kemarin malam, sungguh menghancurkan seluruh rasa percaya dan keberaniannya. Membunuh bukan prihal sepele, tidak ada hukuman yang boleh di tentukan manusia tanpa kesepakatan. Dan hukuman mati, adalah seberat-beratnya hukuman.

Arin semakin dekat dengan pintu penthouse, langkahnya mulai melambat, wajahnya masih muram. Kepalanya tertunduk dan kedua tangannya lemas. Arin masih berharap Evans sedang tidur atau berada di dalam ruangan lain. Arin berharap dalam keadaan apapun mereka tidak bertemu secepat itu.

Detik ke sekian, Arin masih berdiri di depan pintu, mengumpulkan serpihan rasa berani yang dulu begitu membara. Api keberanian yang ia miliki sekarang mudah padam hanya karena hembusan angin. Jadi, apa ia yakin? Arin masih berdialog pada insannya.

Meskipun meditasi singkat tak terjawab Arin berhasil menggenggam gagang pintu. Hanya selangkah ia akan membukanya, ya masuk saat pintu telah memberikan jalan.

Arin dengan segenap api keberaniannya, masuk dan langsung di hadapkan pada sesuatu yang ia tidak harapkan.

Evans yang pertamanya duduk di sofa ruang utama tiba-tiba langsung berdiri saat mendengar seseorang masuk.

"Arin"
Dia tersenyum penuh kelegaan, tapi itu malah membuat Arin takut.

Arin membeku dengan wajah yang pucat, Evans kemudian berhenti dalam jarak yang jauh. Ia tidak menyangka ternyata Arin masih terlihat shock dan ketakutan.

Tetapi ia merasa lega istrinya dalam keadaan yang baik.
Evans medesah berat dengan wajah yang sedih.

"Aku tidak akan pernah menyakitimu, aku... Minta maaf"

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang